Muhammad Sembara Yulianto (part 1)
Ya, benar...
Ini
kisahku tentang anak pertamaku, anak sulungku, anak yang baru pertama kali aku
kandung dan ia harus meninggalkan kami semua, sebelum sempat aku menyusuinya.
Singkatnya ini adalah keguguran. Memang terksesan, ah itu sudah biasa bagi kaum
hawa.. keguguran adalah hal yang dianggap biasa saja. namun bagi sosok ibu atau
sosok perempuan, tentunya memiliki masa/kenangan tersendiri dengan sang buah
hati, saat ia berada di perutnya.
Aku
ingin membagikan kisah ini dengan alur maju, tentunya ada pula yang aku tambahkan sedikit
untuk mengenang sulungku. Sengaja aku tidak menjawab pertanyaan mereka ketika
menanyaiku via WA. Tentunya kau sudah bisa menjawab bukan? Apa alasanku enggan
untuk berbagi cerita saat itu.
Kisah dimulai
Beberapa
hari setelah aku resmi pindah ke pulau Kalimantan, tepatnya di kota Palangka
Raya. Tentunya membuatku berfikir akan mencari kost untuk singgah sementara,
sebelum membeli rumah. Singkat cerita, aku boyongan dari jawa ke kalimantan via
jalur darat-laut, menggunakan mobil peninggalan bapak, bersama suamiku.
Sebelumnya, aku ingin mengatakan jika aku memanggil suamiku dengan sebutan
‘bapak’, jadi jika ada kata bapak yang nanti tertulis pada cerita ini, itu
tandanya suamiku. Bukan ayah kandungku, sementara sebutan bapakku, adalah untuk
ayah kandungku. Singkat cerita kembali, setelah beberapa minggu, tepatnya pada
bulan juni aku dinyatakan hamil.
Juni sampai Agustus
Pada
bulan-bulan ini, tentunya dinyatakan sebagai trisemester pertama dan wajar jika
seorang ibu hamil mual, muntah, dan tidak selera makan. Apapun makanan yang
tertelan, pasti selalu saja dimuntahkan. Meskipun itu makanan kesukaanku atau
makanan yang sangat lezat dimata orang lain. Kala itu, sangat ingin sekali
pulang ke kampung halaman. Menikmati udara yang sejuk, pemandangan sawah dan
juga air segar yang belum pernah aku temui selama disini. Entah mengapa, semua
makanan rasanya tidak enak, bahkan air putihpun muntah setelah minum. Sampai
aku pun bingung, harus memilih makanan yang seperti apa.
Kala
itu, aku hanya bisa memakan buah-buahan yang segar dan manis. Kurang suka
dengan buah yang asam dan tidak berair. Teh aku mual, jeruk terkadang bayiku
mau menerima, kadang pula dimuntahkan. Bahkan untuk minum air mineral saja,
mencoba beberapa merk dan sampai menemukan air nestle yang sangat cocok.
Sembaraku
suka dengan air minum nestle. Ia tidak mau air mineral lainnya, apalagi air
minum isi ulang. Sembaraku juga memilih makanan yang sehat dan segar, ia tidak
suka makan pedas dan makanan yang mengandung banyak micin. Ia pun tidak mau aku
makan di pinggir jalan. Entah mengapa anak ini suka sekali dengan makanan yang
bersih, sehat, dan harga yang cukup mahal di kantongku. Ia tak mau aku
kelelahan, meskipun hanya sekedar mencuci piring atau masak makanan yang
simpel. Selalu saja aku mual mencium aroma air kran di wastafel. Aku pun mual
dengan bau minyak dan bau dapur. Untungnya, suamiku mau mengerjakan pekerjaan
rumah tangga seperti bersih-bersih, termasuk memasak dan mencuci piring.
Sungguh, aku tak kuasa memaksakan diri untuk membuatkanya makanan atau hanya
sekedar membuatkan kopi.
Beberapa
minggu pada trisemester pertama, aku mual mencium aroma tubuh suamiku. Sampai
aku muntah. Bahkan beberapa hari, aku minta tidur dulu baru ia berada
disampingku. Kala itu, aku sudah terlelap tidur, suami menyusulku di kasur,
namun baru saja ia merebahkan badannya, aku terbangun dan ke kamar mandi...
muntah. Entah berapa kali, kupaksakan tidur namun tidak bisa karena aromanya
yang membuatku mual. Hingga akhirnya aku tidak bisa tidur sama sekali.
Beberapa
hari, menjelang aku latsar di Samarinda sudah tiba
Sembara mengelilingi Kalimantan
Berdasarkan
pada konsultasiku dengan bidan dan juga suami, aku memutuskan untuk berangkat
latsar menuju Samarinda dengan naik pesawat. Aku masih kebayang kalau ditengah
jalan akan muntah, mual, dan sebagainya. Ditemani oleh sahabatku, sebut saja
dengan nama Teteh. Ia menemaniku pulang pergi dengan naik pesawat dan kami
memutuskan untuk pulang dengan naik bus, atas beberapa pertimbangan termasuk
kondisi badanku kala itu.
Selama
di Samarinda, tentunya aku rindu dengan suami. Namun ketika aku mencoba untuk
video call, belum ada semenit, aku sudah mual melihat wajahnya.
Aneh,
tapi nyata.. Selama di Samarinda, aku tidak mual muntah hebat sama sekali, meski
terkadang malam hari ada saja makanan yang keluar dari mulutku dan kurang bisa
menikmati santapan makan malam. Tak apa, setidaknya tidak separah di awal.
Aku
baik-baik saja selama latsar, namun jika berkomunikasi, mendengar suara atau
melihat wajah suamiku, aku langsung mual dan rasanya otot di leher kencang
semua.
Perjalanan
Samrinda menuju Palangka Raya pun, aku baik-baik saja. Sembaraku tidak rewel
sama sekali saat perjalanan. Mungkin ia memang suka dengan traveling. Ia ku
bawa dengan jalur udara dan darat. Pada jalur darat pun melewati sungai,
penyebrangan dengan kapal veri mini. Sama sekali dia tidak rewel sedikitpun,
bahkan kuajak jajan di pinggir jalan pun ia mau dan tidak memuntahkan
makanannya. Disini, aku mencoba untuk minum air mineral selain nestle, ia pun
mau menerima dan sejak saat itu aku bisa minum merk lain. Kecuali merk tertentu
yang kurasa tidak nyaman di leher.
September
Beberapa
hari setelah pulang latsar, aku memang baik-baik saja. Tubuhku hanya flu
sedikit karena terlalu lelah di perjalanan.
Beberapa
hari aku merasa ada noda darah di celanaku, aku tidak berfikir aneh-aneh kala
itu. Karena setelah itu bersih dan tidak ada noda lagi pada keesokan harinya. Hingga
pada suatu saat, banyak sekali noda darah di sprei. Suamiku tahu dan ia
membawaku ke puskesmas. Setelah di cek disana, bidan berkata kalau jantungnya
masih bagus, berdetak kencang dan ketika perutku ditekan tidak terasa sakit.
Namun ia memintaku untuk segera menemui dokter kandungan untuk diperiksa lebih
lanjut karena pendarahan yang cukup banyak, sehingga harus segera ditangani.
Alhasil, aku dirujuk ke rumah sakit.
Naik turun tangga
Banyak
pertanyaan yang dilontarkan oleh dokter, termasuk apakah kami melakukan
hubungan atau tidak pada minggu terakhir. Namun kami tidak melakukan sama
sekali. Bagaimana aku mau melakukannya, melihat wajah suamiku saja aku masih
mual. Sementara aktivitasku masih tergolong ringan karena mengajar baru 1 hari
dan itu pun dengan zoom. Aktivitas lainnya pun tidak terlalu berat. Mencuci dan
lainnya suamiku yang mengerjakannya. Peralanan ke kampus pun menggunakan mobil,
meski terkadang jika ke warung terdekat aku meminjam motor anak sebelah. Tapi
sangat sedikit, tidak sebanyak dengan waktu leha-lehaku. Namun ada satu hari
dimana aku pada hari itu naik turun tangga kost, mungkin lebih dari lima kali.
Aku merasa ini sudah masuk minggu ke-13 dan selama kehamilan pada minggu
sebelumya, aku merasa baik-baik saja. Makanya aku tidak terlalu kepikiran kalau
naik turun tangga akan berbahaya. Namun disini ketika naik turun tangga, aku
tidak brutal dan tetap jalan sebagaimana mestinya. Kala itu aku memang mengakui
nafas yang sedikit berat ketika selepas naik tangga. Kupikir masih wajar kala
itu. Namun dokter berkali-kali memention adegan naik turun tangga. Ia berkata
boleh naik turun tangga namun harus dengan sangat hati-hati dan pelan-pelan.
Pertama
kali bertemu dokter aku hanya diberi obat dan diwanti-wanti untuk santai ketika
naik turun tangga. Sejak saat itu, aku lebih berhati-hati ketika melewati
tangga dan sambil memegang perutku. Menjaga nafas agar tetap stabil dan juga
sambil berpegangan pada pinggiran tangga. Aku pun mulai memakai sepatu kets
(sepatu olahraga), tidak mengenakan sepatu hak tinggi karena terasa sangat
pegal sekali.
Kedua kalinya ke dokter
Seminggu
setelah aku ke dokter yang pertama, aku masih mengalami pendarahan. Dokter sudah
memberiku obat penguat kandungan dan vitamin. Saran-saran yang diberikan aku
laksanakan tanpa alasan apapun aku melanggarnya. Malam harinya, seminggu
setelah aku ke dokter pertama kali. Muncul lagi darah dan cukup banyak, kurang
lebih setengah pembalut. Aku menyadari karena terbangun, sekitar jam 4 kurang
(sebelum subuh). Aku bergegas ke kamar mandi dan mengganti pembalutku.
Pagi
harinya sekitar jam 6 aku terbangun lagi, darah sudah banyak sekali dan aku
berganti pembalut lagi. Aku kembali ke tempat tidur untuk beristirahat kembali.
Namun sekitar jam 8/9 (lupa), sudah merasa tidak nyaman lagi. Ternyata ketika
bangun sudah banyak sekali darah di sprei, sampai menembus pada bedcover dan
sprei lapisan kedua. Aku kembali berganti pembalut. Suamiku melepas kain
bernoda darah tersebut dan merendamnya.
Kedua kalinya ke dokter.
Karena saking banyaknya darah yang keluar, dokter memutuskan
untuk aku dirawat inap. Hal ini untuk meminimalisir aku beraktivitas dan juga
mendapatkan cairan tambahan (infus). Pada sebelumnya dokter berkata, kalau air
ketubannya kurang. Aku diminta untuk minum banyak air putih. Pada pemeriksaan
kedua pun, ia masih mengatakan hal yang sama. Air ketubannya sangat kurang dan
ia menanyakan kembali apakah keluar air atau tidak.
Disini,
aku tidak tahu air apa yang dimaksudkan oleh dokter karena aku merasa yang
keluar adalah darah. Namun setelah bertanya pada perawat, ia menjelaskan kalau
air yang keluar itu kita tidak akan sadar kapan keluarnya. Kalau saat sedang
tidur atau diam, tahu-tahu celana sudah basah saja. Ketika hal itu diucapkan,
aku teringat memang beberapa kali celana basah. Namun kukira itu karena lembab
saja. Setelah pendarahan yang pertama, aku langsung memakai pembalut dan tidak
tahu jika ada air yang keluar. Kerap kali memang aku merasa ada cairan yang
keluar seperti kencing. Namun disitu kupikir adalah kencing biasa, tapi tidak
pesing. Mungkin air itu yang dimaksud oleh dokter. Ohya, disini dokter
kandunganya pria ya..
Rawat Inap Pertama
Disini,
pertama kalinya aku diinfus dan rawat inap di rumah sakit. Seperti yang aku
jelaskan sebelumnya, disini aku sangat diminimalisir untuk bergerak. Bahkan ke
kamar mandi hanya untuk BAB. Aku disarankan untuk memakai popok dewasa agar
bisa kencing di popok, tidak perlu keluar kamar. Namun aku tidak bisa kencing
di popok, sudah kupaksa dan kucoba, tapi tidak bisa. Namun ketika aku ingin
bersin atau tertawa, kadang ada air yang keluar. Entah itu air ketuban atau
kencing, aku tidak bisa membedakannya.
Dokter dan perawat tentunya memantau kesehatanku, apakah masih mengeluarkan darah atau
tidak. Sampai hari kedua, aku masih mengeluarkan darah cukup banyak dan
berkali-kali aku ke toilet untuk kencing. Kira-kira setiap 3-4 jam sekali aku
pergi ke toilet, sambil memeriksa volume darah yang keluar. Saat hari kedua,
dokter bilang kalau besok darah sudah berhenti, bisa pulang dan usg untuk
melihat perkembangan janin.
Pada
usg pertama dan kedua, doker berkata kalau janin masih dalam posisi yang bagus
dan detak jantungnya masih terdengar. Namun aku merasa pada usg kedua, detak
jantungnya tidak sekencang yang pertama (mungkin hanya perasaanku atau
bagaimana, aku merasa demikian).
Pada
hari ketiga, perdarahan sudah hilang dan disini aku merasa senang karena bisa
usg kembali.
Fyi,
aku sempat marah dengan suamiku karena suatu hal ketika di rumah sakit, hal itu
menjadikan keluar darah yang lebih banyak dari sebelumnya. Namun pada sore
harinya teteh mengunjungiku, ia mengajak ngobrol dan bahas apapun yang ingin
dibahas. Hingga pada akhirnya, setelah kunjungan dari teteh, aku tidak
mengeluarkan darah sama sekali. Disini aku mau mengatakan pula, kondisi marah,
stres, dan sebagainya sangat mempengaruhi volume darah yang keluar. Karena
setelah teteh datang, benar-benar tidak ada darah sama sekali. Hingga keesokan
paginya.
Tentunya
aku merasa senang karena bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Suamiku pun
senang karena aku sudah tidak mengeluarkan darah.
Namun
pada malam hari sebelumnya.................
Supaya
tidak terlalu panjang disini, saya lanjutkan di part kedua yah...
https://windisusetyothamrin.blogspot.com/2022/10/muhammad-sembara-yulianto-part-2.html
0 komentar:
Posting Komentar