Feminisme dalam Karya Sastra Indonesia
1. Latar Belakang
Femisme merupakan kajian sosial yang
melibatkan kelompok perempuan yang tertindas oleh budaya patriarki. Kualifikasi
antropolog perempuan lebih baik daripada pria, merupakan hal yang masih
diperdebatkan yang menyatakan bahwa antropolog wanita lebih baik daripada pria
dalam mempelajari wanita. Pengalaman dan aktivitas wanita harus selalu
dianalisis dalam konteks sosial dan historis secara spesifik, memberikan suatu
segi landasan dari segi antropologi. Perbedaan budaya bukanlah mengenai
keistimewaan dan keanehan budaya lain, melainkan merupakan pengakuan terhadap
keunikan budaya. Perempuan dikatakan lebih dekat dengan alam,
diasosiasikan dengan lingkup domain
domestik daripada publik dalam kehidupan sosial. Rosaldo memberi batasan
domestik sebagai lembaga dan kegiatan yang diatur sekelompok ibu dan anak.
Sedangkan publik menunjuk pada kegiatan, lembaga, dan mengorganisir dan
menyatukan kelompok-kelompok khusus ibu dan anak.
Feminisme adalah
gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata yang ada.
Misalnya institusi rumah tangga dan perkawinan. Kesalahpahaman seperti itu,
menjadikan feminisme yang kurang mendapat tempat di kalangan kaum wanita
sendiri, bahkan secara umum ditolak oleh masyarakat. Tujuan inti pendekatan
feminisme, menurut Djajanegara adalah meningkatkan kedudukan dan derajat
perempuan agar sama dengan laki-laki. Perjuangan untuk mencapai hal ini,
mencangkup beberapa cara termasuk melalui bidang sastra.
Karya sastra kerap
kali menjadi ajang perdebatan ketidakadilan gender yang secara simbolis menjadi
sebuah peperangan tulis. Dalam kritik sastra feminis menurut Sugihastuti dan
Suharto (2005: 23) bahwa konsep-konsep gender digunakan sebagai dasar analisis.
Lima konsep gernder tersebut antara lain 1) perbedaan gender ialah perbedaan
dari aribut-atribut sosial, karakteristik, perilaku, penampilan, cara
berpakaian, dan peranan. 2) Kesenjangan gender ialah perbedaan dalam hak
berpolitik, memberikan suara, bersikap antara laki-laki dan perempuan. 3) Genderzation
adalah pengacuan konsep pada upaya menempatkan jenis kelamin pada pusat
perhatian identitas diri dan pandangan dari dan terhadap orang lain. 4)
Identitas gender ialah gambaran tentang jenis kelamin yang seharusnya dimiliki
dan ditampilkan oleh tokoh yang bersangkutan, dan 5) Gender role ialah peranan
perempuan dan laki-laki yang dapat diaplikasikan secara nyata.
Sasaran penting dalam
analisis feminis menurut Suwardi Endaswara (2008: 146) adalah sedapat mungkin
berhubungan dengan mengungkap karyanya penulis wanita masa lalu dan masa kini;
mengungkapkan berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya sastra yang
ditulis oleh pengarang pria; mengungkapkan ideologi pengarang wanita dan pria,
bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata; mengkaji aspek
ginokritik, memahami proses kreatif kaum feminis; dan mengungkap aspek
psikoanalisa feminis, mengapa wanita lebih suka hal yang halus, emosional,
penuh kasih, dan sebagainya.
Citra perempuan dalam
karya sastra mendapatkan makna sesuai dengan keseluruhan sistem komhniksi
sastra, yakni pengarang, teks, dan pembaca. Reading as a woman menurut
Suwardi Endaswara adalah membaca sebagai perempuan. Peneliti dalam memahami
karya sastra harus menggunakan kesadara khusus, yaitu kesadaran bahwa jenis
kelamin banyak berhubungan dengan masalah keyakinan, ideologi, dan wawasan
hidup. Kesadaran khusus membaca sebagai perempuan merupakan hal yang penting
dalam kritik sastra feminisme. Reading as a woman yang dicetuskan oleh
Culler adalah membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi
kekuasaan laki-laki yang patriarkal.
Analisis novel dengan
kritik sastra feminis berhubungan dengan konsep membaca sebagai perempuan.
Karena selama ini karya sastra seolah-ola ditujukan pada pembaca laki-laki,
dengan kritik ini maka munculah pembaharuan adanya pengakuan akan adanya
pembaca perempuan. Hal ini dapat dikatakan untuk mengurangi prasangka gender
dalam sastra. Kritik sastra feminis adalah studi sastra yang mengarahkan fokus
analisisnya pada perempuan. Djajanegara berpendapat bahwa kajian feminisme
ialah salah satu kajian sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang
menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan.
Berdasarkan pada
paparan yang telah disebutkan diatas, timbulah pertanyaan. Bagaimanakah karya
sastra feminis dapat menekankan analisis gender? Karena karya sastra adalah
kebebasan penulis hendak menuangkan karyanya dalam bentuk apa dan seperti apa.
Bagaimanakan pengaruh latar belakang pengarang mempengaruhi karya sastra?
Karena karya sastra bersifat dulce et utile.
2. Perspektif Feminis
Penelitian sastra
berperspektif feminis adalah salah satu disiplin ilmu sastra yakni kritik
sastra feminis. Penelitian ini harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya
yang memungkinkan tidak terjadi kontradisi dalam teori keilmuwan secara
keseluruhan. Disiplin ini juga harus cocok dengan fakta empiris, minimal fakta
empiris karya sastra. Pada ilmu sastra, feminisme berhubungan dengan konsep
kritik sastra feminis yakni studi sastra yang mengarahkan analisis pada
perempuan. Upaya untuk mengkonkritkan wanita dalam karya sastra dilakukan
dengan melihat bahwa wanita tidak hanya cukup dipandang dalam kedudukannya
sebagai unsur struktur karya, tetapi perlu juga dipertimbangkan faktor
pembacanya. Pembaca wanita yang membaca karya sastra sebagai wanita
mempengaruhi konngkretisasi karya sastra makna teks. Sebuah teks hanya akan
dapat bermakna setelah teks tersebut dibaca.
Pengalaman empirik
dari sejumlah lembaga da peneliti perorangan menjadi masukan berharga untuk
mengembangakan dan menyempurnakan studi wanita dalam karya sastra. Penelitian
semacam ini, biasanya bersifat induktif bertujuan untuk mengembangkan kerangka
teori. Data feminis dapat bersifat kualitatif, misalnya data yang
mendeskripsikan status dan peran tokoh wanita dalam keluarga. Penelitian
kualitatif harus diperkaya dengan analisis eksperimental dengan komponen yang
diutamakan adalah asumsi, persiapa pribadi, formulasi masalah, pengumpulan
data, pengolahan data, serta pertanyaan kebijaksanaan. Komponen asumsi adalah
pendekatan subjektif yang sangat mirip dengan hal umum sehari-hari. Peneliti
yang berlatar belakang mutidisiplin lebih dikehendaki karena karya sastra tidak
terbatas pada terapan satu disiplin ilmu. Tidak perlu menyiapkan bacaan yang
banyak untuk penelitian feminis sastra agar tidak meneliti dengan profesi yang
sudah dibentuk pada dirinya. Hal yang diperlukan adalah meneliti dirinya
sendiri, pengalaman pribadi sebelumnya, kehendak, harapan, misalnya tentang
ketidaksukaannya untuk memahami apa yang ditelitinya. Data juga dapat berupa
dokumentasi perasaan dan ide peneliti.
Kesadaran
subjektivitas peneliti menjadi penting. Pengalaman pribadi peneliti dan tokoh
perempuan sebagai individu yang diteliti digayutkan. Proses inilah yang disebut
dengan reading as a woman. Strategi yang dapat digali salah satunya
adalah mengenai seluk beluk dan kepribadian tokoh perempuan dalam sebuah karya
sastra. Metodologi yang lebih penting yang dipakai adalah tidak bias laki-laki
atau seksis. Feminisme dalam penelitian sastra dianggap sebagai gerakan
kesadaran terhadap pengabaian dan eksploitasi perempuan dalam masyaralat
seperti yang tercermin dalam karya sastra.
3. Novel Feminis
Gerakan perempuan
untuk menuntut kesetaraan gender, selain RA Kartini dengan bukunya yang
berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, kini beberapa penulis novel pun berperan
untuk menuntut kesetaraan gender melalui karya sastra. N.H. Dini, Ayu Utami,
Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari dan sebagainya memasukan pandangan feminis dalam
novel mereka. Beberapa novel yang ditulis memiliki peran mengkritik terhadap
hegemoi patriarki yang berlaku pada masyarakat sejak zaman dahulu.
Pemikiran masyarakat
yang melekat mengatakan bahwa perempuan tidak bisa menjadi kuli seperti
laki-laki. NH Dini prnah bercerita dan bertanya pada seorang bos di kebun teh
yang melihat gaji perempuan lebih kecil daripada gaji laki-laki. Menurut bos
alasannya adalah karena perempuan pekerjaannya lebih mudah, hanya memetik teh
sedangkan laki-laki bertugas untuk mengangkat daun teh yang telah dipetik dari
keranjang ke atas truk. Ketika Bu Dini mendengar jawaban seperti itu, ia
bertanya pada perempuan pemetik teh dan bertanya apakah kuat mengangkat
keranjang teh ke atas truk. Setelah diketahui, perempuan mampu mengangkat ke
atas truk, ia lebih bertanya hal besar lagi terkait ketidaksetaraan ini.
Perempuan mampu menggendong keranjang dari kebun teh, saat mereka memetik pun
keranjang masih digendong, hingga sampai pada keluar dari kebun untuk
menyerahkan hasil petikannya untuk dinaikan ke atas truk. Bu Dini berkata dan
usul kepada bos agar perannya ditukar dan perempuan dapat merasakan gaji yang
tinggi pula. Tapi bos berkata ‘tidak’ dengan alasan bahwa jari perempuan lebih
terampil dibandingkan dengan jari laki-laki untuk memerik daun teh, maka dari
itu perempuan yang ditugaskan untuk memetik sementara laki-laki menaikan
keranjan ke atas truk yang dianggap memiliki tenaga yang lebih besar
dibandingkan dengan perempuan. Namun hal ini pun masih tidak dapat dikatakan
setara karena melihat gaji yang berbeda antara laki-laki dan perempuan,
sementara jika dilihat pekerjaan perempuan pemetik teh lebih berat dibandinkan
dengan laki-laki. Hal inilah yang melandasi NH Dini untuk lebih mengangkat
novel feminis.
Mindset perempuan
dikatakan tidak dapat menjadi kuli dikarenakan beberapa faktor, antara lain
perempuan memiliki fisik yang lemah, tidak seperti laki-laki yang kuat. Secara
psikis perempuan tidak sanggup bekerja kasar karena pekerjaan kuli dekat dengan
keringat. Hal tersebut terbukti pada sentimen-sentimen tokoh perempuan. Novel
feminis dapat dikatakan bertujuan untuk mempengaruhi dan membangun paradigma
berfikir perempuan pembaca, untuk melakukan gerakan kesetaraan teradap dominasi
laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan. Selain itu, memeri pengertian kepada
laki-laki agar tidak merendahkan perempuan. Secara ideologis, aplikasi teori
feminisme dalam pengkajian sastra, yakni novel sebagai objek kajian merupakan
karya penulis perempuan dan diteliti oleh serang peneliti perempuan. Karena
banyak pandangan yang mengatakan bahwa hal itu lebih baik diteliti oleh
antropolog perempuan ketimbang laki-laki. Karena sesama perempuan akan lebih
dalam berkomunikasi dan dapat merasakan hal yang sama.
Beberapa cerita novel
yang beredar, sebagian besar yang membahas masalah cinta adalah tentang
perempuan. Perempuan dilambangkan sebagai benda yang sangat langka dan
diperebutkan oleh banyak kaum adam. Tubuh perempuan memang memiliki daya
tarik tersendiri untuk laki-laki. Tidak
hanya pada tubuh secara fisik yang digambarkan dengan sangat indah dan aduhay,
beberapa karya sastra pun banyak yang berfokus pada masalah seksual.
Kemenarikan tubuh perampuan menjadi daya tarik bagi laki-laki. Hingga
memberikan ide untuk seniman. Seni rupa yang mewujudkan keindahan tubuh
perempuan dalam bentuk gambar. Seni musik yang melantunkan bagaimana tubuh
perempuan yang dipuja dan sangat disenangi oleh lelaki. Bahkan hingga seni
pertunjukan yang menggambarkan keindahan perempuan dengan beberapa aktor lelaki
memperbutkan hingga adanya pertumpahan darah. Legenda yang ada di Indonesia pun
muncul sebagian besar karena masalah perempuan. Baik dua kerajaan yang memperbutkan
perempuan, ada perempuan lain yang iri dengan perempuan satu sehingga bermain
dukun dan lainnya, sampai pada peran ibu yang dihormati dan mengutuk anaknya
karena durhaka. Kisah nabi Adam yang diturunkan ke bumi pun kareana faktor
perempuan.
Meskipun banyak peran
perampuan yang mendominasi karya sastra, dibalik sebuah karya ada pengarang
yang menginginkan sebuah krtitik di dalamnya. Melontarkan pendapatnya dengan
lebih leluasa, membeberkan pandangan pengarang akan paradigma dan kritik
pengarang terhadap hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Karya
sastra memang bukanlah kisah nyata yang dituliskan dalam pengarang. Namun dalam
kefiksian tersebut, penulis dapat dengan leluasa mengkhayal dan berfikir sesuka
dan sekena hati penulis.
4. Pengarang dan Karya Sastra
Pengarang dalam karya
sastra sering mengangkat tubuh dan seks perempuan dalam mengkonstruksi
ceritanya. Seks dan tubuh perempuan menaik bagi pengarang laki-laki untuk
menjadikan tema dan mengembangkannyad dalam karya sastra. Eksploitasi tokoh dalam
cerita berkaitan erat dengan ideologi kapitalisme yang menempatkan perempuan
sebagai alat reproduksi. Eksistensi seks dan pengarang karya sastra pengarang
laki-laki sering mendapatkan kritik, tidak hanya dari perempuan saja, laki-laki
yang mendekonstruksi hegemoni laki-laki terhadap perempuan sering mengkritik
lewat karya sastranya. Lahirlah karya sastra yang memebri kritik sekaligus
memberikan motivasi kepada kaum hawa melalui karya sastra.
Terlepas dari
kepengarangannya, pengarang laki-laki sering mengangkat perempuan sebagai objek
dalam karya sastranya. Dalam penceritaannya, tokoh perempuan selalu tertindas
oleh kaum laki-laki. Salah satu laki-laki yang menceritakan perempuan dalam
novelnya adalah Ahamad Tohari (AT) yang
berjudul Ronggeng Dukuh Paruk dan Bekisar Merah. AT menghasilkan karya sastra
yang lebih dekat dengan pengalaman hidupnya di desa. mengangkat persoalan
budaya, politik, sosial, seni, dan perempuan dalam karya sastranya. Eksistensi
karya sastra tidak terlepas dari peniruan peristiwa dalam kehidupan masyarakat.
Karya sastra dapat dikatakan sebagai ungkapan pengarang terhadap pengalaman dan
kehidupannya.
Kedua novel AT
tersebut memiliki kisah yang didominasi oleh peristiwa seks, seperti jual beli
seks, dan perkawinan. Penindasan pada perempuan terletak pada pemikiran yang
kontradiktif, yakni pemertahanan budaya lokal dan jual beli tubuh perempuan
sebagai pelaku yang tertindas. Peristiwa tersebut adalah ungkapan dari
pengarang untuk menggambarkan peristiwa penindasan terhadap kaum perempuan di
karya sastranya. Meski AT bukan seorang perempuan, namun pada beberapa novel,
khususnya novel Ronggeng Dukuh Paruk, ia menunjukan kepawaiannya dalam berkarya
sastra yang berbau feminisme. Sehingga penciptaan perempuan pada lakon
tersebut menjadi leih hidup dan mirip
dengan realitas yang ada. Telihat pada kisah Srintil (nama tokoh dalam Ronggeng
Dukuh Paruk) yang mengalami konflik batin sebagai seorang penari ronggeng
5. Seks dan Gender
Kajian terhadap
perempuan memiliki konsep utama yang harus dipahami adalah antara perbedaan
seks dan gender. Dua hal tersebut adalah konsep yang berbeda. Pembedaan konsep
tersebut perlu digunakan untuk memahami ketidakadilan sistem sosial. Hal ini
karena kurangnya pemahaman yang baik mengenai perbedaan antara konsep seks dan
gender.
Seks adalah sesuatu
yang given dan setiap orang memiliki naluri/dorongan seksual secara
biologis. Esensialisme seks secara alamiah, setiap orang pada dasarnya adalah
heteroseksual dalam katagori perempuan dan laki-laki. Di luar hal itu, dianggap
tidak normal dan menimpang yang kemudian harus disembuhkan karena dianggap
sebagai penyakit. Antropologi melihat variasi seksual pada perilaku seks yang
dipandang masyarakat dengan berbeda dipengaruhi oleh kebudayaan. Adanya
pengaruh gerakan feminisme yang mempertanyakan hak reproduksi pada seorang
perempuan yang aborsi. Tampak terlihat pada kutipan novel AT dalam Ronggeng
Dukuh Paruk dimana tokoh utama, Srintil yang harus mematikan rahimnya agar
menjadi ronggeng secara utuh. Dimana ia harus melakukan hubungan seks dengan
beberapa lelaki setiap malam-malam tertentu. Dukun menyarankan Srintil untuk
mematikan rahimnya (indung telur) agar ketika Srintil ditiduri oleh beberapa
lelaki, ia tidak akan hamil. Kegiatan ini merupakan kegiatan memutus
reproduksi. Tokoh memiliki konflik batin, dimana ia ingin seutuhnya menjadi
seorang ronggeng, namun sebagai seorang perampuan, ia pun ingin merasakan
memiliki anak dan menjadi seorang ibu. Cara pandang kontruktifisme memiliki
cara pandang yang berbeda-beda, banyak ragam yang melihat seks sebagai sesuatu
yang dinamis. Adanya perbedaan yang fundamental antara laki-laki dan perempuan.
Istilah gender
berbeda dengan seks atau jenis kelamin, menunjuk pada perdebatan antara
laki-laki dan perempuan secara biologis. Gender lebih mendekati pada arti jenis
kelamin dari sudut pandang sosial, seperangkat peran seperti apa yang
seharusnya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan pada umumnya. Gender adalah
jenis interpretasi sosio-kultural, seperangkat peran yang dikonstruksi oleh
masyarakat bagaimana menjadi lelaki (sosok yang kuat) dan perempuan (sosok yang
lembut). Seperangkat ini pula mencangkup pada penampilan, pakaian, sikap,
kepribadian, seksualitas, dan sebagainya.
Pembentukan peran
gender tidak hanya karena pembentukan secara biologis. Adanya sosialisasi atau
akulturasi budaya dapat mempengaruhi sifat dan peran gender. Sesuatu yang tidak
alamiah dapat diubah, peran gender bukanlah hal yang alamiah, sehingga perannya
dapat diubah melalui budaya/teknologi. Pandangan semacam ini, sebagian besar
dianut oleh feminis yang menginginkan trasnformasi sosial, sehingga perbedaan
atau dikotomi peran gender laki-laki dan perempuan dapat ditiadakan.
Seksualitas adalah
aspek kehidupan yang menyeluruh, menyangkut seks, gender, orientasi seksual,
erotisme, kesenangan, keintiman, dan reproduksi. Seksualitas dialami dan
diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan, nilai, tingkah laku,
kebiasaan, peran, dan hubungan. Seksualitas dapat dipengaruhi oleh faktor
biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, sejarah, agama, dan spiritual.
Pada kamus sosiologi
disebutkan bahwa semua varian teori feminis cenderung mengandung tiga unsur
pokok. Pertama, gender adalah suatu konstruksi yang menekan kaum perempuan,
sehingga menguntungkan kaum laki-laki. Kedua, konsep patriarki dalam lembaga
sosial dianggap sebagai landasan utama konstruksi tersebut. Ketiga, pengalaman
dan pengetahuan kaum hawa harus dilibatkan dalam perkembangan suatu masyarakat
non seksis di masa mendatang. Secara umum, feminisme adalah ideologi pembebasan
perempuan. Hal ini nampak pada semua pendekatan yang digunakanya yang
berkeyakinan bahwa perempuan dianggap tertindas dan mengalami ketidakadilan
akibat jenis kelaminnya.
6. Kritik Sastra Feminis, Masyarakat, dan Kebudayaan
Bidang ilmu yang
sangat dekat dengan kritik sastra feminis, salah satunya adalah sosiologi.
Curry mengatakan bahwa konstruksi gender yang terjadi dalam sistem sosial
masyarakat adalah salah satu problem sosiologi yang mengakibatkan terjadinya
marginalisasi terhadap perempuan. Menurut teori konflik yang dikemukakan, tidak
adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh lemahny posisi
perempuan dalam sistem stratifikasi sosial. Sastra adalah lembaga sosial yang
menggunakan bahasa seagai mediumnya. Bahasa pada hakekatnya adalah ciptaan
sosial yang menampilkan gambaran kehidupan sosial.
Sastra adalah cermin
dari sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, ekonomi,
politik, pendidikan, dan kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang
bersangkutan. Sastra adalah cermin dari sistem ide dan nilai, gambaran tentang
apa yang dikehendaki dan aa yang ditolak oleh masyarakat. Gaya bahasa adalah
cara yang digunakan untuk menyatakan maksud dengan menggunakan bahasa sebagai
sarananya. Kritik sastra feminis pada dasarnya bukan sebuah disiplin ilmu yang
berdiri sendiri, namun memiliki hubungan yang sangat erat dengan ilmu yang
lainnya.
Jika bahasa adalah
alat reproduksi gender, maka sastra diharapkan berperan sebaliknya, yakni
sebagai realitas tandingan yang dapat menihilkan bahasa sebagai alat legitimasi
realitas keseharian yang dominan. Perempuan dalam karya sastra ditampilkan
dalam kerangka hubungan yang ekuivalen dengan seperangkat tata nilai marginal
dan yang tersubordinasi lainnya. Oleh tata nilai marginal tersebut, perempuan
hampir selalu terbentur pada batas untuk selalu ditampilkan sebagai tokoh yang
harus dibela atau korban yang selalu dihimbau untuk mendapatkan perhatian.
Barret (melalui Selden, 1991: 142)
memberikan analisis feminis yang bersifat marxis tentang penggambaran jenis
kelamin, antara lain :
1.
Barret sependapat dengan pendapat
seorang matrealis yang bernama Virgia Wolf yang menyatakan bahwa secara
material, ada kondisi yang membedakan laki-laki dan perempuan dalam
menghasilkan kesusstraan. Kondisi ini sekaligus mempengaruhi bentuk dan isi
tulisan mereka.
2.
Ideologi jenis kelamin mempengaruhi
cara baca hasil penulisan laki-laki dan perempuan.
3.
Barret juga memberikan masukan bahwa
para kritikus feminis harus memperhitungkan kodrat fiksional teks-teks sastra
dan tidak begitu saja mengutuk semua penulis pria yang memamerkan seksisme
dalam buku mereka dan bersetuju dengan para penulis wanita untuk mengangkat
persoalan jenis kelamin. Pendapat tersebut berpedoman pada teori yang mengungkapkan
bahwa sebuah teks tidak mempunyai arti tetap dan mengandung tafsiran yang
bergantung pada keadaan dan ideologi pembaca.
Keberadaan karya
sastra yang dihasilkan oleh pengaang memiliki latar belakang mengapa karya
sastra tersebut dapat tercipa. Layakna seorang anak yang menuliskan status
dalam akun media sosialnya, misalnya facebook, pasti memiliki alasan dan tujuan
tertentu. Alasan dan tujuan tersebut dilatar belakangi oleh faktor-faktor yang
mendukung si anak menulis. Faktor yang nampak adalah faktor lingkungan,
pikiran, dan isi hati si anak. Begitupula pada seoang pengarang yang memilih
menjadikan karya sastranya memiliki isi dan hasil yang seperti apa adalah
ungkapan pemikiran hati seorang pengarang. Termasuk pula karya sastra yang
berbau feminisme. Pada paragraf sebelumnya telah dijelaskan mengenai NH Dini
yang dikataksn sebagai novelis yang megangkat karya sastra berbau feminisme.
Percakapan dengan NH Dini beberapa waktu silam, menampilkan sebuah kesan
mengenai alasan Ibu Dini memilih feminisme daripada tema lainnya dalam karya
sastranya.
Jika dibandingkan
denga AT, ia menuliskan karyanya berdasarkan pengalaman dan peristiwa yang
nampak di sekitarnya. AT tinggal di sebuah desa darah Banyumas, kedesaannya
juga nampak pada panggilannya pada sang ibu, AT memanggil ibunya dengan nama
‘biyung’. Pertemuan dan percakapan dengan AT beberapa waktu silam, menerangkan
bahwa ia tinggal di desa, tidak malu dengan kedesaannya, dan hal itulah yang
membuatnya semakin berkarya. Nampak pada hampir sebagian besar karya sastra AT
menggambarkan suasana yang begitu detail dan jelas. Semua lingkungan yang ia
rasakan untuk menggambarkan imajinasinya, disebutkan secara menyeluruh sehingga
pembaca akan dengan baik memahami setting latar yang akan diceritakan oleh AT
dalam karya sastranya. Berlatar belakang desa dan kehidupan miskin selalu
ditonjolkan oleh AT dalam novel dan cerpennya.
Dua tokoh yang telah
disebutkan diatas, menjelaskan bahwa latar belakang seorang penulis sangat
mempengaruhi karya sastra yang dibuatnya. Hal, peristiwa, dan pemikiran yang
ada dalam benak penulis akan tergambarkan pada hasil karya sastranya. Baik
berdasarkan latar belakang, pengalaman, pemikiran, atau hal lain yang
menjadikan pemikirannya semakin matang untuk mengasilkan karya sastra.
7. Simpulan
Munculnya ide-ide
feminis bermula dari kenyataan bahwa keadaan yang memperlihatkan belum ada
kesejajaran antara hak laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial
bermasyakat. Kesadaran tersebut yang kemudian melahirkan kritik feminis.
Perwujudannya dapat dilakukan dengan berbagai hal, misalnya pada sikap, karya
sastra yang dihasilkasan, atau media lain yang memungkinkan untuk dapat
menyampaikan gagasan atau ide sebagai bentuk feminis terhadap pandangan sosial
yang ada di masyarakat.
Kritik sastra
feminis, meletakkan teori feminisme menjadi landasan dasar pemikiran.
Sugihastuti dan Suharto (2002:20) mnyatakan bahwa kritik sastra feminis
memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang
berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia. Feminisme muncul
sebagai akibat adanya prasangka gender yang memandang perempuan sebagai kelas
dua. Pandangan semacam ini tidak hanya nampak pada lahiriah, tetapi juga pada
struktur sosial budaya di masyarakat.
Karya sastra feminis
dapat menekankan analisis gender, jika pembca telah memahami dan membaca dengan
baik hasil karya sastra tersebut. Menggunakan pemahamannya untuk melakukan
kritik sastra secara objektif dengan meliat karya sastra berdasarkan
pembacanya. Jika hanya melihat karya sastra secara objektif, atau melihat karya
sastra melalui karya sastra itu sendiri akan menampilkan kritik sastra yang
kurang kritis. Karena hanya melihat dari segi estetika dan mimetiknya.
Menilai karya sastra
dan kritik sastra juga sebaiknya melihat pada later belakang pengarangnya. Hal
ini ditujukan untuk mengetahui alasan pengarang membuat judul demikian dan
membuat seting cerita yang demikian. Judul, alur, tema, setting, dan semua
unsur intrinsik dalam karya sastra telah dipikirkan oleh pengarang dalam bentuk
sepreti apa nantinya. Kritik sastra yang baik, tidak hanya melihat unsur
intrinsiknya saja, melainkan pada unsur ekstrinsiknya pula. Tujuannya adalah
memahami bagaimana pikiran dan latar belakang pengarang dengan karyanya. Meski
dalam mengkritik karya sastra, pengarang dianggap sudah mati dan tidak
diizinkan untuk menolak kritikan dari pihak manapun.
Melihat karya sastra
dari sudut pandang antropolog, memerlukan berbagai ilmu bantu lainnya agar
menghasilkan pandangan dan paradigma yang lebih luas lagi. Bukan hanya sekedar
melihat sastra dari hasil karya sastra itu sendiri. Tetapi perlunya ilmu dan
pengetahuan lain untuk lebih memahaminya. Feminisme dekat kaitannya dengan
gender dan seksualitas. Sembari memahami isi dari karya sastra, latar belakang
penulis, memahami unsur karya sastra dari segi intrinsik dan ekstinsik, melihat
karya sastra sebagai dulce et utile, perlu juga pemahaman mengenai
seksualitas dan gender. Karya sastra dihasilkan oleh manusia. Manusia itu
berfikir dan fikiran maunusia dapat dikonstruksi oleh pemikirannya yang telah
terbentuk. Pemikiran yang telah terbentuk itu diperoleh hasil dari membaca,
pengalaman, dan pengetahuan pengarang. Sastra feminisme, tidak hanya ditulis
oleh perempuan saja. Melainkan pengarang laki-laki pun dapat menulisnya karena
ia pun memiliki pengalaman dengan perempuan atau pengetahuan lainnya. Meski
dalam batin, laki-laki kurang memahami dengan detail mengenai perasaan
perempuan. Setiaknya, pengarang laki-laki pun dapat menuangkan pendapat terkait
feminisme. Begitu pula dengan pembaca laki-laki. Berawal dari ketidak tahuan
mengenai perasaan perempuan, ketika lelaki membaca karya sastra feminis, ia
akan memahami bagaimana kritik feminis itu ada dan berjalan. Diharapkan pula
dengan adanya kritik feminisme dari sebuah karya sastra, akan adanya sebuah
kesetaraan gender dalam memandang laki-laki dan perempuan.
Daftar Pustaka
Alfian
Rokhmansyah. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan Awal Terhadap
Ilmu Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Moore,
H.L. 1998. Feminisme dan Antropologi. Jakarta: Obor.
Pusat
Bahasa Al Ahzar. Kritik Sastra Feminisme. Pusatbahasaalahzar.wordpress.com
( 17 Desember 2016).
Sugihastuti.1998.
Penelitian Kualitatif Sastra berperspektif Feminis. Jurnal UGM.
Vance,
C.S. 1989. Social Construction Theory: Problem in The History of Sexuality.
Amsterdam: An Dekker
__________1999. Culture, Society, and
Sexuality. London: UCL Press
Ini tulisan yang bagus bagi yang mau diantarkan soal paradigma antropologi kritis posmodern, khususnya tentu pada perpsektif feminisme.
BalasHapusEtnografi klasikpun juga demikian, Mbak. Mayoritas etnografer klasik dan pria yang secara tak sadar kerap menomorduakan posisi wanita. Setelah muncul etnografer wanita seperti Ruth Benedict dan Margaret Mead, malah vice versa sama yang barusan. Saat ini, kehadiran feminisme menjadi pemikiran yg kritis dan wajar untuk menyeimbangkan paradigma antropologi untuk menelaah masalah kontemporer yang rumitnya bukan main
ada buku bagus nggak bang, buat saya baca. terkait pemikiran yg kritis dan wajar untuk menyeimbangkan paradigma antropologi untuk menelaah masalah kontemporer yang rumitnya bukan main?
Hapuspenasaran... :D