belajar menulis dengan beberapa tugas yang telah ada dan beberapa hal yang ingin disampaikan dengan metafora. selamat membaca, oh ya.. jika hendak mengutip beberapa info dari blog ini, mohon sertakan sumbernya ya.. ingat plagiat itu tidak baik lho. salam.... ws.ningrum

BTemplates.com

Mengenai Saya

Foto saya
wo shi filolog wo ye shi antropolog. dui, wo xi huan hanyu. jika ada yang mau kenalan, boleh kirim e-mail kakak :D oya, ws ningrum shi: windi susetyo ningrum
Diberdayakan oleh Blogger.

w.s.ningrum

w.s.ningrum
爱,我明白如果上帝不睡觉 我相信

7 Apr 2017

Resistensi Pendidikan dan Karir Perempuan dalam Prespektif Masyarakat Pedesaan di Jawa


1.    Latar Belakang
Sebagian masyarakat pedesaan di Jawa mengatakan bahwa pendidikan anak perempuan tidak usah terlalu tinggi karena proses pendidikan yang akan diraihnya adalah berujung menjadi seorang ibu rumah tangga. Kepawaiannya di kegiatan belakang (memasak, mencuci, mengurus anak, dan melayani suami) dirasa sudah cukup dalam membekali kehidupan dalam rumah tangga. Jika diperhatikan, pembagian kerja ketika ada ajara hajatan di Jawa, khususnya pada masyarakat pedesaan. Sebagian besar perempuan bekerja si bagian belakang, dengan kata lain peran perempuan adalah memasak, mencuci, dan hal lain sebagainya yang letaknya berada di belakang rumah. Sementara laki-laki yang bertugas di depan dan/atau di luar rumah. Meskipun pada kegiatan masak-memasak ada beberapa bahan yang kurang, pihak perempuan tetap berada di dalam. Mereka meminta pihak laki-laki untuk keluar rumah dan membelikan barang yang diperlukan tersebut. Hal ini memudahkan perempuan untuk beraktifitas, namun dengan kata lain juga peranan perempuan memiliki batas ruang lingkup.
Ketidakseimbangan gender berdampak pada perempuan yang ingin mengembangkan ilmu dan karir mereka. Beberapa kasus yang telah ada, pendidikan perempuan melihat bagaimana kondisi suatu daerah tertentu. Kasus mengenai ketidakseimbangan gender misalnya di Sukabumi. Perempuan harus bersekolah hingga SMP, sementara laki-laki tidak lulus pun tidak jadi masalah. Hal ini disebabkan adanya pabrik garmen yang ada di Sukabumi, perekrutan pegawainya lebih pada ke perempuan dengan syarat lulus SMP. Sementara penambang pasir, dilakukan oleh laki-laki dan tidak mempermasalahkan pendidikan karena melihat pada kekuatan fisiknya. Berdasarkan pada paparan diatas, terlihat bahwa pendidikan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki karena adanya faktor pabrik garmen tersebut. Hal seperti itu, beberapa orang mengatakan jika menempuh pendidikan sesuai dengan pekerjaan yang ada di daerah tersebut. Tidak perlu belajar tinggi atau mencari pekerjaan yang jauh dari daerahnya. Namun apabila pabrik sudah tidak menerima perekrutan lagi, akan terjadi pengangguran yang besar. Maka dari itu, seyogyanya sebagai manusia tidak semata-mata bersekolah untuk bekerja saja, terutama perempuan.
Tugas perempuan ketika telah berumah tangga (menjadi istri) perlu dibekali dengan beberapa ilmu untuk mendidik anaknya. Seperti pada umumnya, tugas perempuan di rumah dan laki-laki bekerja. Namun keberadaan perempuan tidak hanya semata-mata menjaga rumah dan membersihkan rumah. Perempuan memerlukan taktik untuk mengatur keuangan, siapa tamu yang berkunjung, hubungan dengan suami (interaksi), dan yang lebih penting adalah dalam hal pengasuhan anak. Perempuan dengan tingkat pendidikan rendah, seringkali tidak terlalu peduli dengan anaknya dan kurang memperhatikan perkembangan anak. Sementara perempuan dengan pendidikan yang lebih tinggi, meskipun tidak bekerja ia akan lebih peduli dengan anaknya.
 Secara tidak langsung, pembentukan sikap dan perilaku terhadap lingkungannya, dapat dipengaruhi oleh otak. Perkembangan otak diasah dengan belajar dan dalam hal ini adalah pendidikan yang ditempuhnya. Perempuan juga berhak berkarir sesuai dengan keinginan dan kemampuannya, meskipun ia juga menjabat sebagai ibu rumah tangga. Karir yang dijunjung tinggi oleh perempuan secara tidak langsung akan mempengaruhi cara mendidik anaknya.
Beberapa orang Jawa masih memandang sebelah mata perihal wanita karir. Mereka menganggap, perempuan yang bekerja di luar rumah dan berkedudukan tinggi (yang sudah menikah) dipandang sebelah mata. Sementara Islam mengajarkan perempuan untuk bekerja dan memiliki kesetaraan dengan laki-laki.
Masalah pendidikan untuk kaum hawa merupakan masalah yang kompleks. Karena tidak hanya menyangkut pada masalah pekerjaan, tetapi juga mengangkut pembagian kerja, psikologi, adab dan perilaku, dan kesenjangan perempuan. Makalah ini akan fokus pada hal pendidikan dan karir perempuan dalam prespektif gender, studi kasus daerah Pedesaan Jawa. Saat ini masih banyak stereotip yang mengatakan perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi. Hal seperti itu masih nampak pada orang-orang yang di daerah pedesaan, khususnya Jawa. Konsep pemikiran seperti itu nampaknya menjadi halangan perempuan untuk berkarir.
2.    Kebudayaan dan Gender
Laki-laki dan perempuan memang memiliki perbedaan, secara biologis dan peranannya. Secara biologis  nampak pada alat reproduksinya. Secara alamiah dan tidak dapat ditukar/digantikan. Perempuan memiliki seperangkat alat reproduksi yang tidak dimiliki oleh laki-laki dan sebaliknya. Alat tersebut tidak dapat dibuat atau dihilangkan. Pembedaan antara laki-laki dan perempuan adalah peranannya dapat diubah. Peran laki-laki dan perempuan dapat diubah dengan sendiri atau diubah oleh peraturan negara. Peran gender yang dapat diubah, misalnya laki-laki tidak boleh menggendong anak, tetapi sekarang peran tersebut dapat dimainkan pula oleh laki-laki. Peran yang diatur dalam pemerintahan, misalnya adalah pemimpin yang dahulu diwajibkan hanya laki-laki, namun sekarang peran tersebut dapat dimainkan pula oleh perempuan. Jika melihat kedua hal itu.
Perempuan dan laki-laki diibaratkan dengan alam dan budaya. Dijelaskan oleh Ortner bahwa, perempuan diidentifikasikan secara simbolis yang diasosiasikan dekat dengan alam, sedangkan pria diasosiasikan dekat dengan kebudayaan. Ortner mengatakan bahwa perempuan lebih dekat dengan alam karena posisi mereka lebih dominan domestik daripada publik dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga menyangkut peran perempuan sebagai seorang ibu dan mengasuh anak. Peran perempuan dalam rumah tangga lebih terlihat pada pengasuhan anak. Sedangkan laki-laki jika memerankan mengasuh anak dianggap sebagai hal yang tabu di masyarakat umum. Meskipun pada saat ini banyak laki-laki yang kerap kali membawa anaknya pergi jalan-jalan keluar, dan ada istrinya di rumah. Posisi perempuan ketika mengasuh anak dan posisi laki-laki ketika mengasuh anak akan memiliki perbedaan. Jika dipandang secara umum, akan lebih indah jika perempuan yang mengasuh anak daripada laki-laki. Melihat sikap lemah lembut yang ditunjukan oleh perempuan.
Perempuan dikatakan lebih dekat dengan alam dalam Ortner (2006: 76-82) yang menyatakan tiga hal, yakni fisiologi perempuan nampak lebih dekat dengan alam, peran sosial perempuan yang nampak lebih dekat dengan alam, dan jiwa perempuan yang lebih dekat dengan alam.        
Terkait fisiologi perempuan yang menyatakan bahwa fisik perempuan terdiri dari beberapa organ yang secara alami dimiliki oleh mereka. Salah satunya adalah ovarium yang dapat menyebabkan perempuan hamil dan menstruarsi. Hal alamiah yang tidak perlu dipelajari. Secara alami dialami oleh perempuan. Hamil dan menstruarsi erat kaitannya dengan alam, maka dari itu dikatakan fisiologi perempuan dekat dengan alam.
Peran sosial perempuan memang nampak dekat dengan alam. Kehamilan merupakan salah satu proses yang dialami oleh perempuan untuk menjadi ibu. Ketika sedang mengandung, perempuan telah ada interaksi dengan janin yang ada di perut. Terlebih ketika sedang dalam proses menyusui (pemberian ASI), interaksi dapat terlihat secara langsung dan dikatakan lebih dekat daripada ketika perempuan sedang mengandung. Ketika anak sudah mulai bermain dan tumbuh kembang. Ibu akan mengamati bagaimana proses perkembangan anak. Secara lagsung, ibu memiliki peran yang besar dalam proses pembentukan anak. Akan dibentuk seperti apakah anak tersebut. Akan dijadikan seperti siapakah anak tersebut kelak. Pekerjaan perempuan dalam hal perkembangan anak dan mengurus keluarga merupakan dalam ranah domestik. Pertumbuhan anak merupakan alamiah dan konstruksi budaya. Hal inilah dikatakan perempuan dianggap lebih dekat dengan alam.
Perempuan dan laki-laki tidak hanya memiliki perbedaan pada tubuh dan lokus sosial, tetapi juga terdapat perbedaan pada struktur jiwa yang lebih kontroversional. Secara umum laki-laki dianggap lebih rasional daripada perempuan yang dianggap emosional dan irasional. Kejiwaan yang ada dalam diri perempuan dianggap sebagai alamiah dan merupakan dekat dengan alam. Namun Chodorow berargumen bahwa perbedaan jiwa laki-laki dan perempuan tidak berasal dari pembawaan lahir atau secara genetik, namun kemunculannya secara umum dekat dengan struktur keluarga. Dapat dikatakan dengan kata lain, bahwa perbedaan tersebut adalah konstruksi sosial. Seorang ibu merupakan sosializer bagi anak-anaknya untuk membangun identias personal mereka. Stereotip yang mengatakan apabila seorang laki-laki marah, dianggap tegas. Sedangkan apabila perempuan marah, dianggap tersinggung dan emosional. Stereotip tersebut nampak lebih menghakimi dan merugikan perempuan.
Berdasarkan dari paparan diatas, dikatakan bahwa perempuan lebuh dekat dengan alam (nature) sedangkan laki-laki lebih dekat dengan kebudayaan (nuture). Perempuan dikatakan dekat dengan alam karena beberapa faktor yang telah disebutkan sebelumnya, sedangkan laki-laki memiliki peranan mengkonstruksi budaya. Lebih dekat dengan budaya karena melalui proses berfikir dalam bertindak, bukan sebuah alamiah semata. Secara tidak langsung, budaya yang memanfaatkan alam dan menguasai alam. Maka dari itu, dianggap perempuan memiliki posisi yang lebih rendah daripada laki-laki.
3.    Pendidikan dan Gender
Menempuh pendidikan merupakan hak bagi seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan untuk meraih cita-citanya. Meskipun beberapa orang dalam menjalaninya, bekerja tidak sesuai dengan cita-cita. Setidaknya mereka dapat menemukan diri mereka melalui pendidikan. Beberapa artikel dari Ortner dan Rosaldo menyatakan bahwa secara universal, posisi perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Seperti penjelasan yang ada pada sebelumnya. Namun bukan berarti laki-laki dapat menguasai perempuan dan memerintah perempuan dengan seenaknya. Pandangan masyarakat yang menyatakan istri harus menurut perintah suami, memang benar dan dibenarkan dalam agama. Hanya saja, tidak semua perintah dan perkataan suami dapat diterima oleh istri jika hal itu menyimpang. Kadang beberapa orang mengalami perdebatan dalam mengasuh anak dan ingin menjadikan anak sebagai individu seperti apa, kerap kali menjadi masalah dalam rumah tangga.
Subordinasi, menganggap satu jenis kelamin lebih penting atau lebih baik daripada jenis kelamin yang lainnya. Pada kasus diatas, menempatkan peran perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki. Kasus tersebut juga ditambahkan dengan nilai-nilai di masyarakat yang membatasi ruang gerak perempuan dalam kehidupan.
Di dalam segala bentuk kehidupan masyarakat, para feminis berusaha untuk mengumpulkan informasi mengenai kedudukan perempuan di dalam masyarakat. Feminis Carrol Smith-Rosenberg pernah mengatakan bahwa, studi budaya pernah memungkinkan para feminis kreatif mencari peluang untuk menciptakan budaya yang lain berdasarkan pengalaman dan kehidupan perempuan. Studi budaya membuat perempuan, terutama yang melakukan kajian perempuan untuk mendata ulang, dan menemukan kembali suara-suara perempuan yang telah sekian lama terpinggirkan (Arivia, 2006:412-414).
Pada umumnya, pendidikan tidak melihat posisi gender, sebagai laki-laki atau perempuan. Keduanya memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang sama. Hanya beberapa hal yang menjadikan tidak bisa melanjutkan pendidikan, salah satunya adalah alasan ekonomi. Warga desa merasa tidak perlu berpendidikan tinggi dan cukup menjadi petani saja karena masalah ekonomi dan latar belakang budaya yang menyebabkannya. Namun hal ini akan menjadi sebuah pertentangan bagi anak yang ingin tetap melanjutkan sekolahnya, baik denagan cara mencari beasiswa atau kerja sambil melanjutkan pendidikan. Setidaknya, anak yang memiliki pemikiran demikian didukung oleh keluarga dan sekelilingnya agar mencapai cita-citanya dan menjadi yang lebih baik. Khususnya mengubah nasib keluarganya.
Pendidikan yang ditempuh oleh anak, dapat mempengaruhi perubahan pola pikir anak dalam bertindak dan memutuskan dengan baik. Hal ini memiliki kaitan dengan pola pengasuhan anak, pada perempuan. Setinggi apapun perempuan berpendidikan, mau tidak mau ia harus mulai lagi dari nol untuk mengajarkan anak-anaknya. Stereotip yang mengatakan seorang yang berpendidikan tinggi sebaiknya mengajar siswa yang lebih tinggi pula, itu kuarang tepat. Sebagai seorang perempuan yang sudah menjadi ibu (memiliki anak) memiliki tanggung jawab sendiri terhadap tumbuh kembang anak.
Pertumbuhan anak yang diperhatikan oleh ibu kandung dengan baik, anak akan dengan mudah menemukan bakatnya. Sedari anak berada di perut ibu, anak dan ibu sudah memiliki ikatan yang erat. Ketika menyusui dan terlebih ketika melihat pertumbuhan anak dengan sendirinya. Pada hal ini, perempuan yang berpendidikan tinggi harus mau turun ke bawah. Perihal anak ketika masih duduk di bangku taman kanak-kanak atau sekolah dasar, ibu sebaiknya yang mengajari anaknya. Bukan malahan melimpahkan anak agar belajar dengan pembantunya atau kakaknya atau tantenya atau orang lain karena menganggap pelajaran tersebut mudah dan semua orang dewasa lainnya dapat mengerjakan dan mengajarkannya. Hal ini kadang menjadi kurang perhatian pada perempuan yang berpendidikan tinggi untuk mengajari anaknya pada tingkatan yang lebih rendah. Terkecuali, jika anak diajarkan oleh lembaga atau orang yang ahli pada bidangnya dan orang tua tidak memahaminya.
4.    Kesetaraan Gender
Ranah perempuan lebih cenderung pada ranah domestik daripada publik. Studi yang dilakukan oleh Kitching dan Stoler mengungkapkan bahwa wanita dalam sistem produksi pedesaan tidak dapat dianggap sebagai kelompok homogen. Tidak ada asumsi yang menyatakan bahwa perubahan-perubahan akan menyebabkan peningkatan diferensiasi menurut gender dan/atau pertanian wanita dalam subsistem (Moore, 1998:147).
Pada penelitiannya, Stoler memperlihatkan adanya penetrasi kapasitas ke dalam ekonomi pedesaan Jawa, sebagaimana dinyatakan terjadi dalam banyak situasi lain, tidak mengakibatkan dikotomi yang meningkat dalam pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, mengakibatkan meningkatnya ketimpangan-ketimbangan antara wanita dan pria (Stoler, 1997:75-76 dalam Moore, 1998:146). Stoler juga mengatakan posisi perempuan di Jawa juga terlibat dalam pengaturan keuangan rumah tangga. Hal inilah yang memicu adanya perubahan ekonomi dan sistem pembagian keja dalam masyatakat pedesaan (petani). Hal ini menyebabkan perempuan untuk ikut bekerja di sawah dan membantu dalam mencari keuangan.
Beberapa keadaan yang telah disebutkan diatas, membicarakan gender tidak hanya berbicara dengan melihat sudut perempuan saja. Gender merupakan peranan yang dibawakan dan dikonstruksi oleh budaya. Bias gender yang nampak pada pendidikan, tidak hanya nampak pada pendidikan yang dienyam dibangku sekolah saja, namun pendidikan juga dapat dilakukan secara informal, yakni dari pendidikan orang tua yang dilakukan di rumah. Bukan hanya pada mengajari anak pelajaran sekolah, tetapi juga berkaitan dengan kedisiplinan, norma, tata perilaku, sopan, dan santun sesuai dengan latar belakang budaya orang tua.
Beberapa kendala kesetaraan gender dalam pendidikan menurut Tri Marherni (dalam skripsi Ika Irmawati, 2011:34) adalah:
1.    Proses sosialisai peran gender, membuat perempuan merasa berkewajiban memenuhi harapan budaya dan tradisi: mengabdi kepada keluarga, menjadi istri yang baik.
2.    Sistem nilai budaya dan pandangan keagamaan kurang mendukung kesetaraan perempuan dalam pendidikan. Terkait mengenai pandangan stereotip perempuan tidak perlu bersekolah tinggi. Semakin tinggi sekolahnya, maka akan semakin sulit medapatkan jodohnya.
3.    Prioritas pendidikan masih diperuntukan bagi laki-laki yang nantinya akan menjadi pencari nafkah.
Perempuan sedikit dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan, sehingga kebijakan pendidikan yang dihasilkan cenderung bersifat endosentris. Semata-mata hanya melihat pada kepentingan murid laki-laki.
5.    Simpulan
Pendidikan merupakan hal yang patut diperoleh laki-laki dan perempuan, meskipun pada saat ini stereotip banyak mengatakan bahwa pendidikan lebih ditujukan kepada kaum adam. Karena kelak mereka akan menjadi tulang punggung keluarga, semenara peran kaum hawa lebih pada pekerjaan domestik.
Stereotip semacam itu masih sangat kental di masayarakat, khususnya daerah pedesaan di Jawa. Mitos orang desa yang mengatakan bahwa semakin tinggi perempuan bersekolah, maka semakin susah jodohnya. Namun jika dilihat dengan sudut pandang yang berbeda, hal ini akan menjadi batu loncatan untuk memperbaiki keuangan keluarga yang dapat dikatakan rendah.
Setidaknya ada kebebasan perempuan untuk menggapai cita-citanya, salah satu prosesnya dengan mengenyam pendidikan tinggi. Kebebasan ini sudah dirasakan oleh beberapa perempuan yang notabene berada di kalangan atas, sementara untuk kalangan bawah masih kurang. Faktor yang paling mendasar adalah ekonomi dan lingkungannya.
Menjadi seorang waita karir bukan hal buruk karena perempuan juga dapat merasakan bagaimana susahnya mencari uang. Meski pada akhirnya jika memilih untuk melepaskan karir dan berubah menjadi ibu rumah tangga, hal ini juga tidak buruk. Perempuan yang berpendidikan tinggi akan lebih kritis dalam berfikir dan menyelesaikan masalah. Baik masalah sosial, batin, finansial, atau masalah rumah tangganya sendiri. Ilmu yang didapat juga dapat diterapkan pada anaknya kelak, dengan tujuan si anak tumbuh sesuai dengan harapan orang tuanya. Anak yang cerdas, berasal dari perempuan yang cerdas pula.

Daftar Pustaka
Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Balai Pustaka.
Irmawati, Ika. 2011. Prespektif Gender pada Pendidikan Anak dalam Keluarga Petani di Desa Jambu Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas (Analisis Gender). Skripsi.
Mahmood, S. 2005. The Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton: Princeton University Press.
Moore, Henrietta L. 1998. Feminisme & Antropologi. Jakarta: Obor.
Ortner, S.B. 2006. Is Female to Male as Nature is to Culture?. Malden: Blackwell Publishing.
Rosaldo. M.Z. dan Lamphere, L.1974. Woman, Culture, and Society. California: Stanford University Press.

Stoler, A. 1977. Class Sructure and Female Autonomy in Rural Java. Chicago: University of Chicago Press Journal.

2 komentar:

  1. Senang sekali kajian patriarki di Jawa dikaitkan dengan pemikiran Ortnerian.

    Memang sih, logika kebudayaan yang patriarki masih kental sama stereotip seks dan gender. Cuman, untuk masalah masa kini, orang mau tidak mau harus mengubah pola pikirnya jadi lebih kritis alias rasional. Mereka harus menyadari bahwa ada beberapa hal yang memang sih jatuh dari langit, namun sesunggunya itu dapat berproses secara sendiri sehingga dapat menggebrak stereotip itu sendiri.

    Contoh lain mungkin pilot wanita Indonesia yang baru saja muncul beberapa puluh tahun lamanya setelah NKRI punya dirgantaranya sendiri. Ini yang perlu diperhatikan. Karena, ciri khas lahiriah belum tentu mempengaruhi secara negatif pola pikir, daya tahan fisik, hingga kemampuan pilot wanita itu, kan?

    Bagaimanapun, seks dan gender memang harus punya keadilannya. Semua harus ditempatkan pada tempatnya. Dalam artian, semua tempat berhak dimiliki oleh siapapun asalkan itu dapat mempengaruhi tumbuh kembangnya sebagai seorang manusia secara positif. Wanita juga manusia, kan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul banget bang, wanita juga manusia dan pastinya ia berproses untuk menjadi yang lebih baik. sayangnya banyak anggapan yang menyatakan bahwasannya wanita pekerjaannya ya di rumah dan berada di bawah lelaki. atau mungkin mereka yang berikir demikian, takut dikalahkan dengan seorang wanita?
      nah inilah... tantangan untuk wanita di zaman modern ini. memang suatu kewajiban dia menjadi ibu pada nantinya. tapi, wanita juga boleh dong mengembangkan dirinya. karena tidak hanya lelaki saja yang ingin dibanggakan oleh wanitanya karena ia memiliki kemampuan. dari sudut pandang wanita, saya sendiri sebagai wanita juga ingin ada yang dibanggakan didalam diri saya, terutama untuk orang tua, apalagi untuk suami dan mertua kelak. ehhee

      Hapus