Resistensi Pendidikan dan Karir Perempuan dalam Prespektif Masyarakat Pedesaan di Jawa
1. Latar Belakang
Sebagian masyarakat pedesaan di Jawa
mengatakan bahwa pendidikan anak perempuan tidak usah terlalu tinggi karena
proses pendidikan yang akan diraihnya adalah berujung menjadi seorang ibu rumah
tangga. Kepawaiannya di kegiatan belakang (memasak, mencuci, mengurus anak, dan
melayani suami) dirasa sudah cukup dalam membekali kehidupan dalam rumah
tangga. Jika diperhatikan, pembagian kerja ketika ada ajara hajatan di Jawa,
khususnya pada masyarakat pedesaan. Sebagian besar perempuan bekerja si bagian
belakang, dengan kata lain peran perempuan adalah memasak, mencuci, dan hal
lain sebagainya yang letaknya berada di belakang rumah. Sementara laki-laki
yang bertugas di depan dan/atau di luar rumah. Meskipun pada kegiatan
masak-memasak ada beberapa bahan yang kurang, pihak perempuan tetap berada di
dalam. Mereka meminta pihak laki-laki untuk keluar rumah dan membelikan barang
yang diperlukan tersebut. Hal ini memudahkan perempuan untuk beraktifitas,
namun dengan kata lain juga peranan perempuan memiliki batas ruang lingkup.
Ketidakseimbangan
gender berdampak pada perempuan yang ingin mengembangkan ilmu dan karir mereka.
Beberapa kasus yang telah ada, pendidikan perempuan melihat bagaimana kondisi
suatu daerah tertentu. Kasus mengenai ketidakseimbangan gender misalnya di Sukabumi.
Perempuan harus bersekolah hingga SMP, sementara laki-laki tidak lulus pun
tidak jadi masalah. Hal ini disebabkan adanya pabrik garmen yang ada di
Sukabumi, perekrutan pegawainya lebih pada ke perempuan dengan syarat lulus
SMP. Sementara penambang pasir, dilakukan oleh laki-laki dan tidak mempermasalahkan
pendidikan karena melihat pada kekuatan fisiknya. Berdasarkan pada paparan
diatas, terlihat bahwa pendidikan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki
karena adanya faktor pabrik garmen tersebut. Hal seperti itu, beberapa orang
mengatakan jika menempuh pendidikan sesuai dengan pekerjaan yang ada di daerah
tersebut. Tidak perlu belajar tinggi atau mencari pekerjaan yang jauh dari
daerahnya. Namun apabila pabrik sudah tidak menerima perekrutan lagi, akan
terjadi pengangguran yang besar. Maka dari itu, seyogyanya sebagai manusia
tidak semata-mata bersekolah untuk bekerja saja, terutama perempuan.
Tugas perempuan
ketika telah berumah tangga (menjadi istri) perlu dibekali dengan beberapa ilmu
untuk mendidik anaknya. Seperti pada umumnya, tugas perempuan di rumah dan
laki-laki bekerja. Namun keberadaan perempuan tidak hanya semata-mata menjaga rumah
dan membersihkan rumah. Perempuan memerlukan taktik untuk mengatur keuangan,
siapa tamu yang berkunjung, hubungan dengan suami (interaksi), dan yang lebih
penting adalah dalam hal pengasuhan anak. Perempuan dengan tingkat pendidikan
rendah, seringkali tidak terlalu peduli dengan anaknya dan kurang memperhatikan
perkembangan anak. Sementara perempuan dengan pendidikan yang lebih tinggi,
meskipun tidak bekerja ia akan lebih peduli dengan anaknya.
Secara tidak langsung, pembentukan sikap dan
perilaku terhadap lingkungannya, dapat dipengaruhi oleh otak. Perkembangan otak
diasah dengan belajar dan dalam hal ini adalah pendidikan yang ditempuhnya.
Perempuan juga berhak berkarir sesuai dengan keinginan dan kemampuannya,
meskipun ia juga menjabat sebagai ibu rumah tangga. Karir yang dijunjung tinggi
oleh perempuan secara tidak langsung akan mempengaruhi cara mendidik anaknya.
Beberapa orang Jawa
masih memandang sebelah mata perihal wanita karir. Mereka menganggap, perempuan
yang bekerja di luar rumah dan berkedudukan tinggi (yang sudah menikah) dipandang
sebelah mata. Sementara Islam mengajarkan perempuan untuk bekerja dan memiliki
kesetaraan dengan laki-laki.
Masalah pendidikan
untuk kaum hawa merupakan masalah yang kompleks. Karena tidak hanya menyangkut
pada masalah pekerjaan, tetapi juga mengangkut pembagian kerja, psikologi, adab
dan perilaku, dan kesenjangan perempuan. Makalah ini akan fokus pada hal
pendidikan dan karir perempuan dalam prespektif gender, studi kasus daerah
Pedesaan Jawa. Saat ini masih banyak stereotip yang mengatakan perempuan tidak
perlu berpendidikan tinggi. Hal seperti itu masih nampak pada orang-orang yang
di daerah pedesaan, khususnya Jawa. Konsep pemikiran seperti itu nampaknya
menjadi halangan perempuan untuk berkarir.
2. Kebudayaan dan Gender
Laki-laki dan
perempuan memang memiliki perbedaan, secara biologis dan peranannya. Secara
biologis nampak pada alat reproduksinya.
Secara alamiah dan tidak dapat ditukar/digantikan. Perempuan memiliki
seperangkat alat reproduksi yang tidak dimiliki oleh laki-laki dan sebaliknya.
Alat tersebut tidak dapat dibuat atau dihilangkan. Pembedaan antara laki-laki
dan perempuan adalah peranannya dapat diubah. Peran laki-laki dan perempuan
dapat diubah dengan sendiri atau diubah oleh peraturan negara. Peran gender
yang dapat diubah, misalnya laki-laki tidak boleh menggendong anak, tetapi
sekarang peran tersebut dapat dimainkan pula oleh laki-laki. Peran yang diatur
dalam pemerintahan, misalnya adalah pemimpin yang dahulu diwajibkan hanya
laki-laki, namun sekarang peran tersebut dapat dimainkan pula oleh perempuan.
Jika melihat kedua hal itu.
Perempuan dan
laki-laki diibaratkan dengan alam dan budaya. Dijelaskan oleh Ortner bahwa,
perempuan diidentifikasikan secara simbolis yang diasosiasikan dekat dengan
alam, sedangkan pria diasosiasikan dekat dengan kebudayaan. Ortner mengatakan
bahwa perempuan lebih dekat dengan alam karena posisi mereka lebih dominan domestik
daripada publik dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga menyangkut peran
perempuan sebagai seorang ibu dan mengasuh anak. Peran perempuan dalam rumah
tangga lebih terlihat pada pengasuhan anak. Sedangkan laki-laki jika memerankan
mengasuh anak dianggap sebagai hal yang tabu di masyarakat umum. Meskipun pada
saat ini banyak laki-laki yang kerap kali membawa anaknya pergi jalan-jalan
keluar, dan ada istrinya di rumah. Posisi perempuan ketika mengasuh anak dan
posisi laki-laki ketika mengasuh anak akan memiliki perbedaan. Jika dipandang
secara umum, akan lebih indah jika perempuan yang mengasuh anak daripada
laki-laki. Melihat sikap lemah lembut yang ditunjukan oleh perempuan.
Perempuan dikatakan
lebih dekat dengan alam dalam Ortner (2006: 76-82) yang menyatakan tiga hal,
yakni fisiologi perempuan nampak lebih dekat dengan alam, peran sosial
perempuan yang nampak lebih dekat dengan alam, dan jiwa perempuan yang lebih
dekat dengan alam.
Terkait fisiologi
perempuan yang menyatakan bahwa fisik perempuan terdiri dari beberapa organ
yang secara alami dimiliki oleh mereka. Salah satunya adalah ovarium yang dapat
menyebabkan perempuan hamil dan menstruarsi. Hal alamiah yang tidak perlu dipelajari.
Secara alami dialami oleh perempuan. Hamil dan menstruarsi erat kaitannya dengan
alam, maka dari itu dikatakan fisiologi perempuan dekat dengan alam.
Peran sosial
perempuan memang nampak dekat dengan alam. Kehamilan merupakan salah satu
proses yang dialami oleh perempuan untuk menjadi ibu. Ketika sedang mengandung,
perempuan telah ada interaksi dengan janin yang ada di perut. Terlebih ketika
sedang dalam proses menyusui (pemberian ASI), interaksi dapat terlihat secara
langsung dan dikatakan lebih dekat daripada ketika perempuan sedang mengandung.
Ketika anak sudah mulai bermain dan tumbuh kembang. Ibu akan mengamati
bagaimana proses perkembangan anak. Secara lagsung, ibu memiliki peran yang
besar dalam proses pembentukan anak. Akan dibentuk seperti apakah anak
tersebut. Akan dijadikan seperti siapakah anak tersebut kelak. Pekerjaan perempuan
dalam hal perkembangan anak dan mengurus keluarga merupakan dalam ranah
domestik. Pertumbuhan anak merupakan alamiah dan konstruksi budaya. Hal inilah
dikatakan perempuan dianggap lebih dekat dengan alam.
Perempuan dan
laki-laki tidak hanya memiliki perbedaan pada tubuh dan lokus sosial, tetapi
juga terdapat perbedaan pada struktur jiwa yang lebih kontroversional. Secara
umum laki-laki dianggap lebih rasional daripada perempuan yang dianggap
emosional dan irasional. Kejiwaan yang ada dalam diri perempuan dianggap
sebagai alamiah dan merupakan dekat dengan alam. Namun Chodorow berargumen
bahwa perbedaan jiwa laki-laki dan perempuan tidak berasal dari pembawaan lahir
atau secara genetik, namun kemunculannya secara umum dekat dengan struktur
keluarga. Dapat dikatakan dengan kata lain, bahwa perbedaan tersebut adalah
konstruksi sosial. Seorang ibu merupakan sosializer bagi anak-anaknya untuk
membangun identias personal mereka. Stereotip yang mengatakan apabila seorang
laki-laki marah, dianggap tegas. Sedangkan apabila perempuan marah, dianggap
tersinggung dan emosional. Stereotip tersebut nampak lebih menghakimi dan
merugikan perempuan.
Berdasarkan dari
paparan diatas, dikatakan bahwa perempuan lebuh dekat dengan alam (nature) sedangkan
laki-laki lebih dekat dengan kebudayaan (nuture). Perempuan dikatakan
dekat dengan alam karena beberapa faktor yang telah disebutkan sebelumnya,
sedangkan laki-laki memiliki peranan mengkonstruksi budaya. Lebih dekat dengan
budaya karena melalui proses berfikir dalam bertindak, bukan sebuah alamiah
semata. Secara tidak langsung, budaya yang memanfaatkan alam dan menguasai
alam. Maka dari itu, dianggap perempuan memiliki posisi yang lebih rendah
daripada laki-laki.
3. Pendidikan dan Gender
Menempuh pendidikan
merupakan hak bagi seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan untuk meraih
cita-citanya. Meskipun beberapa orang dalam menjalaninya, bekerja tidak sesuai
dengan cita-cita. Setidaknya mereka dapat menemukan diri mereka melalui
pendidikan. Beberapa artikel dari Ortner dan Rosaldo menyatakan bahwa secara
universal, posisi perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Seperti
penjelasan yang ada pada sebelumnya. Namun bukan berarti laki-laki dapat
menguasai perempuan dan memerintah perempuan dengan seenaknya. Pandangan
masyarakat yang menyatakan istri harus menurut perintah suami, memang benar dan
dibenarkan dalam agama. Hanya saja, tidak semua perintah dan perkataan suami
dapat diterima oleh istri jika hal itu menyimpang. Kadang beberapa orang
mengalami perdebatan dalam mengasuh anak dan ingin menjadikan anak sebagai
individu seperti apa, kerap kali menjadi masalah dalam rumah tangga.
Subordinasi,
menganggap satu jenis kelamin lebih penting atau lebih baik daripada jenis
kelamin yang lainnya. Pada kasus diatas, menempatkan peran perempuan yang lebih
rendah daripada laki-laki. Kasus tersebut juga ditambahkan dengan nilai-nilai
di masyarakat yang membatasi ruang gerak perempuan dalam kehidupan.
Di dalam segala bentuk kehidupan
masyarakat, para feminis berusaha untuk mengumpulkan informasi mengenai
kedudukan perempuan di dalam masyarakat. Feminis Carrol Smith-Rosenberg pernah
mengatakan bahwa, studi budaya pernah memungkinkan para feminis kreatif mencari
peluang untuk menciptakan budaya yang lain berdasarkan pengalaman dan kehidupan
perempuan. Studi budaya membuat perempuan, terutama yang melakukan kajian
perempuan untuk mendata ulang, dan menemukan kembali suara-suara perempuan yang
telah sekian lama terpinggirkan (Arivia, 2006:412-414).
Pada umumnya,
pendidikan tidak melihat posisi gender, sebagai laki-laki atau perempuan.
Keduanya memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang sama. Hanya
beberapa hal yang menjadikan tidak bisa melanjutkan pendidikan, salah satunya
adalah alasan ekonomi. Warga desa merasa tidak perlu berpendidikan tinggi dan
cukup menjadi petani saja karena masalah ekonomi dan latar belakang budaya yang
menyebabkannya. Namun hal ini akan menjadi sebuah pertentangan bagi anak yang
ingin tetap melanjutkan sekolahnya, baik denagan cara mencari beasiswa atau
kerja sambil melanjutkan pendidikan. Setidaknya, anak yang memiliki pemikiran
demikian didukung oleh keluarga dan sekelilingnya agar mencapai cita-citanya
dan menjadi yang lebih baik. Khususnya mengubah nasib keluarganya.
Pendidikan yang
ditempuh oleh anak, dapat mempengaruhi perubahan pola pikir anak dalam
bertindak dan memutuskan dengan baik. Hal ini memiliki kaitan dengan pola
pengasuhan anak, pada perempuan. Setinggi apapun perempuan berpendidikan, mau
tidak mau ia harus mulai lagi dari nol untuk mengajarkan anak-anaknya. Stereotip
yang mengatakan seorang yang berpendidikan tinggi sebaiknya mengajar siswa yang
lebih tinggi pula, itu kuarang tepat. Sebagai seorang perempuan yang sudah
menjadi ibu (memiliki anak) memiliki tanggung jawab sendiri terhadap tumbuh
kembang anak.
Pertumbuhan anak yang
diperhatikan oleh ibu kandung dengan baik, anak akan dengan mudah menemukan
bakatnya. Sedari anak berada di perut ibu, anak dan ibu sudah memiliki ikatan
yang erat. Ketika menyusui dan terlebih ketika melihat pertumbuhan anak dengan
sendirinya. Pada hal ini, perempuan yang berpendidikan tinggi harus mau turun
ke bawah. Perihal anak ketika masih duduk di bangku taman kanak-kanak atau
sekolah dasar, ibu sebaiknya yang mengajari anaknya. Bukan malahan melimpahkan
anak agar belajar dengan pembantunya atau kakaknya atau tantenya atau orang
lain karena menganggap pelajaran tersebut mudah dan semua orang dewasa lainnya
dapat mengerjakan dan mengajarkannya. Hal ini kadang menjadi kurang perhatian
pada perempuan yang berpendidikan tinggi untuk mengajari anaknya pada tingkatan
yang lebih rendah. Terkecuali, jika anak diajarkan oleh lembaga atau orang yang
ahli pada bidangnya dan orang tua tidak memahaminya.
4. Kesetaraan Gender
Ranah perempuan lebih
cenderung pada ranah domestik daripada publik. Studi yang dilakukan oleh
Kitching dan Stoler mengungkapkan bahwa wanita dalam sistem produksi pedesaan
tidak dapat dianggap sebagai kelompok homogen. Tidak ada asumsi yang menyatakan
bahwa perubahan-perubahan akan menyebabkan peningkatan diferensiasi menurut
gender dan/atau pertanian wanita dalam subsistem (Moore, 1998:147).
Pada penelitiannya,
Stoler memperlihatkan adanya penetrasi kapasitas ke dalam ekonomi pedesaan
Jawa, sebagaimana dinyatakan terjadi dalam banyak situasi lain, tidak
mengakibatkan dikotomi yang meningkat dalam pembagian kerja berdasarkan jenis
kelamin, mengakibatkan meningkatnya ketimpangan-ketimbangan antara wanita dan
pria (Stoler, 1997:75-76 dalam Moore, 1998:146). Stoler juga mengatakan posisi
perempuan di Jawa juga terlibat dalam pengaturan keuangan rumah tangga. Hal
inilah yang memicu adanya perubahan ekonomi dan sistem pembagian keja dalam
masyatakat pedesaan (petani). Hal ini menyebabkan perempuan untuk ikut bekerja
di sawah dan membantu dalam mencari keuangan.
Beberapa keadaan yang
telah disebutkan diatas, membicarakan gender tidak hanya berbicara dengan
melihat sudut perempuan saja. Gender merupakan peranan yang dibawakan dan
dikonstruksi oleh budaya. Bias gender yang nampak pada pendidikan, tidak hanya
nampak pada pendidikan yang dienyam dibangku sekolah saja, namun pendidikan
juga dapat dilakukan secara informal, yakni dari pendidikan orang tua yang
dilakukan di rumah. Bukan hanya pada mengajari anak pelajaran sekolah, tetapi
juga berkaitan dengan kedisiplinan, norma, tata perilaku, sopan, dan santun
sesuai dengan latar belakang budaya orang tua.
Beberapa kendala
kesetaraan gender dalam pendidikan menurut Tri Marherni (dalam skripsi Ika
Irmawati, 2011:34) adalah:
1. Proses
sosialisai peran gender, membuat perempuan merasa berkewajiban memenuhi harapan
budaya dan tradisi: mengabdi kepada keluarga, menjadi istri yang baik.
2. Sistem
nilai budaya dan pandangan keagamaan kurang mendukung kesetaraan perempuan
dalam pendidikan. Terkait mengenai pandangan stereotip perempuan tidak perlu
bersekolah tinggi. Semakin tinggi sekolahnya, maka akan semakin sulit
medapatkan jodohnya.
3. Prioritas
pendidikan masih diperuntukan bagi laki-laki yang nantinya akan menjadi pencari
nafkah.
Perempuan sedikit dilibatkan dalam
proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan, sehingga
kebijakan pendidikan yang dihasilkan cenderung bersifat endosentris.
Semata-mata hanya melihat pada kepentingan murid laki-laki.
5. Simpulan
Pendidikan merupakan
hal yang patut diperoleh laki-laki dan perempuan, meskipun pada saat ini
stereotip banyak mengatakan bahwa pendidikan lebih ditujukan kepada kaum adam.
Karena kelak mereka akan menjadi tulang punggung keluarga, semenara peran kaum
hawa lebih pada pekerjaan domestik.
Stereotip semacam itu
masih sangat kental di masayarakat, khususnya daerah pedesaan di Jawa. Mitos orang
desa yang mengatakan bahwa semakin tinggi perempuan bersekolah, maka semakin
susah jodohnya. Namun jika dilihat dengan sudut pandang yang berbeda, hal ini
akan menjadi batu loncatan untuk memperbaiki keuangan keluarga yang dapat
dikatakan rendah.
Setidaknya ada kebebasan
perempuan untuk menggapai cita-citanya, salah satu prosesnya dengan mengenyam
pendidikan tinggi. Kebebasan ini sudah dirasakan oleh beberapa perempuan yang
notabene berada di kalangan atas, sementara untuk kalangan bawah masih kurang.
Faktor yang paling mendasar adalah ekonomi dan lingkungannya.
Menjadi seorang waita
karir bukan hal buruk karena perempuan juga dapat merasakan bagaimana susahnya
mencari uang. Meski pada akhirnya jika memilih untuk melepaskan karir dan
berubah menjadi ibu rumah tangga, hal ini juga tidak buruk. Perempuan yang
berpendidikan tinggi akan lebih kritis dalam berfikir dan menyelesaikan
masalah. Baik masalah sosial, batin, finansial, atau masalah rumah tangganya
sendiri. Ilmu yang didapat juga dapat diterapkan pada anaknya kelak, dengan
tujuan si anak tumbuh sesuai dengan harapan orang tuanya. Anak yang cerdas,
berasal dari perempuan yang cerdas pula.
Daftar Pustaka
Arivia,
Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Balai Pustaka.
Irmawati,
Ika. 2011. Prespektif Gender pada Pendidikan Anak dalam Keluarga Petani di
Desa Jambu Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas (Analisis Gender). Skripsi.
Mahmood,
S. 2005. The Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton:
Princeton University Press.
Moore,
Henrietta L. 1998. Feminisme & Antropologi. Jakarta: Obor.
Ortner,
S.B. 2006. Is Female to Male as Nature is to Culture?. Malden: Blackwell
Publishing.
Rosaldo.
M.Z. dan Lamphere, L.1974. Woman, Culture, and Society. California:
Stanford University Press.
Stoler,
A. 1977. Class Sructure and Female Autonomy in Rural Java. Chicago:
University of Chicago Press Journal.
Senang sekali kajian patriarki di Jawa dikaitkan dengan pemikiran Ortnerian.
BalasHapusMemang sih, logika kebudayaan yang patriarki masih kental sama stereotip seks dan gender. Cuman, untuk masalah masa kini, orang mau tidak mau harus mengubah pola pikirnya jadi lebih kritis alias rasional. Mereka harus menyadari bahwa ada beberapa hal yang memang sih jatuh dari langit, namun sesunggunya itu dapat berproses secara sendiri sehingga dapat menggebrak stereotip itu sendiri.
Contoh lain mungkin pilot wanita Indonesia yang baru saja muncul beberapa puluh tahun lamanya setelah NKRI punya dirgantaranya sendiri. Ini yang perlu diperhatikan. Karena, ciri khas lahiriah belum tentu mempengaruhi secara negatif pola pikir, daya tahan fisik, hingga kemampuan pilot wanita itu, kan?
Bagaimanapun, seks dan gender memang harus punya keadilannya. Semua harus ditempatkan pada tempatnya. Dalam artian, semua tempat berhak dimiliki oleh siapapun asalkan itu dapat mempengaruhi tumbuh kembangnya sebagai seorang manusia secara positif. Wanita juga manusia, kan?
betul banget bang, wanita juga manusia dan pastinya ia berproses untuk menjadi yang lebih baik. sayangnya banyak anggapan yang menyatakan bahwasannya wanita pekerjaannya ya di rumah dan berada di bawah lelaki. atau mungkin mereka yang berikir demikian, takut dikalahkan dengan seorang wanita?
Hapusnah inilah... tantangan untuk wanita di zaman modern ini. memang suatu kewajiban dia menjadi ibu pada nantinya. tapi, wanita juga boleh dong mengembangkan dirinya. karena tidak hanya lelaki saja yang ingin dibanggakan oleh wanitanya karena ia memiliki kemampuan. dari sudut pandang wanita, saya sendiri sebagai wanita juga ingin ada yang dibanggakan didalam diri saya, terutama untuk orang tua, apalagi untuk suami dan mertua kelak. ehhee