Levi-Strauss, Sir James George Frazer, Clifford Geertz, dan Victor Turner
Levi-Strauss
Hubungan antara bahasa dan
kebudayaan:
- Bahasa yang
digunakan oleh suatu masyarakat dianggap sebagai refleksi dari keseluruhan
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Pandangan ini digunakan oleh
sebagian antropolog untuk mempelajari kebudayaan suatu masyarakat melalui
bahasa yang digunakan.
- Bahasa adalah
bagian dari kebudayaan atau bahasa adalah salah satu unsur dari kebudayaan.
Pandangan ini menempatkan bahasa dibawah payung kebudayaan. Bahasa bukan
merupakan fenomena yang khas, melainkan fenomena budaya yang tidak berbeda
dengan unsur-unsur budaya lainnya. Seperti sistem kekerabatan, kesenian,
dan sebagainya dan memiliki posisi yang khusus.
- Bahasa merupakan
kondisi bagi kebudayaan. Hal ini memiliki arti dua hal, yakni dalam arti
diakronis dan material. Diakronis memiliki arti bahasa mendahului
kebudayaan karena melalui bahasa, manusia mengetahui budaya masyarakatnya.
Bahasa merupakan kondisi kebudayaan karena meterial yang digunakan untuk
membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama jenisnya dengan
material yang membentuk kebudayaan itu sendiri. Bahasa dapat dikatakan
sebagai pelatak pondasi bagi terbentuknya berbagai macam struktur yang
lebih kompleks, rumit, yang sesuai (koresponden), atau sejajar dengan
aspek-aspek dan unsur-unsur kebudayaan yang lain.
Dari ketiga pandangan tersebut,
Levi-Strauss memilih pandangan yang ketiga. Sebagian antropolog, menurutnya
masih terjebak dengan pertanyaan “apakah bahasa mempengaruhi kebudayaan,
ataukah kebudayaan yan mempengaruhi bahasa?” pertanyaan tersebut dianggap oleh
Levi-Strauss menyesatkan. Prespektif yang tepat menurutnya adalah memandang
bahasa dan kebudayaan sebagai hasil dari aneka aktivitas yang pada dasarnya
mirip/sama.
Hubungan antara bahasa dan
kebudayaan, pada dasarnya adalah kesejarahan-kesejarahan atau kolerasi-kolerasi
yang mungkin dapat ditemukan diantara keduanya. Seorang ahli bahasa dapat
bekerja sama dengan antropolog untuk membandingkan ekspresi dan konsep mengenai
waktu dan tataran bahasa dan pada tataran sistem kekerabatan atau relasi antar
individu. Marcel Mauss mengatakan
ilmu-ilmu sosial akan lebih maju, jika para ilmuwan sosial bersedia mengikuti
jejak ahli linguistik. Bagi Levi-Strauss peranan linguistik struktural dalam
membongkar cara pandang para ahli linguistik sendiri (dan ilmuwan sosial pada
umumnya) mirip dengan peranan yang telah dilakukan oleh fisika nuklir dalam
ilmu-ilmu fisika.
Strukturalisme Levi-Strauss
menganggap teks seperti mitos sejajar atau mirip dengan kalimat berdasarkan
atas dua hal. Pertama, teks adalah suatu kesatuan yang bermakna (meaningful
whole) yang dapat dianggap mewujudkan, mengekspresikan, keadaan pemikiran
seorang pengarang. Seperti kalimat yang memperlihatkan pemikiran pembicara.
Pada hal ini, apa yang diekspresikan atau ditampilkan oleh sebuah teks adalah
lebih dari yang diekspresikan oleh kalimat-kalimat yang membentuk teks
tersebut. Sama halnya makna pada sebuah kalimat yang lebih dari sekedar makna
yang membentuk kalimat tersebut. Kedua, teks adalah kumpulan-kumpulan peristiwa
atau bagian yang bersama-sama membentuk sebuah ceritera serta menampilkan
berbagai tokoh dalam gerak. Strukturalisme Levi-Strauss menampilkan makna,
merupakan hasil dari suatu proses artikulasi.
Signifer (penanda) dan Signifed
(tanda). Tanda adalah sebuah bentuk kesatuan dari suatu
bentuk penanda yang disebut dengan signifer dengan sebuah ide/penanda
yang disebut signifed. Saussure mengatakan bahwa setiap tanda kebahasaan
pada dasarnya menyatukan sebuah konsep dan suatu citra suara, bukan menyatukan
sesuatu dengan sebuah nama. Suara dari sebuah kata yang diucapkan merupakan
sebuah penanda sedangkan konsepnya adalah tanda. Karena bahasa bukanlah sekedar
nomenklatur, makan tinandanya bukanlah konsep yang sudah ada lebih dulu. Tetapi
konsep yang dapat berubah, tergantung pada yang lain. Hubungan antara tanda dan
penanda bersifat arbitrair. Maka tanda dari sebuah penanda bisa berupa apa
saja.
Wadah dan Isi. Saussure
memberikan contoh pada ketera api dan isinya. Hendak pergi kemanapun, gerbong
kereta akan memiliki jumlah dan bentuk yang sama. Tetapi isiya akan berbeda
pada setiap jam keberangkatannya. Demikian juga dengan kata-kata. Kata
‘sinkronisasi’ dapat diucapkan oleh individu dengan cara yang berlainan,
mungkin juga diberi makna yang berbeda. Meski demikian, kata tersebut tetaplah
satu dan sama.
Language and parol. Bahasa
dan tuturan bagi Saussure adalah dua aspek dalam berbahasa. Language
memungkinkan berlangsungnya komunikasi simbolik antar manusia karena dimiliki
bersama. Sementara parole merupakan wujud akutualisasi dari language dalam
rupa lisan maupun tulisan. Parole atau tuturan adalah apa yang kita
wujudkan ketika kita menggunakan suatu bahasa dalam percakapan atau ketka kita
menyampaikan pesan tertentu lewat suara-suara simbolik yang keluar dari mulut
kita. Tuturan bersifat individual, sehingga mencermikan kebebasan pribadi
seseorang. Bahasa dan tuturan dapat diterapkan pada sistem simbol lainnya,
seperti mitos, musik, tarian, dan fenomena budaya yang lain. Suatu gejala
kejadian tidak hanya dapat ditanggapi sebagai sebuah sistem yang adaptif
terhadap lingkungannya, tetapi juga sebagai suatu perangkat simbolis ataupun
semiotis.
Sinkronis dan Diakronis. Bahasa
adalah suatu entitas historis maka fokusnya ada pada kajian bahasa (jika akan
menentuka elemen-elemennya) adalah pada reasi-relasi yang ada pada dalam suatu
keadaan sinkronis. Sinkronis adalah aspek yang merepresentasikan bahasa pada setiap
kejadian pada waktu tertentu. Diakronis adalah dimensi waktu (bersifat
historis, kini, dulu, dan yang akan datang). Ketika menekankan studi bahasa
secara sinkronis, Saussure tidak lupa memperlihatkan tidak relevannya fakta
diakronis atau historis untuk analisis bahasa. Differensiasi
sinkronis-diakronis muncul dalam hubungan yang diberikan oleh bahasa pada
setiap kata-kata didalamnya, dikenal dengan nama hubungan paradigmatik dan
hubungan sintagmatik.
Sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan
sintagmarik adalah hubungan yang dimilikinya dengan kata-kata yang terdapat di
depan atau belakangnya pada sebuah kalimat. Misalnya ada kata “minum” dengan
kata “saya” dan “coklat”. Hubungan sintagmatik akan berarti jika kata pertama
“saya” sebagai subjek dan diikuti oleh
dua kata lain yang ada di belakangnya. Kata tersebut akan membentuk kalimat dan
memiliki arti yang berlainan jika dibandingkan dengan masing-masing kata
berdiri sendiri. Sintagmatik adalah relasi yang menunjukan unsur-unsur
kebahasaan yang saling berkaitan secara linear pada tataran tertentu.
Paradigatik adalah yang terdapat antara unsur-unsur kebahasaan pada tingkat
tertentu yang saling menggantikan atau substitusi. Hal apapun di dunia ini, ada
struktur yan mengaturnya. Adanya linear karena dalam kata saling berhubungan.
Misalnya dalam kasus hujan. Ketika hujan turun, airnya akan jatuh ke tanah.
Ketika melihat tanah, tanah basan/becek. Tanah yang basah atau becek tersebut
merupakan tanda bahwa setelah turun hujan.
Analisis antropologis secara struktural,
paling tidak perlu mengikuti alur analisis sintagmatis-paradigmatis. Makna yang
dapat ditampilkan dari berbagai fenomena budaya akan menjadi lebih kaya dan
utuh. Analisis antropologis atas berbagai peristiwa budaya, kemudian tidak
hanya akan diarahkan pada upaya mengungkapkan makna-makna simbolisnya saja.
Tetapi juga mengungkapkan tata bahasa yang ada di balik proses munculnya
fenomena itu sendiri atau hukum-hukum yang mengatur proses perwujudan
berbagai macam fenomena semiotis dan
simbolis yang bersifat tidak disadari.
Mitos dalam strukturalisme
Levi-Strauss tidaklah sama dengan pengertian mitos yang biasa digunakan dalam
kajian mitologi. Seperti pada pandangan antopolog pada umumnya, mitos dalam
pandangan Levi-Strauss tidak harus dipertentangkan dengan sejarah atau
kenyataan. Karena perbedaan makna dari dua konsep ini terasa semakin sulit
dipertahankan. Apa yang dianggap oleh sekelompok masyarakat sebagai sejarah
atau kisah tentang hal yang benar-benar terjadi, ternyata hanya dianggap
sebagai dongeng yang tidak harus diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang
lain. Mitos bukanlah kisah yang suci karena definisi suci sudah problematis.
Karena apa yang dianggap suci oleh sekelompok, tidak dianggap suci oleh orang
lain. Mitos dalam konteks strukturalisme Levi-Strauss tidak lain adalah
dongeng.
Dongeng adalah kisah yang lahir
dari hasil imajinasi manusia, dari khayalan manusia, walau unsur khayalan
tersebut berasal dari apa yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari. Hal
yang menarik bagi Levi-Strauss adalah kenyataan bahwa khayalan atau nalar
manusia mendapatkan tempat ekspresinya yang paling bebas dalam dongeng.
Seringkali ditemukan dongeng yang mirip atau agak mirip antara yang satu dengan
yang lainnya. Levi-Strauss tidak yakin kesamaan tersebut hanyalah kebetulan.
Kemiripan tersebut tidak dapat digunakan menggunakan teori diffusi kebudayaan.
Karena teori ini tidak selalu mampu menjelaskan berbagai macam kesamaan antar
gejela-gejala kebudayaan pada tataran yang lebih konkrit. Setiap dongeng adalah
produk imajinasi manusia, produk nalar manusia, maka kemiripan yang terdapat
pada berbagai macam dongeng tentunya merupakan hasil dari mekanisme yang ada
dalam nalar manusia itu sendiri. Menurut Levi-Strauss, seperti halnya mimpi
menurut pandanga Freud, mitos pada dasarnya adalah ekspresi atau perwujudan
dari uncoscious wishes, keinginan-keinginan yang tidak disadari yang
sedikit banyak tidak konsisten, tidak sesuaui, dan klop dengan kenyataan.
Dalam strukturalisme, ada anggapan
bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya (seperti dongeng, upacara, sistem
kekerabatan, perkawinan, pola tempat tinggal, dan sebagainya) secara formal,
semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa, atau lebih tepatnya merupakan
seperangkat tanda/simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu. Oleh karena
itu, terdapatnya ketertataan (order) serta keterulangan (regularities)
pada berbagai fenomena tersebut. Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa
dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis,
sehingga semua kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal, yakni
kemampuan untuk menstruktur suatu struktur tertentu pada suatu gejala-gejala
yang dihadapinya. Tugas dari peneliti yang menggunakan prespektif struktural
pada awalnya adalah mengungkapkan struktur permukaan terlebih dahulu. Langkah
selanjutnya adalah mengungkapkan struktur dalam yang ada di balik fenomena
budaya yang diteliti. Relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena yang lain
pada titik tertentu menentukan makna fenomena tersebut. Relasi yang berada pada
struktur dalam, dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi binair.
Oposisi binair bersifat eksklusif, seperti pada “p” dan “-p” (bukan p), oposisi
ini dapat ditemukan dalam berbagai macam kebudayaan misalnya, air-api; gagak-elang;
siang-malam, dan sebagainya
Ahli bahasa telah mampu merumuskan
formula untuk memahami fenomena kebahasaan yang begitu kompleks dan mereka
telah dapat memanfaatkan konsep permutasi dengan baik. Levi-Strauss memandang
fenomena sosial budaya seperti gejala kebahasaan sebagai kalimat. Pandangan
Levi-Strauss terhadap bahasa dan kebudayaan adalah 1) bahasa digunakan oleh
suatu masyarakat dianggap sebagai refleksi dari keseluruhan kebudayaan
masyarakat yang bersangkutan; 2) bahasa adalah bagian dari kebudayaan /bahasa
adalah satu dari unsur budaya; dan 3) bahasa merupakan kondisi dari kebudayaan.
Sir James George Frazer.
Sir James George Frazer adalah
seorang antropolog sosial Scotlandia yang terpengaruh pada masa awal studi
modern mitologi dan agama perbandingan. The Golden Bough menjabarkan
berbagai kemiripan antara beragam kepercayaan spirtual di seluruh dunia. Frazer
mengemukaka bahwa kepercayaan manusia berkembang melalui tiga tahap, yakni
sihir primitif, yang digantikan oleh agama, dan pada gilirannya digantikan oleh
ilmu pengetahuan. Awalya Frazer berusaha menjelaskan kebiasaan aneh orang di
Grove Suci di Italia dekat kota Aricia. Ia ingin tahu tentang mengapa Imam
Diana terus menjaga pohon suci dengan hidupnya dan banyak orang yang bersedia
mempertaruhkan nyawa? Kenapa imam hanya dapat membebaskan diri dari posisinya
dengan ritual dibunuh dan mereka berusaha untuk mengambil tempatnya.
Setiap tindakan yang terikat oleh
kode agama dan setiap kesalahan bisa memanggil retribusi supranatural. Adanya
refleksi dari dunia lain yang mengatakan manusia pagan menyembah dan kesemuanya
ini adalah simbol dari sesuatu yang ada. Frazer mengungkapkan simbolisme asli
dan arti dari pohon natal, mistletoe, dan memberi tahu tentang apa yang mereka
wakili. Ia juga menjelaskan tentang malam Halloween tentang roh-roh yang akan
berkunjung ke rumah pada malam hari. Hal yang muncul dari sebuah takhayul dan
cerita rakyat bukanlah hal yang berantakan atau omong kosong belaka, tetapi
bukan pula sistem agama yang panjang lebar. Frazer menunjukan bahwa kebiasaan
tradisional dan kelanjutan dari ritual kuno merupakan dasar dari sistem agama.
Pada sistem ini, manusia tidak dapat berdiri terpisah dari alam atau dunia.
Bisa melakukan tindakan apapun
Buku ini menceritakan tentang
perbandingan agama. The Golden Bough menentukan unsur-unsur bersama
keyakinan agama dan pemikiran ilmiah, membahas upacara kesuburan, pengorbanan
manusia, dewa yang mati, kambing yang hitam, dan praktik lainnya yang
berpengaruh dan diperluas dalam budaya abad ke-20. Agama tua dan kesuburan
berputar disekitar ibadah dan periodik pengorbanan dari raja suci. Frazer
mengusulkan bahwa manusia berkembang dari sihir melalui keyakinan agama dengan
pemikiran ilmiah. Legenda yang menceritakan tentang pohon yang hidup di siang dan
malam hari. Raja adalah reinkarnasi dari dewa yang mati dan dihidupkan kembali
oleh dewa matahari yang menjalani pernikahan mistik dengan dewi bumi. Ia
meninggal ketika musim panen dan bereinkarnasi menjadi musim semi. Frazer
mengatakan bahwa legenda ini dari kelahiran kembali adalah semua puat mitologi
dunia. Pada buku ini, Frazer mengambil tubuh besar mitos dan antropologi yang
ada pada zamannya. Membangun gambaran mengenai bagaimana tingkat primitif
manusia pada umumnya dalam bertindak dan berfikir. Bagaimana mental primitif
tetap ada, bahakan sampai pada zaman modern. Tidak hanya memberikan kerangka
acuan dan fenomena budaya tertentu. Frazer juga mengungkapkan makna penuh
mitologi yang memiliki relevansi psikologis untuk manusia modern, serta studi mitologi
dan agama.
Sebuah danau dekat dengan Roma,
dikenal dengan nama “the mirrir of Diana” disekelilingi oleh hutan yang curam.
Pada zaman klasik ada rumpun suci Diana di Aracia. Pelayan kerajaan dan imam
dikenal sebagai raja kayu. Pada model Frazer sihir didasarkan pada dua prinsip.
Pertama adalah hemeopati, berarti raja berfungsi sebagai pengantin yang setiap
tahunnya menghasilkan fekuinditas untuk orang-orang. Pernikahan suci ditemukan
di budaya primitif. Raja adalah dewa manusia dan perawatan khusus harus diambil
untuk mencegah gangguan jiwa atau esensi vital. Jiwa dari semua manusia, dapat
keluar dari tubuh sementara di saat tidur, sakit, atau stress. Tumbuh melemah
melalui usia tua atau dengan sengaja diekstrasi. Konsep raja sebagai perwujudan
dan menghidupkan kembali tidak hanya muncul dalam ritual, tetapi juga mitologi.
Mistletoe adalah sebuah tanaman
hijau yang dikatakan sebagai parasit di pohon, ketika natal orang barat
biasanya menggunakannya sebagai pohon natal. Di musim dingin mistletoe tumbuh
di sela-sela pohon ek (oak), tapi pohon ek sendiri juga berdaun hijau. Frazer
mengidentifikasi dahan atau ranting dengan kiasan numinousnya untuk Aeneas di
gerbang neraka sebagai mistletoe parasit yang ada dalam dongeng rakyat Eropa
dengan segala macam sifat magisnya.
Frazer percaya bahwa adat istiadat
dan keyakinan kemanusiaan dapat diatur secara kronologis. EB Taylor mengatakan
bahwa alam dan pembangunan manusia relatif homogen dan bahwa varian dari norma
tahap evolusi tertentu yang menjadi dijelaskan kelangsungan hidup dari keadaan
sebelumnya. Frazer percaya bahwa magic dan agama berdiri dalam suksesi
silsilah. Agama ada karena penyempurnaan dari yang lebih primitif ‘ajaib’.
Hanya dalam tahap awal diri manusia pembangunan magic itu ada dengan sendirinya
sebagai latihan sederhana dari kekuatan mental, khususnya kebingungan asosasi
dan ide yang keliru. Manusia purba bergerak historis dari masyarakat yang
didirikan pada berburu melalui perintah postral untuk sebuah negara pertanian,
ia juga berlangsung dari keadaan psikologis, dikendalikan oleh sihir untuk
suatu kekuasaan agama dan akhirnya ke pandangan ilmiah kehidupan. Arti
kehidupan dan kematian Imam Nemi membawanya melalui mitologi Eropa. Menunjukan
bahwa agama adalah keturunan beradap sihir primitif dan muncul dari apa yang
disebut sihir “homeopati” atau simpatik yang mengaitkan tindakan melalui
kesamaan. Ketika sebuah suku/klan menginginkan hujan, penyihir diperintahkan
untuk menuangkan air dari tanah kering imam. Frazer menyatakan sihir menular
dimana manusia primitif percara bahwa hal-hal yang pernah berhubungan tidak
dapat dipisahkan dalam arti ideal. Frazer menerangkan bahwa penyihir primitif
menjadi imam pertama atau obat bagi suku manusia (antropolog mengenalnya dengan
nama dukun). Makna peradaban kuno sangat manju di Timur tengah yang menjadi
ilahi. Mitos kematian korban dan kelahiran kembali spiritual, sebenarnya cerita
yang menggambarkan rejimen pemerintahan raja. Frazer menarik potret dari
makhluk yang hidupnya terpisah dari sisa orang-orang dengan kebutuhan mereka
untuk memecahkan masalah budaya melalui hidupnya dan kematian.
Frazer menyelaraskan sihir dengan
ilmu pengetahuan di dasar pandangan. Ia melihat sihir dan pengetahuan sebagai
ketegasan dan tidak berubah-ubah dan didirikan pada hukum impersonal.
Pengetahuan memungkinkan kita untuk memuaskan keinginan dalam hal apapun. Agama
menganggap dunia sebagai elastis atau variabel, mempu dirubah oleh manusia
super dengan kekuatannya untuk menciptakan hal baru. Frazer percaya bahwa
permusuhan yang sama antara imam dan penyihir yang dikemukakan di zaman kuno
adalah cikal bakal sebuah permusuhan yang mendalam antara imam dan ilmuwan yang
terjadi kemudian di sejarah manusia.
Ilmu pengetahuan, sihir, dan agama
selalu dikontrol pada fase yang berbeda dari perilaku manusia. Agama mengacu
pada isu-isu fundamental eksistensi manusia, sedangkah sihir selalu berbalik
spesifik, konkrit, dan masalah rinci. Sedangkan ilmu diwujudkan dalam
teknologi, berdasarkan pengamatan yang trekandung dalam sistem pengetahuan,
sistem magis yang terungkap, tidak melalui observasi dan pengalaman. Tetapi
pada keajaiban mitologis. Semua ini ditemukan bahwa evolusi sebagai
metamorfosis dari satu jenis keyakinan atau kegiatan menjadi salah satu yang
sama sekali berbeda, tidak dapat diterima.
Clifford Geertz
Geertz meneliti tiga golongan
yakni, abangan, santri, dan priayi di Mojokuto Jawa Timur yang mepengaruhi
sistem keagamaan dan kebudayaan. Tiga golongan tersebut dibuat oleh orang-orang
Jawa sediri. Perhatian Geertz ada pada masalah perpecahan dalam sistem sosial
orang Jawa yang ada di Mojokuto.
Menurut Geertz benarlah orang
abangan menurut pengertian orang Jawa yang mengacu pada kategori sosial yang
empiris, yakni tidak melibatkan diri secara aktif dalam agama Islam. Asumsi
Geertz mengatakan bahwa tradisi abangan identik dengan tradisi rakyat.
Mengidentifikasikan seseorang yang disebut dengan santri agak sulit, semua
kembali pada pengertian masing-masing orang terkait defiisi tersebut. Banyak
yang menganggap santri adalah orang yang taat pada agama, secara teratur patuh
melaksanakan ritual-ritual yang diwajibkan, seorang murid pesantren, seorang
yang mempunyai pengetahuan tentang Al-Qur’an, dan sebagainya. Tidak ada proses
inisiasi yang dapat dipakai sebagai pegangan untu mengetahui identifikasi
santri, tidak ada keanggotaan yang formal. Dengan demikian, meskipun sudah
relatif terkait ciri agama dan tradisi santri, seringkali tidak terlalu jelas,
siapa saja yang dianggap sebagai santri. Geertz berasumsu bahwa kaum priayi
adalah kaum yang menekankan aspek-aspek Hindu dan diasosiasikan dengan unsur
birokrasi. Istilah priayi mengacu pada orang-orang yang menurut hukum merupakan
kaum elit tradisional. Ia mengacu pada orang-orang yang menurut hukum dianggap
berbeda dari rakyat biasa. Kepercayaan agama, nilai-nilai, dan norma-norma
priayi pada dasarnya tidak berbeda dari kalangan yang bukan priayi. Selain hal
yang berkaitan dengan Islam, priayi mampu mengungkapkan kepercayaan dan nilai
mereka secara lebih nyata, dengan demikian membentuk tradisi agama yang lebih
maju. Sedangkan bentuk tradisi yang ada pada kalangan rakyat biasa memiliki
bentuk yang lebih kasar.
Adanya tiga struktur yang
berlainan, menunjukan kesan bahwa penduduk Mojokuto sebagaian besar beragama
Islam. Tiga struktur sosial tersebut sangat berpengaruh terhadap masyarakat di
Mojokuto. Dapat terlihat bagaimana tiga varian tersebut yang melakukan
aktivitas religinya masing-masing dan memiliki ciri khas tersendiri. Kaum
abangan menitikberatkan segi animisme sinkretisme Jawa yang menyeluruh,
meskipun pada perkembangannya banyak kaum abangan yang mengakulturasi konsep
Jawa di ajaran Islam. Sementara kelompok santri menitikberatkan pada
pelaksanaan religiusitas agama Islam secara menyeluruh. Mereka malakukan ibadah
yang sesuai dengan ajaran Islam dan sedikit atau bahkan tidak sama sekali
mencampuradukan dengan kepercayaan lain. Sedangkan priayi condong pada
kedudukan sosial. Mereka dianggap sebagai golongan yang tinggi karena sebagian
besar dari mereka adalah keturunan ningrat yang dihormati masyarakat Jawa. Pada
bentuk birokrasi, mereka diidentikan sebagai pegawai birokrasi dan orang kaya.
Victor Turner
Victor Turner melihat ritual dan
upacara yang berperan, dapat membuat individu bisa menjadi serasi dengan
masyarakatnya, dan membuatnya menerima peraturan-peraturan yang berlaku. Fungsi
ritual menekankan pada aksi sosial dan fungsi sosial ritual melalui resolusi
konflik. Ritual dibuat untuk menjadi sebuah pemulihan kondisi dalam masyarakat.
Aksi sosial harus dipahami dengan baik, dalam kaitannya dengan makna untuk
mereka yang melakukan ritual tersebut.
Pada ritual, memiliki simbol-simbol
yang berfungsi dengan baik. Fungsi penting dari simbolisme adalah kapasitas
yang mengekspresikan struktur yang bersifat paradoks dari situasi-situasi tertentu
nampak sulit untuk diekspresikan dengan cara lain. Ritual akan lebih memiliki
makana dengan simbol. Misalnya pada masyarakat Bali yang melakukan ngaben,
ritual membakar mayat yang memiliki simbol dan makna roh mencapai mokhsa
(reinkarnasi). Ritual dibuat agar masyarakat menaati/melakukan suatu tatanan
sosial tertentu. Ritual dan struktur sosial akan terus ada dengen terserapnya
nilai-nilai yang dibawa pada ritual tersebut. Fungsi ritual akan berjalan
sebagaimana mestinya, jika simbol hadir dalam suatu ritual.
Dimensi dalam sebuah proses ritual
Turner :
1. Proses
analisis, yakni mempelajari proses, aspek, metode, dan tahapan;
2. Teori
simbolik, yakni memahami makna simbol yang di presentasikan;
3. Struktur
dan antistruktur, yakni ritual yang ada sebagai struktur kemasyarakatan sebagai
penjaga sosial order;
4. Liminal,
yakni sebuah kondisi yang terdapat dalam suatu peralihan/transformasi, dimana
terdapat ambiguisitas/disorientasi, keterbukaan dan ketidakpastian. Suatu
periode transisi dimana pikiran normal, self understanding, dan tingkah
laku dalam kondisi relaks/terbuka dan resprektif untuk menerima perubahan.
Daftar Referensi
Ahimsa-Putra,
Heddy-Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta:
Galang Press.
Frazer, Sir
James. 1922. The Golden Bough. London: Temple of Earth Publishing.
Geertz,
Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Levi-Strasuss,
C. 1963. Structural Anthropology. New York: Basic Books.
Turner,VW. 1969. The Ritual Process. Chichago:
Aldine Publishing.