Sejarah Kesenian Soreng Bandungrejo
Halaau teman-teman
semuanyah...
pembaca setia blog akuh,
pernahkan kalian mendengar nama desa Bandungrejo? jika sudah pernah mendengar,
apa pernah kesana? atau malah ketagihan ingin kesana lagi? hhihihi... Jika
pernah mendengar nama Bandungrejo pasti mendengar pula sebutan 'desa seni' ya
kan? ngaku.... pernah ditayangkan di trans tv kok, tapi yaa gitu... ingin
kuberkata kasar, tapi ada yang menahanku lembut.
sebagai peneliti dan
singgah dalam jangka waktu lama disana, aku tak rela jika ada informasi yang
salah, terkait Bandungrejo :( sedih aku tuh.
ooops,
penasaran sama acara tv nya
itu yah?
but, aku sendiri
mengucapkan terima kasih atas tayangannya, sehingga keluargaku bisa dikenal dan
diketahui oleh nusantara. Gambarnya bagus kok. :) gambarnyaaa… asli dan asri.
Ummm, ini nih untuk yang
penasaran dengan film alias video singkat tersebut, bisa dilihat
disini... https://www.youtube.com/watch?v=n5tRrcvwq28 (mulai
menit ke 03.00-05.25 dan juga menit ke 12.28 – 15.27
Desa Bandungrejo memang
memiliki banyak kreasi tari. Memang anak-anaknya pinter nari hihiii… dari
sekian banyak itu, tarian yang paling terkenal dan paling kondang adalah tari
Soreng. Semua tarian bagus, tapi ada sesuatu nih dengan Soreng itu sendiri. Sesuatunya
adalah dia yang pertama kali hadir dan muncul di Bandungrejo. Prestasinya pun
sudah kemana-mana. Sudah masuk ke beberapa surat kabar juga kok :D Soreng pun
sering dijadikan bahan penelitian dan banyak yang ingin mempeajari tariannya. Karena
aku bukan dari jurusan tari, jadi aku enggan dan sungkan untuk membicarakan
dari segi tarian itu sendiri. Diriku akan menyoroti dari bidangkuh, antropologi
tentunya.
Oya, untuk yang penasaran
dengan ‘tariannya itu kaya gimana sih?’ bisa dilihat disini sayang…. https://www.youtube.com/watch?v=qEQ3BdLdc8E
terima kasih yaa untuk DISTRO HELMETZ
GRABAG atas publikasinya di Youtube,
sehingga pembacaku dapat menyaksikan Soreng jarak jauh.
Di catatan ini, aku hanya ingin menceritakan
mengenai sejarah Soreng di Bandungrejo saja. Sementara tarian lain nanti yah…
hihihi. Sebentar… but, semua tarian ada di tesis aku kok. Hohohoo… lengkap
pokoknya.
Baiklah semuanya, langsung
saja kita kepoin Sejarah Soreng Bandungrejo.
oiya, artikel ini merupakan penggalan dari buku yang aku dedikasikan untuk anak-anak Soreng Bandungrejo. Jadi, ini hanya penggalan. Semenatara mereka lebih lengkap.
Selamat membacaaa….. :D
Kesenian soreng, mengambil cerita
dari kisah Haryå Penangsang.
What is the Meaning of Sorêng?
Sampai saat ini, mungkin banyak
yang menanyakankan “apa itu Soreng?” atau “Apa sih artinya Soreng?” atau
mungkin pula “berasal dari kata apa, nama tersebut?” “Beberapa mengatakan Arya
Penangsang, beberapa juga mengatakan Haryo Penangsang, mana yang benar?”
Soreng merupakan akronim dari surå
dan ing atau dalam bahasa Indonesia adalah “berperang di”. Nama surå
ing semakin lama menjadi surå eng
dan sampai saat ini lebih enak dan dikenal dengan sebutan sorêng. Secara luas,
memiliki arti ketika diajak untuk berperang dimanapun dan kapanpun, mereka siap
untuk melaksanakannya. Hal ini nampak terlihat pada prajurit Adipati Harya
Penangsang yang setia dan patuh pada tuannya.
Sementara untuk aksen sendiri,
dalam aksara Jawa, jika transliterasikan menajdi “Harya Penangsang” dalam aksen
tersebut, terkadang huruf ‘ha’ sering dibaca dengan ‘a’ saja. Dari bebrapa
sumber, wikipedia, babad tanah jawi, dan ensiklopedia tertulis dengan nama
‘Haryå Penangsang’. Maka dari itu, pembahasan dalam buku ini akan menggunakan
aksen tersebut.
Cerita singkat mengenai alur yang dibawakan
dalam tari Soreng adalah sebagai berikut :
Tari sorêng menggambarkan tentang
peperangan yang dilakukan oleh Adipati Haryå Penangsang dengan Danang
Sutawijaya yang terjadi pada abad ke-16. Pada masa tersebut, masih dalam masa
kerajaan yang masih suka saling membunuh untuk memperebutkan kekuasaan dan
hanya demi takhta. Begitu pula pada kisah ini.
Who is Haryå
Penangsang?
Menurut silsilah yang tertuang
dalam Serat Kanda, ayah dari Haryå Penangsang adalah Raden Kilin atau
Pangeran Sekar, putra dari Raden Patah (Raja Demak yang pertama). Ibu Raden
Kilin ialah putri Bupati Jipang, maka Haryå Penangsang dapat mewarisi kedudukan
kakeknya. Disisi lain, ia memiliki saudara tiri bernama Haryå Mataram.
Pada tahun 1521, Pati Unus atau
Pangeran Sabrang Lor (Putra sulng Raden Patah) gugur ketika melakukan
penyerangan ke Malaka yang kala itu dikuasai oleh portugis. Hal ini menjadikan
adanya perebutan takhta oleh adik-adiknya, yakni Raden Kilin dan Raden
Trenggåna. Raden Mukmin atau Sunan Prawoto (Putra sulung Raden Trenggåna)
membunuh Raden Kilin dengan menggunakan keris Kyai Seran Kobêr yang dicurinya
dari Sunan Kudus. Raden Kilin dibunuh di tepi sungai. Sejak saat itu, ia
dikenal dengan nama Pangeran Sekar Sedå ing Lêpên (Bunga yang
gugur di sungai).
Sepeninggal ayahnya, Haryå
Penangsang menggantikan posisi ayahnya sebagai Bupati Jipang Panolan. Karena
pada saat itu usianya masih kanak-kanak, maka pemerintahannya diwakili oleh
Patih Mentaun.
State and Revenge
Pada tahun 1521, Raden Trenggåna
naik takhta di Kerajaan Demak. Pemerintahannya gugur pada tahun 1546. Posisi
tersebut kemudian beralih pada Raden Mukmin, ia menjadi raja keempat yang
bergelar Sunan Prawoto.
Pada tahun 1549, Haryå Penangsang
ingin membalas dendam kematian ayahnya dengan dukungan gurunya. Ia meminta
salah satu anak buahnya bernama Rangkut untuk membunuh Sunan Prawoto dengan
keris yang sama ketika ayahnya dahulu dibunuh. Namun, ada kabar yang menyatakan
Rangkut pun tewas setelah melakukan tugasnya. Aksi pembunuhan tersebut
diketahui oleh Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto. Ia meminta
pertanggungjawaban atas tewasnya sang kakak pada Sunan Kudus. Namun diacuhkan
oleh Sunan Kudus. Di tengah perjalanannya kembali ke Jepara, ia dihadang oleh
anak buah Haryå Pengsang. Ratu Kalinyamat berhasil lolos, sementara suaminya
(Pangeran Hadari) terbunuh.
Haryå Penangsang mengirim empat
orang anak buahnya untuk membunuh Hadiwijåyå (menantu Raden Trenggåna yang
menjadi bupati Pajang). Meskipun keempat utusan tersebut sudah dibekali dengan
Keris Kyai Setan Kobêr, mereka tidak berhasil membunuh Hadiwijåyå. Mayatnya
dipulangkan secara hormat. Malahan, Hadiwijåyå mendatangi Haryå Penangsang
untuk mengembalikan keris tersebut. Hal ini justru membuat pertengkaran
diantara kedua orang tersebut, untungnya berhasil didamaikan oleh Sunan Kudus. Usai
masalah tersebut, Hadiwijåyå kembali ke Pajang dan Haryå Penangsang disuruh
untuk berpuasa selama 40 hari untuk menghilangkan Tuah Rajah Kalacakra[1].
Konon, Haryå Penangsang melakukan puasa juga untuk menambah kesaktiannya.
Selama 40 hari tersebut, ia pun harus menahan emosinya.
Competition of Murder
Di perajalanan pulang ke Pajang,
rombongan Hadiwijåyå singgah ke Gunung Danaraja (tempat bertapa Ratu
Kalinyamat). Di tempat tersebut, Ratu Kalinyamat mengaku sebagai pewaris takhta
Sunan Prawoto. Ia berjanji jika ada yang berhasil mengalahkan Haryå Penngsang,
ia akan menyerahkan Demak dan Jepara. Jika Hadiwijåyå dapat mengalahkan Haryå
Penangsang.
Disisi lain, Hadiwijåyå enggan
memerangi Haryå Penangsang karena sesama murid Sunan Kudus. Siasatnya pun
berubah dengan mengadakan sebuah sayembara, hadiah yang ditawarkan adalah tanah
Pati dan Mataram.
Sayembara tersebut didengar oleh
telinga kedua kakaknya, yakni Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Usai mereka
mendaftar sayembara, dibekalinya dengan senjata yang bernama Tombak Kyai
Plered. Konon, Haryå Penansang hanya dapat dikalahkan dengan senjata tersebut.
Namun ketika di medan perang yang melawan adalah Danang Sutåwijåyå (putra
kandung Ki Ageng Pemanahan).
A Challenge Letter
Kala itu, Haryå Penangsang masih
melaksanakan puasa, di hari yang ke-40nya. Surat tantangan tersebut datang
ketika ia sedang berbuka puasa, ia tidak dapat menahan emosi terlebih lagi
dikarenakan surat tersebut atas nama Hadiwijåyå. Ditambah lagi, surat tersebut
dibawa oleh Pekathiknya[2],
ditempelkan pada telinga si Pekathik yang sebelumnya daun telinganya
sudah dipotong oleh Ki Ageng Pemanahan dan Penjawi. Beberapa orang berusaha
untuk menenangkan emosinya, tetapi tidak ada satu pun yang dapat menahan emosi
Haryå Penangsang, hingga akhirnya ia meminta dibawakan Gagak Rimang (kuda hitam
Haryå Penangsang).
The War and
The End of
Haryå Penangsang
Usai membaca surat tantangan
tersebut, ia berangkat ke medan perang dengan menunggangi Gagak Rimang dan
dipenuhi oleh nafsu amarah. Surat tantangan tersebut meminta untuk bertemu di
Bengawan Sore[3]
dan berperang.
Ketika sudah sampai Bengawan Sore,
ia mencari Hadiwijåyå namun yang ia lihat hanyalah seorang anak kecil, bernama
Danang Sutåwijåyå yang sedang menunggangi kuda betina putih dan membawa Tombak
Kyai Plered di sebrang sungai. Ketika melihat kedatangan Haryå Penangsang,
Sutåwijåyå mengucapkan kata-kata tantangan, dalam bahasa Indonesia yang berarti
“hai Penangsang, lawanlah aku jika kamu memang berani!” Merasa dirinya
ditantang oleh seorang anak kecil, ia semakin marah dan emosinya semakin
menjadi-jadi. Namun Haryå Penangsang tetap tidak mau menyebrangi sungai
tersebut.
Menurut kepercayaan orang Jawa,
orang sakti jika melewati sungai, maka kekuatannya akan hilang. Kesaktiannya
akan berkurang dan/atau bahkan hilang. Konon, hilangnya kesaktian tersebut
karena terbawa arus sungai. Konon pula, ada yang mengatakan, jika orang sakti
berada di luar daerah kekuasaannya, maka kekuatan tersebut akan berkurang
bahkan hilang. Hal ini pun di pegang teguh oleh Haryå Penangsang.
Kala ini, saling meneriakan agar
salah satu ada yang menyebrang sungai. Teriakan tersebut yakni ‘wetan kali’
(timur sungai) dan ‘kulon kali’ (barat sungai). Pihak Hadiwijåyå
menginginkan Haryå Penangsang agar menyebrangi sungai agar kekuatannya hilang.
Ia menggunakan beberapa cara agar mau menyebrang.
Meskipun ia masih dapat menahan
diri untuk tidak menyebrang sungai, namun tidak dengan Gagak Rimang. Kala itu,
Sutåijåyå menunggangi kuda betina yang putih bersih. Nafsu Gagak Rimang
dipancing, hingga akhirnya ia semakin liar, memberontak dan hingga tidak dapat
dikendalikan oleh tuannya dan pergi ke seberang sungai untuk mendekati kuda
betina tersebut.
Pertempuran tersebut terjadi di
Bengawan Sore. Peperangan antara Haryå Penangsang dan Danang Sutåwijåyå
terjadi. Kala itu, Haryå Penangsang tertusuk tombak tersebut dan mengenai perutnya.
Hal ini mengakibatkan ususnya terurai, namun ia masih hidup. Walaupun
kesakitan, ia masih dapat bangkit dan melingkarkan ususnya pada keris yang
terselip di belakang pinggangnya. Sementara keadaan Sutåwijåyå sendiri sudah
tidak berdaya karena serangan yang dilakukan oleh Haryå Penangsang sebelumnya.
Ketidak berdayaan Sutåwijåyå saat
itu, semakin meningkatkan nafsu Haryå Penangsang untuk membunuhnya. Setelah
mendekati Sutåwijåyå yang sedang tersimpuh tak berdaya, ia menginjak dadanya.
Melihat anaknya sedang dalam keadaan bahaya, Ki Ageng Pemanahan tidak tega. Ia
melihat usus Haryå Penangsang melingkar di kerisnya. Melihat dua kejadian
tersebut, Ki Ageng Pemanahan berpura-pura memihak pada Haryå Penangsang untuk
membunuh Sutåwijåyå dengan Keris Setan Kobêr miliknya.
Nafsu Haryå Penangsang yang sudah
memuncak sampai ubun-ubun, keadaan Sutåwijåyå pun sudah semakin tidak berdaya,
ditambah lagi dengan dukungan pihak lawan untuk membunuh anak kecil tersebut.
Hal itu semakin meyakinkan dirinya untuk segera menghabisi lawannya itu.
Seketika juga ia menarik tangannya ke belakang. Dicabutlah keris tersebut
dengan penuh nafsu. Namun ia lupa dan tidak menyadari bahwa ususnya berada
disana. Kala ia mencabut kerisnya, kala itu pula ususnya terpotong, hingga
akhirnya tewaslah Haryå Penangsang.
[1] Rajah yang digunakan oleh Haryå
Penangsang untuk membunuh Danang Sutawijaya. Namun rajah tersebut justru
mengenai dirinya karena emosi Haryå Penangsang yang kala itu sedang labil.
[2]
Abdi Haryå Penangsang yang
bertugas memelihara kuda
[3] Nama sungai
sumber
Ahli. pengertianmenurutparaahli.net
[10 Januari 2018]
Scribd. Arya
Penangsang. Scribd.com [16 Februari 2018]
Wikipedia. File:
Serat Babad Tanah Jawi. en.wikipedia.org [16 Februari 2018]
ndi windi ijeh ileng q ra? q panji...
BalasHapuspanji kembarane pandu, jaman nek semarang kae lho.... ni blogspot kamu y?
BalasHapus