Women of The Forest (Yolanda dan Robert Murphy)
catatan ini merupakan tugas kuliah Organisasi Sosial di pogram studi Pascasarjana, kali ini saya merbitkan review yang dipresentasikan oleh Meinar Sapto Wulan dan Ananda Putri Laras.
berikut rangkumannya...
The
Murphys present an interesting and sensitive account of how Mundurucui involvement
in rubber tapping has affected the relative positions of the sexes. They show
that women, far from being passive and conservative, as they are often
described in studies of culture change, have played a crucial and very active
role in the coming of the new order. This new order, based on a highly
individualized pattern of labor and of patron-client relationships, involves a
closer bond between husband and wife and the emergence of the nuclear family as
the central residential. and economic unit. Traditional patterns of intrasexual
cooperation have dissolved and the men's house has disappeared.
keyword
: gender role, women, feminist, matrilokal, patrilineal, social network,
household, patron-client.
Secara keseluruhan, Woman
of The Forest ini merupakan etnografi yang fokus ada peran gender dan
identitas gender di masyarakat hutan tropis di Brazil yang dilakukan pada awal
tahun 1952 hingga sekitar tahun 1972. Mereka adalah masyakarat adat Mundurucui
yang berada di sebelah utara Sungai Tapajos, Brazil tepatnya di daratan sungai
Amazon. Jumlah orang Mundurucui pada saat itu hanya sekitar 1250 orang dah
tersebar di 12 desa yang terpisahkan oleh sungai Tapajos. Di dalam buku ini,
hanya ada 2 desa yang menjadi fokus dan keduanya berseberangan diantara sungai
Tapajos (tidah ada keterangan nama desa yang jelas di buku ini).
Pertama kali yang dibahas oleh pasangan antropolog dari Amerika
Serikat ini di Bab awal adalah bagaimana pola livelihood yang dilakukan
komunitas di sana, bagaimana mereka menggambarkan begitu cara bekerja mereka
dan bagaimana mereka bisa bertahan hidup di lingkungan yang kaya akan sumber
daya alam tropis. Menjadi nelayan, berkebun, hingga berburu mereka lakukan
dengan memanfaatkan potensi yang ada di sekitar alam mereka.
Perubahan kondisi masyarakat saat sebelum masa kependudukan kolonial
Portugis juga begitu detail diceritakan. Dimana ada banyak orang yang berkurang
karena proses migrasi, peperangan, perbudakan dan penyakit yang dibawa
pendatang sehingga menyebabkan kematian massal terjadi di tahun-tahun
1950-1960. Selain itu, perubahan lingkungan juga terasa pada hutan tropis di
Tajapos yang diduduki industri karet yang ternyata asal muasalnya industri
karet kemudian pindah ke hutan malaysia. Komoditas mereka selain Karet, ada Tepung
Singkong (yang disebut dengan farinha), sarparilla (semacam minuman ringan) dan
buah-buahan. Mayoritas laki-laki pergi ke hutan menyadap karet da nada banyak
dari mereka diperkerjakan lepas oleh pendatang (portugis). Menurut Murphys,
disini mereka dianggap budak.
Disamping itu paling dominan dibicarakan dalam etnografi ini
adalah pembagian peran gender yang terasa ada dominasi laki-laki dan posisi sosial
antara laki laki dan perempuan. Peran gender
laki-laki dan perempuan disini memang sangat terasa disini. Laki-laki dan
perempuan bisa hidup makan bahkan tidur pun terpisah. Perempuan hidup, bekerja
dan makan bersama anak-anak mereka dan laki-laki yang sudah berusia 12 tahun ke
atas mereka tinggal bersama-sama dalam satu rumah dan berburu dan berkumpul
bersama dalam Men’s House. Perempuan disini mempunyai peran dan tugas yang
sangat besar dalam menghidupi keluarga, dari mulai mencari air, kayu bakar,
membuat tepung ubi kayu (singkong) atau disebut farinha yang merupakan makanan
pokok mereka. Dan laki-laki disini hidupnya hanya berburu dan bergumul bersama
laki-laki yang lain.
Konsep
feminism yang membalikkan paradigma bahwa perempuan selalu berada di bawah
dominasi laki-laki, seperti yang dikatakan Sigmund Freud. Di Mandurucu, perempuan
justru dilihat sebagai orang yang dominan walaupun secara identitas, kelompok
mereka memberlakukan sistem patrilokal. Adanya pembagian kerja domestik-publik
mengakibatkan munculnya perubahan-perubahan sosial. Perempuan memiliki
tugas-tugas domestik lebih banyak sehingga untuk menyelesaikannya, para
perempuan kerap kali saling membantu sehingga munculah dominasi wanita yang
membuat sistem kekerabatan mereka justru terlihat matrilokal. Eratnya hubungan
household di antara para wanita merupakan suatu usaha untuk mempertahankan
hidup dan membuat mereka jauh dari ketergantungan terhadap pria. Sedangkan
laki-laki juga berusaha menciptakan householdnya sendiri yang mereka sebut
dengan Men’s House.
Peran Perempuan
dalam household
Bagi
masyarakat Mandurucu, wanita dianggap kurang cerdas tapi keberadaannya tetap
penting. Status pria tidak kekal, mereka dikenal dominan, namun hanya pada seks
dan reproduksi. Sementara wanita, jika mereka sudah memiliki power maka itu
bisa dipertahankan. Mandurucu tidak mengenal kekuasaan formal. Kontradiksi ini
akan semakin terlihat ketika Anda mengikuti kehidupan mereka hari demi hari,
terutama ketika melihat bagaimana wanita berinteraksi.
Salah
satu informan mereka salah satu perempuan bernama Borai, ia merupakan ibu dari
4 anak (3 anak perempuan dan 1 anak laki-laki dari pernikahannya terdahulu).
Suaminya bernama Kaba dan mereka jarang sekali bertemu karena Kaba dan anak
laki-lakinya tinggal di Men’s house. Disini pekerjaaan dari Borai sangatlah berat,
pagi ia harus mengambil air dan kayu bakar, menyiapkan farinha dan mengurus
tiga anak perempuannya dan mencuci. Setiap hari ia harus mencuci karena ia
hanya mempunyai 2 pakaian saja. Ia ditinggal suami pertamanya dinilai kurang
memberikan peranan dalam keluarga maka ia mengatakan pada Yolanda, ia akan
memperbaiki cara mengasuh anak dan bekerja dan menghidupi rumah. Menurutnya,
seorang perempuan Mundurucui yang baik adalah bisa melahirkan dan mengurus anak
yang baik, fungsi reproduksi disini menurut Murphy dinilai penting dari seorang
perempuan.
Rumah
adalah tempat dimana semua kehidupan sosial itu terlihat. Satu rumah terdiri
dari beberapa keluarga inti, sehingga jumlah anggota keluarga keseluruhan bisa
mencapai 50 orang lebih. Wanita mengerjakan segalanya di rumah, mulai dari
memasak, mengurus anak hingga membuat perlengkapan rumah tangga. Laki-laki
jarang terlihat di rumah, biasanya mereka pulang hanya untuk menaruh hasil
buruan mereka. Jarang terlihat laki-laki mengobrol dengan istrinya, mereka lebih
banyak bermain dengan anak-anak. Walaupun menganut sistem patrilokal,
orang-orang Mandurucu justru terlihat sangat matrilokal dari cara-cara mereka
mengatur rumah. Sebuah rumah bisa diisi oleh puluhan anggota keluarga karena
berdasarkan hubungan kekerabatan yang dibawa oleh ibu. Ini berarti, semasa
hidupnya, wanita dikelilingi oleh lebih banyak sanak saudara daripada
laki-laki. Solidaritas di antara wanita juga sangat kuat, ini dikarenakan
frekuensi melakukan pekerjaan rumah yang sangat sering sehingga kebersamaan
mereka terjalin. Hubungan antar pria justru lebih renggang karena frekuensi
berburu mereka sporadis.
Sebagai
contoh, dalam memproduksi farinha yang merupakan makanan pokok mereka, wanita
melakukannya bersama-sama meskipun memungkinkan dilakukan seorang diri. Wanita
Mandurucu senang sekali bergaul, memiliki rasa toleransi dan sifat gotong
royong yang kuat sehingga pekerjaan apapun mereka bagi. Bahkan ketika anak dari
salah satu mereka buang air sembarangan, wanita yang berada paling dekat dengan
anak, siapapun itu, akan langsung membersihkannya. Mereka terkadang bertukar
pekerjaan, dan semuanya dilakukan sambil mengobrol sehingga tetap terasa
menyenangkan.
Laki-laki
memiliki respon yang positif dalam melihat ini, dan tetap melindungi wanita di saat-saat
tertentu. Ada banyak pekerjaan berat yang cukup berat dilakukan oleh wanita
sehingga prialah yang turun tangan. Alasan lain mengapa wanita terus bersama
adalah agar mereka tidak dijadikan pelecehan secara seksual, sebab, wanita yang
terlihat sendirian disimbolkan sebagai wanita yang bersedia menerima seks dari
mana saja. Wanita Mandurucu dianggap kuat karena mereka tidak dipandang
individualis atau selalu sendirian, namun selalu menjadi bagian dari
wanita-wanita lainnya.
Dalam
kehidupan sosial, pernikahan penting karena dipandang sebagai alasan
dilanjutkannya perekonomian keluarga. Selain itu, keluarga juga dilihat sebagai
benteng masyarakat, pelindung orang yang lebih lemah, tempat dimana anak-anak
dididik dan dibesarkan, dan masih banyak lagi. Uniknya, hal tersebut tidak
berlaku di Mandurucu, karena kehidupan sosial mereka justru akan membuat Anda
bertanya-tanya buat apa seseorang menikah? Lazimnya, seorang ayah yang pulang
berburu akan membawa pulang buruannya ke rumah dan memberi makan anak istrinya.
Di Manduruncu, wanita tidak akan kelaparan tanpa suaminya, sebab, wanita-wanita
dari household lain senantiasa datang ke rumah mereka untuk memberikan makanan.
Itu berarti, hasil buruan seorang ayah pun bukan hanya jadi hak milik istri dan
anaknya, namun juga anggota seisi rumah bahkan membaginya ke tetangga. Begitu
berharganya pertemanan di antara wanita maka seorang istri akan secara tegas
lebih memilih ibunya daripada suaminya. Tidak hanya melindungi, wanita juga
saling mengontrol. Kedekatan dan ketergantungan wanita satu sama lain di dalam
satu rumah, membuat mereka selalu mengetahui kemana yang lainnya pergi,
meskipun tanpa izin. Bahkan mereka juga tau jika salah satu diantaranya sedang
jatuh cinta dan pergi dengan seorang pria.
Setelah
menikah, pria juga belum tentu tinggal dengan pasangannya. Ia akan tinggal di
men’s house bersama pria-pria lainnya, namun sesekali mendatangi tempat tinggal
istri untuk memberikan hasil buruan. Saat melakukan seks, orang Mandurucu
melakukannya tidak di rumah melainkan di hutan. Dalam kehidupan mereka, sudah
menjadi hal yang biasa bahwa seorang Mandurucu bisa menikah dua hingga tiga
kali di usia pertengahan. Alasan cerainya beragam, sebagian istri merasa
suaminya ternyata pemalas atau bahkan ketahuan selingkuh. Di sini, wanita
dilihat lebih kuat karena mendominasi keputusan cerai tersebut. Sesudai
bercerai, wanita bahkan ketus dan sinis terhadap mantan suaminya. Kehidupan
wanita tidak selesai sampai di situ karena para kerabat wanita sangat
mendukungnya, dan berada di antara mereka jauh lebih penting. Wanita Manducuru
sudah tau bahwa keberadaan pria datang dan pergi. Benar bahwa wanita menyiapkan
segala kebutuhan suami, mulai dari menyediakan makanan dan minuman hingga
mencuci bajunya. Akan tetapi, jarang sekali suami yang mewujudkan hal-hal kecil
yang diinginkan istrinya, sebab, hal ini sudah dilakukan oleh para kerabat
wanita yang tinggal di dalam satu rumah. Seperti hanya pernikahan-pernikahan
yang terjadi di Amerika, orang Mandurucu
tidak menikah karena ikatan emosional melainkan untuk membina
perekonomian, tapi pada beberapa pasangan yang langgeng terlihat ada keintiman.
Kisah-kisah bahwa pria lebih dominan dibanding wanita hanyalah mitos belaka,
dalam keadaan sebenarnya, itu tidak terjadi.
Wanita
sering dianggap sebagai hambatan bagi kemajuan sehingga mereka terisolasi dari
segi politik hingga ekonomi. Tidak banyak yang dinikmati oleh wanita dari
perubahan sosial. Tanda-tanda ini bisa dilihat dari bagaimana orang Mandurucu
bernostalgia. Pria di sana senang sekali
mengungkit-ungkit masa lalu, mitos dan ritual sebagai masa-masa kejayaan
mereka, namun wanita sebaliknya. Hebatnya, justru wanita-wanita Manduruculah
yang mendongkrak perubahan. Mereka tidak lagi orang-orang pasif yang hanya
berdiam di rumah. Wanita kini memegang pisau, kapak, dan melakukan beberapa
pekerjaan laki-laki. Pria yang bekerja di dalam industri adalah idaman wanita
Mandurucu, akan tetapi, apabila suaminya tidak memenuhi persyaratan itu maka
istri-istri siap membantu, bahkan membantu membayar hutang-hutang keluarga.
Perubahan sosial di Mandurucu sangat mendalam, ini terlihat dari organisasi
sosial mereka yang sudah cenderung berubah: hilangnya men’s house, pembagian
kerja secara seksual, side by side work,
hilangnya inti keluarga dan masih banyak lagi.
Konsep
organisasi sosial yang m juga berlaku di Men’s house yang sebenarnya hubungan
mereka bukan lagi hubungan geneologis bukan hanya berdasarkan keturunan tetapi
hubungan siapa yang terkuat dan bagaimana mereka bisa mengambil peran dalam
menentukan hasil perburuan dan pembagian tugas dalam berburu. Hubungan mereka
juga berdasarkan patron-klien, dalam satu rumah mereka semua saling membantu
dan mendukung dalam pekerjaan mereka.
The Murphy’s Sulit
Menjadi Mundurucui
Di Bab pendahuluan sudah dijelaskan bagaimana Yolanda dan
Robert ini mendapatkan project untuk menulis etnografi ini berawal dari tawaran
meneliti salah satu professor Antropolog yang tidak lain adalah dosen mereka
yaitu Gene Weltfish. Setelah mereka lulus master, Gene berharap kepada mereka
berdua dapat meluruskan bias gender yang biasanya terjadi di kalangan
antropolog laki-laki dalam meneliti perempuan. Menurut Gene, para antropolog
laki-laki suka lalai dalam mendengar suara-suara perempuan dan informan
perempuan juga cenderung tidak terbuka pada mereka dan terkadang jawaban-mereka
malah datang dari laki-laki (suami, saudara atau kerabat mereka) yang sudah
barang tentu tidak bebas nilai dan sangat bias gender. Selain itu, kadang
aktivitas perempuan lalai dalam pengamatan antropolog dalam membahas 1
komunitas dan yang bisa masuk memahami perempuan adalah perempuan itu sendiri .
Maka Gene pun memanggil Yolanda untuk meneliti perubahan
social di Mundurucui dari sisi perempuan yang sebenarnya sangat erat kaitannya
dengan masuknya kolonial di Brazil. Yolanda saja tidak cukup, Gene juga
memerlukan suara-suara dari laki-laki dan ia tahu bahwa mundurucui hidup
terpisah antara laki-laki dan peremupuan maka Gene pun memanggil Robert untuk
bisa membagi tugas dapat tinggal di lingkungan Men’s house. Walaupun awalnya ia
merasa, satu antropolog perempuan sudah cukup, tetapi dalam kasus Mundurucui
dengan hidup terpisahkan, Gene juga membutuhkan Robert.
Di buku ini juga dijelaskan secara detail bagaimana metode
etnografi yang dilakukan Yolanda dan Robert disini adalah membagi tugas antara
mereka berdua, Yolanda selalu berada diantara diantara kelompok perempuan
sambil bantu-bantu membuat tepung singkong, mandi, mencuci dan ikut menjaga
anak. Orang Mundurucui memang cepat akrab dengan orang baru, sehingga
memudahkan Yolanda dan Robert bis masuk dan imerge ke lingkungan mereka. sedangkan
Robert juga ikut berkumpul di Men’s house dengan sedikit belajar berburu dengan
pemuda Mundurucui.
Disisi lain, Mereka sebenarnya bosan hidup terpisahkan
tempat, mereka kadang diam-diam tinggal berdua layaknya suami istri dan
membutuhkan ruang berdua layaknya suami istri. Mereka terkadang menarik diri
dari lingkungan kelompok laki-laki dan perempuan disana. Yolanda pun mengaku
tidak mudah keluar dari kelompok perempuan, karena begitu ia hilang sesaat, ia
akan cepat dicari oleh salah satu dari mereka. Begitupun juga dengan Robert,
saat ia pergi bertemu Yolanda, ia dicari salah satu informan mereka untuk
melanjutkan perburuan di hutan. Di bab awal juga Yolanda bercerita, menjadi
perempuan Mundurucui amatlah sulit, tanggung jawab mereka bukan hanya pada
keluarga mereka sendiri, tetapi juga anak orang lain yang tinggal dirumah
mereka atau bahkan disekitar mereka. Misalnya saat informannya sedang mencuci,
ia harus menjaga ketiga anaknya bermain dan menggendong bayinya. Yolanda dan
Robert yang terbiasa layaknya pasangan suami istri di Amerika yag individual
merasa sulit beradaptasai awalnya dan mereka cepet rindu akan kembali kerumah.
Nah ini dia salah satu contoh kenapa faktor jatuh dari langit belum tentu menentukan stereotip seks dan gender.
BalasHapusTrims buat penjelasannya yang mencerahkan, dear Mbak Windi, Mbak Laras, dan Mbak Meinar!
sip... buku ini memang keren banget mas.
Hapusaku juga big thanks sama mbak meinar dan mbak laras... ;)
Kadang Puntar & Daftar Agen Slot Online Casino Game
BalasHapusPlay kadangpintar the Kadang Puntar งานออนไลน์ & Daftar Agen Slot Online in Gacor (Philippines) on KadangPintar. Kadang Puntar & 샌즈카지노 daftar agen slot online casino game.