Care-takers of Cure : An Antropological Study of Health Centre Nurses In Rural Central Java (penelirian antropologi Rosalia Sciortino)
Sinopsis :
Care-takers of Cure : An Antropological
Study of Health Centre Nurses In Rural Central Java
adalah penelitian Rosalia Sciortino
tentang keperawatan yang dilakukan di Kecamatan Salma
Kabupaten Magelang Jawa Tengah pada tahun 1989. Penelitian dilakukan karena rasa heran yang timbul ketika peneliti melihat sebagian
sebagian besar pelayanan medis menjadi tanggung jawab perawat. Mereka terlihat sibuk mengelola dan
melaksanakan hampir setiap kegiatan di puskesmas, serta memenuhi
kebutuhan-kebutuhan penduduk dengan menawarkan bantuan pengobatan (kuratif) di
sektor swasta. Secara umum dapat dikatakan bahwa perawat berperan penting dalam
penyediaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat pedesaan.
Keperawatan berevolusi dari keinginan menjaga orang agar tetap sehat,
maupun memberikan perhatian, kenyamanan, dan ketentraman kepada orang yang
sedang sakit. Perkembangan-perkembangan pokok di bidang keperawatan berkaitan
erat dengan perkembangan-perkembangan di bidang kedokteran, terutama pada
pelayanan rumah sakit. Para perawat yang pada mulanya adalah generalis,
terpojok pada bidang keperawatan dengan munculnya ahli-ahli kedokteran pertama.
Meningkatnya medikasi tugas-tugas keperawatan, batas antara kedua bidang
keahlian ini menjadi kabur, posisi keperawatan terperagkap antara care (merawat)
dan cure (mengobati). Bila dokter mempertahankan kontrolnya atas bidang
kuratif sebagai pemegang hak eksklusif untuk menetapkan diagnosa dan
pengobatan, perawat mengalami resiko kehilangan hak dan kontrolnya atas bidang
keperawatan karena terjadi persaingan dengan berbagai spesialis keperawatan
lainnya yang baru muncul. Perawat akhirnya memilih care sebagai bidang
pekerjaannya.
Ilmu keperawatan Barat masuk kepulauan Nusantara dengan menunjukan bahwa
model asing tidak dapat selalu dipelihara dalam konteks sosial budaya yang
berbeda. Perbedaan yang nampak jelas adalah pada kompisisi gender dalam profesi
perawatan. Perbedaan disebabkan oleh pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin
dalam lingkungan sosial masyarakat setempat. Kebutuhan mengembangkan cangkupan
pelayanan yang tidak didukung oleh ketersediaan tenaga kedokteran, mendorong
pemerintah untuk memberikan kepercayaan kepada perawat di pedesaan dengan
diagnosa dan terapi. Dua hal tersebut yang sebetulnya merupakan tindakan yang
harus dilakukan oleh dokter. Karena pada tingkat kebijakan terjadi penekanan
pada kegiatan-kegiatan yang bersifat promotif dan preventif, maka perawat
puskesmas secara resmi dipandang sebagai spesialis keperawatan kesehatan
masyarakat. Secara formal pula, tindakan diagnosa dan pengobatan dikembalikan
kepada dokter. Peran resmi yang diberikan perawat berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan dan kebijakan kesehatan. Penulis sepakat memeberikan
definisi care sebagai bidang keperawatan dan seorang perawat di
Indonesia merupakan care taker.
Perawat dasar sama sekali tidak menjalankan kegiatan yang bersifat
edukatif dan promotif. Tugas tersebut didelegasikan kepada pemantu perawat. Di
Barat, hal itu dilakukan oleh perawat dan mengambil alih tugas-tugas medis yang
dapat menaikan statusnya. Dokter bertindak sebagai manager dan jarang terlibat
dalam bidang pengobatan. Perawat bertindak sebagai dokter dengan meneruskan sub
tradisi khas yang pertama dibentuk oleh mantri-verpleger (pada masa
kolonial, melakukan pekerjaan kuratif untuk mengisi kekurangan tenaga medis).
Saat ini, perawat puskesmas melakukan pekerjaan kuratif untuk mengisi
kekosongan yang muncul karena tenaga medis sibuk dengan bidang manajemen.
Tenaga kesehatan dapat memperoleh keuntungan dari kekurangan-kekurangan di
puskesmas yang diantaranya mereka ciptakan sendiri. Praktik swasta dibuat untuk
menampung pasien yang tidak puas terhadap pelayanan di puskesmas. Meski praktek
swasta perawat adalah ilegal, masyarakat tetap menggunakannya sebagai pilihan
menengah antara puskesmas dengan praktik swasta dokter. Pelayanan kesehatan
yang ada saling melengkapi, menyangkut kelompok sasaran yang berbeda. Namu
bersaing ketika praktik menjauhkan pasien dari jangkauan dokter.
Aliran pengobatan jawa bertentangan dengan aliran biomedis, hal itu
diperkuat oleh sikap pemerintah dan media masa. Ketika bertugas, tenaga kesehatan
menunjukan sikap yang bermusuhan dengan warisan budaya itu, namun dipihak lain
mereka dengan senang hati menerima dalam kehidupan pribadinya. Departemen
kesehatan telah memilih untuk tidak mau tahu tetang peran kuratif perawat dan
menganggap perawat bertindak sesuai dengan definisi formal tugasnya. Dokter dan
perawat juga tidak bermaksud membeberkan praktik kuratif yang dilakukan oleh
perawat. Sikap tutup mulut terhadap kegiatan kuratif ini melindungi kepentingan
dokter maupun perawat. Dokter dan perawat dapat saling membentu dan sama-sama
diuntungkan. Pasien menganggap perawat sebagai pengganti dokter yang tepat
dalam melaksanakan tindakan kuratif.
Telaah/tinjauan Buku
Tipe kajian etnografi pada penelitian Care Takers
of Cure karya Rosalia Sciortino adalah multi-site. Penulis
membandingkan cara kerja dan peran perawat di beberapa puskesmas di beberapa
desa yang ada Kabupaten Myrdal. Penulis menyusunnya dalam beberapa dimensi
struktur dan waktu. Ia melihat luasnya variasi konseptualisasi maupun peran
pelaksanaan perawat pada tingkat-tingkat organisasi yang berbeda. Penulis
menemukan perbedaan antara konsep keperawatan nasional dan internasional dengan
fungsi aktual perawat puskesmas. Penulis juga menemukan kesamaan antara fungsi
tersebut dengan harapan masyarakat terhadapnya maupun dengan perawat di masa
lampau. Kesamaan dan perbedaan di masing-masing tingkatan memberikan penjelasan
pada penulis tentang berbagai citra keperawatan yang bertentangan dalam sebuah
sistem sosial yang sama.
Fokus utama yang menjadi kajian karya etnografi ini
adalah tentang perawat. Kegiatan para perawat di puskesmas sangat menarik
perhatian penulis. Penulis merasa heran bahwa sebagian besar pelayanan medis
menjadi tanggung jawab perawat. Mereka terlihat sibuk mengelola dan melaksanakan
hampir setiap kegiatan di puskesmas, serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan
penduduk dengan menawarkan bantuan kuratif (pengobatan) di sektor swasta. Peran perawat berperan penting dalam
penyediaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat pedesaan Jawa.
Penulis berpendapat bahwa kurangnya penelitian
antropologi mengenai keperawatan menimbulkan gambaran yang bias tentang
pemeliharaan kesehatan pedesaan di negara-negara sedang berkembang. Literatur
ilmu sosial kesehatan tenaga kesehatan seringkali dikelompokkan dalam satu
kategori yang seragam. Bertitik tolak dari pengamatan
penulis, maka timbul beberapa pertanyaan tentang apa yang menjadi tugas dan
tanggung jawab perawat di daerah pedesaan Jawa Tengah, antara lain :
1.
Peranan
apa yang dijalankan perawat dalam pelayanan kesehatan di puskesmas maupun
ditempat praktik pribadi?
2.
Bagaimana
perawat menggabungkan fungsi publik dengan fungsi swasta yang mereka tawarkan?
3.
Bagaimana
mereka berhubungan dengan pasien, dokter dan petugas kesehatan lainnya?
4.
Bagaimana
sikap perawat terhadap pengobatan tradisional?
5.
Apakah
kurikulum sekolah perawat yang berorientasi ke Barat sesuai dengan tugas-tugas
keperawatan di daerah pedesaan?
Penulis
berpendapat bahwa kejadian di desa Salma kabupaten Magelang, sebagai akibat
dari pengaruh konseptualisasi keperawatan di dunia Barat serta penyebarannya.
Penelitian mengenai keseharian perawat dalam konteks
lokal masih jarang dilakukan. Penelitian antropologi dalam bidang ini juga
masih sangat sedikit. Beberapa judul buku yang terkait dengan hal tersebut,
seperti Nursing and Anthropology; Two worlds to blend (Ilmu Keperawatan
dan Antropologi; dua dunia yang perlu diintegrasikan) oleh Leininger pada tahun
1970. Cross-cultural nursing: Anthropological approaches to nursing research
(Ilmu keperwatan antar budaya: pendekatan antropologis dalam penelitian
keperawatan) oleh Morse pada tahun 1989. Setelah membacanya, penulis merasa
kecewa karena antropologi hanya dipandang sebagai alat bantu bagi perawat agar
dapat memahami pasien-pasien yang berlatar belakang beraneka ragam budaya.
Sebab ilmu antropologi juga diperlukan untuk struktur bidang keperawatan dan
peran perawat dalam konteks sosial budaya tertentu. Penulis memilih Anthropology
of Nursing (Antropologi Keperawatan) daripada Anthropology for Nursing (Antropologi
untuk perawat) pada istilah Holden dan Littlewood.
Prespektif multi-level dilakukan kerana
penelitian dilakukan dengan menggunakan setting yang beragam untuk
menghadapi interaksi di antara tingkatan sosial yang berbeda. Selain itu,
diperlukan pula pendeatan multi-methods karena pada setiap tingkat,
memerlukan metode pengumpulan data yang berbeda. Tingkat penelitian yang
dimaksud dapat disamakan dengan tingkat administrasi negara, yakni Provinsi
Jawa Tengah, Kabupaten Myrdal, dan Kecamatan Selma beserta dua belas
keluarahannya. Penulis menghadiri berbagai macam pertemuan dan mewawancarai
berbagai nara sumber. Perhatian penulis
ditujukan pada Departemen Kesehatan sdi tingkat provinsi dan kabupaten serta
organisasi Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).selain itu, pada tingkat
yang sama peneliti melakukan pengamatan terhadap sekolah dan akademi perawat
serta wawancara dengan guru dan siswa.
Sebagian
besar waktu dihabiskan untuk melakukan wawancara di Puskesmas Kecamatan Selma
untuk mengumpulkan informasi sebagai bahan kasus, melalui observasi
partisipasi, pembicaraan informal, dan wawancara terbuka dengan seluruh staff
puskesmas. Pada tingkat lokal,
penelitian dilakukan di dua belas tingkat keluarahan di Kecamatan Selma.
Penulis tinggal di desa Sumo, membaur dalam kehidupan sehari-hari dengan
masyarakat pedesaan. Penulis dan asisten sering berkeliling dan mengunjungi
desa lain, ikut sera dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan
terlibat dalam percakapan mereka. Survei dilakukan di seluruh Kecamatan Selma
untuk menemukan informasi yang terstruktur.
Penggunaan prespektif multi-level secara tidak
langsung telah membuat penulis harus melakukan penelitian pada level yang
berbeda-beda. Tidak semua desa yang dilibatkan dilakukan pengamatan yang merata
oleh penulis karena keterbatasan waktu. Penulis pun melakukan usaha lain agar
dapat mencangkup pada semua level. Metode-metode yang digunakan oleh penulis
yakni a) mempelajari data-data sekunder; b) observasi partisipan; c) survei
wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka dan semi terstruktur; d)
pembicaraan informal.
Sumber sekunder yang digunakan sebagian besar mengacu
pada tingkat nasional dan internasional. Informasi sejarahm teori, dan data
pemerintah serta administrasi dikumpulkan dari institusi-institusi
internasional dan pusat untuk membentuk kerangka kerja penulis untuk
menempatkan praktik-praktik pada tingat yang lebih rendah. Konsisten
interpretasi penulis terhadap data statistik tersebut digunakan sebagai
gambaran yang bersifat fiksi. Observasi penulis terhadap cara lampiran-lampiran
diisi untuk memulai target pada tingkat lokal dan kecamatan. Statistik yang
digunakan hanya memberi indikasi mengenai pola sosia dan ekonomi pada era
penelirian secara umum. Penulis juga mengumpulkan informasi tambahan dari koran
dan majalah. Penulis berlangganan koran nasiona (Kompas) dan koran regional
(Suara Merdeka), juga membaca secara reguler beberapa majalah dan koran lokal
yang lain.
Observasi partisipan digunakan pada tingkat kecamatan dan
lokal. Penulis tinggal di desa Sumo selama satu tahun dengan menyewa rumah tua
yang dekat dengan Puskesmas Selma, tinggal bersama asistennya. Hal ini
memungkinkan penulis untuk menikmati kehidupan di desa, mengadakan kontak
langsung dengan penduduk, berbagi pengalaman dengan mereka, dan berpartisipasi
dalam semua kegiatan setempat. Dari jendela rumah penulis, dapat terlihat
hal-hal yang terjadi di Puskesmas dan pola pelayanannya. Penulis meluangakan
banyak waktu untuk mengamati secara langsung di Puskesmas dengan cara
mengobrol, minum teh, dan makan bersama agar dapat
melakukan observasi dengan teliti. Penulis tidak langsung memberikan perhatian
pada tenaga keperawatan. Seluruh tenaga dan kegiatan di Puskesmas menjadi fokus
penelitian. Penulis menghadiri seluruh kegiatan yang ada di seluruh gedung
puskesmas, menyertai staf pergi ke desa-desa, rapat, dan peristiwa lainnya.
Kegiatan setiap desa diobservasi untuk melihat kemungkinan terjadi variasi
lokal.
Asisten
merekam semua pembicaraan yang terjadi dalam bahasa Jawa. Catatan dibuat sebaik
mungkin, semua kata yang diucapkan, tanpa meringkas dan tanpa melakukan seleksi
dalam bentuk apa pun, ketika sampai di rumah kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Awalnya metode ini menjadi sebuah lelucon dan menjadi
kecurigaan beberapa staf di puskesmas. Namun setelah beberapa waktu, hal ini
menjadi biasa dan tidak dipedulikan lagi. Pengamatan yang sama juga dilakukan
di Puskesmas d Srinegar dan Ngluwar. Penulis melakukan berbagai kunjungan di
kedua puskesmas tersebut, membicarakan secara informal dengan staf-staf yang
ada, dan melakukan keterbukaan sebagai dasar interaksi selama satu tahun.
Setelah lebih familiar, penulis melakukan pengamatan secara sistematis.
Menjelang akhir penelitiannya, kedua puskesmas diamati masing-masing selama
satu bulan. Hal ini ditujukan agar mendapatkan informasi tentang peran tenaga
keperawatan, sebagai bahan pembanding untuk tenaga keperawatan di Puskesmas
Selma.
Observasi
partisipan juga dilakukan pada pertemuan-pertemuan di erbagai tingkat dan
institusi dari kongres nasional PPNI, hingga ke pertemuan PKK (Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga) dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) untuk
mempelajari praktik-praktik swasta dan sekolah-sekolah keperawatan. Observasi
partisipasi di sekolah terdiri dari pengamatan latihan praktik pada sebuah SPK
(Sekolah Perawat Kesehatan) di Myrdal, dua SPK di Sisko, satu SPK dan satu
AKPER (Akademi Perawat) di Yenoa, dan di Fakultas Keperawatan di Jakarta.
Bebrapa staf pengajar dan siswa juga diwawancarai.
Tanya
jawab dengan pertanyaan terbuka dilakukan pada staf Puskesmas Selma, tenaga
keperawatan puskesmas di Kabupaten Myrdal, dan penduduk kecamatan Selma. Survei
pertama, penulis mewawancarai 32 responden, dimulai dari kepala puskesmas,
dokter, sopir ambulans, dan petugas kebersihan. Sebagian pertanyaan diajukan
dengan bahasa Indonesia dan asisten mencatat jawabannya. Bila responden ada
yang lebih suka menggunakan bahasa Jawa, maka asisten mengajukan pertanyaan
menggunakan bahasa Jawa. Penulis dapat langsungmengikuti wawancara tersebut
karena asisten langsung menerjemahkannya. Pertanyaan dengan bentuk semi
terstruktur mengacu pada data pribadi dan keluaraga (umur, pendidikan,
pendapatan, pengalaman kerja, jumlah anak, dan sanak keluarga yang bekerja).
Menyangkut posisi responden di pukseksmas, pangkat, gaji, kegiatan yang
dilaksanakan, dan lama tahun bekerja. Secara lebih khusus responden ditanyakan
tentang pandangan mereka terhadap posisi mereka, peran tenaga keperawatan,
fungsi puskesmas, kegiatan puskesmas, partisipasi masyarakat, praktik swasta,
pengobatan tradisional, dan kondisi kesehatan di kecamatan mereka. Bagi mereka
yang memiliki praktik swasta, seperti dokter, perawat, dan bidan diadakan
sejumlah pertanyaan ekstra yang berhubungan dengan praktik mereka, seperti jam
konsultasi, jumlah pasien, pelayanan yang disediakan, dan alasan mengapa pasien
berkonsultasi kepada mereka. Selama wawancara, responden harus menjawab semua
pertanyaan ini meskipun ketika diskusi, responden secara spontan beralih ke
suatu masalah lain. Daftar pertanyaan dikesampingkan untuk dimulai lagi setelah
responden berbicara. Usai diskusi yang cukup panjang, penulis diperlakukan
sebagai tamu dan diajak makan malam. Penulis sangat berterima kasih, walaupun
mereka menghabiskan waktu panjang untuk melakukan peneitian secara sukarela dan
tanpa imbalan.
Survei kedua menyangkut tenaga keperawatan di semua
puskesmas yang ada di Kabupaten Mydral. Dua puskesmas dianggap tidak sesuai
dengan kepentingan penulis karena letaknya berada di tengah kota dan telah
memiliki tempat tidur. Survei ini dilakukan oleh asisten lain selama dua bulan.
Penulis menemani pada kunjungan pertamanya untuk mendapatkan gambaran tentang
puskesmas tersebut dan menganalkannya kepada kepala puskesmas. Tugas yang dilakukan
adalah mengumpulkan laporan tahunan dari masing-masing puskesmas; mewawancarai
kepala puskesmas secara singkat tentang fungsi puskesmasnya, tentang peran dan perawat serta kondisi
kesehatan di kecamatan yang bersangkutan; mewawancarai perawat (tergantung
berapa perawat yang bekerja di puskesmas). Pada hal ini, penulis menyarankan
untuk memilih perawat yang bekerja tetap dan berhati-hati dalam membedakan
perawat dengan bidan. Sisanya, diperkenankan untuk memilih responden secara
acak. Beberapa wawancara dilakukan di rumah responden dan lainnya berada di
puskesmas setelah jam 11.00 WIB ketika sebagian besar pekerja telah selesai.
Pedoman wawancara terdiri dari lima kelompok pertanyaan yang masing-masing
mengacu pada topik utama, yakni 1) mengacu kepada pendidikan dan pengetahuan
tentang konsep dan teori keperawatan mereka. 2) Memperhatikan aturan formal dan
aktual responden di Puskesmas dan hubungan struktural mereka dengan dokter dan pekerja lain. 3) Mengacu pada
praktik pribadi responden. 4) Fokus pada organisasi perawat dan keikutsertaan
responden dalam hal ini. 5) Memperhatikan sikap responden dan penggunaan obat.
Survei terakhir dilakukan pada 120 responden dari
Kecamatan Selma, 10 responden pada masing-masing 12 desa. Penulis mencari
sampel yang heterogen karena survei tidak terwakili secara statistik. Penulis
memilih responden pada dusun kecil yang berbeda dengan latar belakang sosial
ekonomi yang berbeda pula, mulai dari pengusaha desa hingga petani yang tidak
memiliki lahan. Seringkali dusun yang terpencil memiiki kendala pada
transportasi, sehingga penulis perlu berjalan melalui sawah untuk mencapai
tempat tersebut. Wawancara yang dilakukan mengandung sejumlah wawancara yang
semi terstruktur tentang karakteristik sosial ekonomi responden dan tentang
topik yang relevan, yakni 1) presepsi responden tentang peran perawat. 2) Apa
yang diharapkan dari mereka dan evaluasi mereka tentang pelayanan perawat. 3)
Pandangan mereka pada semua jenis program di puskesmas dan implementasinya. 4)
Pilihan antara biomedis dengan tradisional. Penulis juga mengundang responden
yang sudah tua untuk mencatat sejarah keperawatan kesehatan di daerah tersebut
yang berlangsung dari mulut ke mulut. Pada awalnya penulis melakukan wawancara
dengan asistennya, namun setelah terlatih penulis dan asisten berbagi tugas.
Penulis mengaku memiliki kendala pada bahasa Jawa, maka dari itu ia meminta
keponakan si pemilik rumah untuk menerjemahkannya.
Penulis melakukan wawancara tidak terstruktur dengan
sepuluh dukun, petugas kesehatan dari tingkat administrasi yang berbeda
(diurutkan dari tingkat nasional hingga kabupaten), dan dokter dari kabupaten
Myrdal. Penulis malakukan hal tersebut karena manganggap sebagai taktik agar
responden berbicara terbuka mengenai masalah dan halangan yang dihadapi.
Percakapan informal pada kehidupan sehari-hari berguna bagi penulis untuk
mempelajari kultur dan norma sosial, termauk hal-hal formal yang sering
ditutup-tutupi. Seperti perjudian, ketidak patuhan politik, korupsi, skandal
seks, dan konflik-konflik. Hal tersebut memberi petunjuk kepada penulis tentang
masyarakat desa pada sudut pandang yang lebih realistis.
Pendekatan top down yang dikombinasikan dengan
struktur hierarkis politik dan budaya setempat tidak mendukung proses
kemandirian masyarakat. Pada masyarakat yang bertingkat, kaum perempuan elit
dan kelas menengah ke atas harus bertindak sebagai provider (pemberi)
pelayanan kesehatan masyarakat dan kaum perempuan kelas bawah harus berperan
serta dalam program kesehatan nasional. Warga desa hanya berpartispasi secara
fiktif dalam program-program kesehatan masyarakat atau dalam situasi konflik
yang lebih ekstrim, mereka menghindari kontak dengan staf puskesmas.
Penulis memutuskan untuk tidak menganggap perawat
sebagai sesuatu yang terpisah dan bertindak mandiri, terlepas dari
lingkungannya. Penulis mencoba memperhitungkan keberadaan pemgaruh-pengaruh
dari tingkat yang lebih tinggi dan tingkat yang lebih rendah, dimana perawat
harus bekerja. Penulis memutuskan untuk mempelajari peran perawat secara
historis.
Peran
perawat dianggap sebagai sebuah simpul tali-temali diantara perorangan dan
organsasi, baik pada tingkat yang sama maupun pada tingkat yang berbeda yang
dibentuk oleh perkembangan sejarah masa lalu dan masa kini. Peran perawt dianggap sebagai perpaduan hasil
kepentingan dan citra yang dimiliki berbagai kelompok perorangan dan organisasi
yang berbeda pada lapisan-lapisan yang berbeda-beda. Secara lebih spesifik,
penelitian ini mempelajari pesan-pesan tertentu tentang keperawatan dan pelayanan
kesehatan disampaikan dan diubah di sepanjang garis vertikal dari
organisasi-organisasi internsional, melalui berbagai tingkat organisasi
nasional sampai masyarakat lokal. Penelitian juga menitikberatkan kajian pada
hubungan antar sektor yang mempekerjakan perawat pada tingkat yang sama. Sambil
mempelajari bagaimana peran perawat sebagai suatu kelompok sosial mempunyai
keterkaitan dengan kelompok-kelompok profesional lainnya dalam sebuah sistem
medis yang majemuk. Pada akhirnya, penelitian ini memberi perhatian pada
keterkaitan peran perawat masa kini dengan perkembangan sejarah terdahulu.
Penulis mempelajari bagaimana gagasan-gagasan formal
oleh badan-badan internsional dan nasional, menentukan kegiatan-kegiatan
perawat. Serta mengetahui bagaimana peran perawat dan pelaku sosial lainnya
pada tingkat kecamatan dan lokal menanggapi hal itu. Penekanan ditunjukan pada
terbentuknya peran perawat sebagai hasil kebijakan-kebijakan pada tingkat
organisasi yang lebih tinggi, maupun harapan masyarakat pada tingkat lokal.
Pada konteks ini, peneliti mempertanyakan apakah perawat puskesmas telah
melaksanakan peran formal mereka yang sesungguhnya.
Para perawat dapat dilihat sebagai perantara yang
penting pada tingkat akar rumput. Mereka adalah pembawa kebijakan internsioal,
nasional, ke desa. Pertanyaan menarik bagi penulis yang muncul disini adalah
apakah mereka menjadi pelaksana pasif yang menerapkan kebijakan pemerintah atau
mereka secara aktif mentransformasi kebijakan tersebut dalam pekerjaannya.
Penulis melihat perawat sebagai jembatan perantara antara pandangan orang awam
dan pandangan ahli biomedis. Secara khusus,
penelitian ini juga memberi perhatian pada pertalitan waktu. Keterkaitan
perkembangan sistem biomedis di Indonesia pada masa lalu dan masa kini dianalisa.
Dibedakan oleh fase-fase dalam sejarah keperawatan di dunia Barat maupun di
Indonesia.
Penelitian
ini memiliki banyak manfaat khususnya dalam bidang antropologi dan keperawatan.
Penulis memang bukan seorang perawat, namun ia dapat menceritakan pengalamannya
di Selma dengan melihat bagaimana peran perawat di sana. Dari sudut pandang
antropologi, pembaca dapat memahami bagaimana penulis menceritakan tentang
fenomena kesehatan di sebuah desa. Pengalaman yang diceritakannya detail,
runtut, dan mudah untuk dicerna, terutama oleh perawat. Penulis memberikan
beberapa daftar istilah pada bukunya, agar pembaca dapat memahaminya, terutama
pembaca non-perawat dan pembaca yang berada di luar daerah Jawa, khususnya Jawa
tengah. Sayangnya, ada beberapa istilah kesehatan yang belum dijelaskan dengan
detail, baik pada footnote atau pada glosarium. Selain mengetahui
peranan perawat yang ada di Selma, penelitian ini juga mengajarkan berbagai hal
tentang norma dan sikap perawat yang seharusnya dimiliki oleh perawat Indonsia.
Baik perawat yang berada di puskesmas terpencil atau di rumah sakit kota.
Suasana
desa yang ramah nampak pada laporan penulis. Beberapa kali ia menuliskan
tentang ucapak terima kasih kepada responden, setelah menghabiskan waktu yang
cukup lama untuk diwawancarai. Usai wawancara, responden tidak meminta
sumbangan atau imbalan apapun dari penulis. Justru, responden memperlakukannya
sangat sopan dan ramah. Mengganggap penulis sebagai tamu dan mempersilakannya
untuk makan bersama dirumah responden. Penulis memiliki seorang asisten bernama
Neni Ridarineni yang penulis anggap ia ‘njawani’ dan sangat membantu
penulis ketika penelitiannya di lapangan.
Penulis
menyertakan beberapa kutipan wawancara dengan respondennya, pada beberapa
kasus. Kutipan tersebut seperti drama dan pembaca dapat membayangannnya.
Sayangnya dialog serta kalimat penjelas mengenai dialog tersebut tidak
disertakan bagaimana ekspresi responden dan beberapa orang yang berada di
sekiranya, sehingga pembaca sedikit kurang memahami dengan jelas bagaimana
suasana berangsung pada saat itu. Meskipu beberapa adegan orang-orang disekirar
disebutkan, sedang melakukan apa saja. Namun emosi dari responden, orang-orang
disekitar, dan penulis tidak disebutkan.
Penulis
mengucapkan terima kasihnya dengan runtut, pada berbagai bidang yang
dianggapnya membantu pada penelitiannya. Mulai dari CASA (Centre of Asian
Students Amsterdam), LIPI (Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia), Pusat Studi
Kependudukan dan Jurusan Kesehatan Masayrakat UGM, asistennya (Neni Ridarineni),
staf puskesmas yang menjadi narasumber, bebrapa pihak yang telah membantu dalam
penyusunan laporan, hingga pada suaminya sendiri. Ucapan terima kasih yang
ditulis pada buku ini, membuat pembaca mengetahui perizinan yang dilakukan oleh
penulis ketika memasuki desa tersebut untuk melakukan penelitian. Apalagi yang
meneliti adalah orang asing dan memiliki latar belakang budaya yang berbeda
dengan tempat yang akan ditelitinya.
Kendala
utama pada saat penulis mencari data di lapangan adalah pada kemampuan berbahasa
Jawa. Ia merasa kesulitan mencerna kalimat bahasa Jawa ketika sedang wawancara.
Penggunaan bahasa Jawa ditujukan oleh responden yang lebih enak berbicara
ketika berbicara menggunakan bahasa Jawa, dibandingkan dengan bahasa Indonesia
dan beberapa responden yang tidak dapat berbahasa Indonesia. Awalnya asisten
menerjemahkan langsung ketika ada jawaban dari responden yang menggunakan
bahasa Jawa. Kendala juga dialami pada jumlah puskesmas desa yang akan diteliti
dengan waktu yang sedikit. Akhirnya, penulis berbagi tugas dengan asisten untuk
wawancara ketika penulis telah menganggap asisten dapat melakukan wawancara
seperti yang diinginkan oleh penulis untuk membantu peneitiannya. Kali ini,
bahasa Jawa menjadi permasalah lagi bagi penulis karena berpisah dengan
asistennya untuk mengumpulkan data. Penulis meminta bantuan kepada keponakan si
pemilik rumah yang ditinggali oleh penulis untuk menerjemahkannya. Pada buku
ini tidak disebutkan, penulis dapat memahami bahasa Indonesia dengan baik atau
tidak. Tetapi secara tersirat penulis dapat berbahasa Indonesia.
Penulis
menyajikan laporannya dalam buku ini dengan sudut pandang orang pertama
menggunakan kata I (saya). Mulai dari pembukaan ketika penulis mengungkapkan
ketertarikannya dan rasa herannya pada hal yang akan ditelitinya, ucapan terima
kasih hingga isi dari laoporan tersebut. Gaya bertutur kata yang digunakan
penulis sedikit bercampur dengan beberapa bahasa Jawa karena responden berada
di Jawa. Penulisan dalam penggunaan bahasa Jawa tidak menjadi kendala kepada
pembaca yang memahami bahasa Jawa. Bagi pembaca yang kurang paham berbahasa
Jawa mungkin agak sedikit kesusahan karena dalam glosariumnya, terjemahan
menggunakan bahasa Inggris yang ketika dibaca ada beberapa kata yang kurang pas
untuk mengistilahkan ke dalam bahasa Inggris. Memang sulit ketika menerjemahkan
bahasa Jawa ke dalam bahasa Inggris. Hal ini disebabkan karena bahasa Jawa
lebih kaya dengan kosa kata dibandingkan dengan bahasa Inggris. Penulis
menerjemahkannya pada beberapa kosa kata yang mirip-mirip. Misalnya penggunaan
nama dukun bayi, pada glosarium diterjemahkan sebagai “midwife in the
javanese medical tradition” (bidan dalam transisi medis Jawa). Kata
dukun sendiri dalam bahasa Jawa sudah mengalami perubahan makna. Sedangkah
ketika membaca makna tersebut, adalah seorang bidan dalam bentuk yang
tradisional. Sementara orang Jawa sendiri memahami dukun bayi adalah orang yang
membantu persalinan dengan cara tradisional dan tidak memiliki kemampuan lain
seperti mengobati penyakit. Tugas yang paling utamanya adalah membantu seorang
wamita untuk melahirkan yang kadangkala dukun bayi berkunjung ke rumah untuk
memandikan dan mewarat bayi hingga pada usia tertentu.
Gaya
bercerita penulis dalam menyajikan laporanya mudah diikuti oleh pembaca, terutama
yang memiliki pemahaman tentang kesehatan dan keperawatan. Maka dari itu, buku
ini sangat cocok untuk dibaca oleh orang-orang yang memiliki bidang kesehatan
dan keperawatan. Gaya bahasa yang mengalir seperti bercerita dan menceritakan
pengalamannya layaknya membaca novel serius. Beberapa pengetahuan dimasukan
oleh penulis sebagai gambaran umum dan juga menambah wawasan bagi pembaca.
Penulis
menyebutkan beberapa karya antropologi kesehatan sebelumnya yang digunakannya
sebagai referensi dalam penulisan laporan tersebut. Ia menyebutkan bahwa, dua
karya antropologi tersebut mengecewakan karena menggunakan antropologi sebagai
alat bantu untuk memahami pasien. Tetapi penulis tidak menyebutkan ringkasan
dari dua karya yang menjadi pedoman penulis. Sehingga pembaca tidak dapat
membandingkannya, bagaimanakah karya tersebut memandang antropologi sebagai
alat bantu saja. Tidak ada gambaran yang jelas dan bayang-bayang tentang
rujukan penulis tersebut. Hal ini juga menjadi pertanyaan pembaca sendiri,
terkait dua rujukan tersebut apakah terlalu bersifat kesehatan atau sangat
melompat dari rahan antropologi.
Laporan
penulis memberikan gambaran mengenai peran perawat puskesmas di pedesaan Jawa
Tengah, baik segi normatif maupun nyata dengan menunjukan bahwa setiap kelompok
pelaku institusi di berbagai tingakat organisasi dari tingkat internasional ke
tingkat lokal, memiliki harapan yang berbeda tentang apa yang seharusnya
dilakukan oleh perawat. Perhatian khusus diberikan pada dua masalah, yakni
dilema masyarakat sebagai pemberi pelayanan perawatan atau pengobatan dan
tantangan-tantangan dalam melaksanakan perawatan masyarakat.
Pada
konteks ini tenaga keperawatan di Indonesia menjadi contoh yang agak ekstrim
pada posisi yang mendua diantara merawat dan mengobati. Di nusantara berkembang
tiga tipe keperawatan yang resmi dalam periode sejarah yang berbeda. Satu
menekankan pada aspek kuratif, sedangkan dua lainnya menekankan pada aspek
merawat sebagai ciri pokok keperawatan. Model keperawatan tersebut mencerminkan
adaptasi yang terjadi dengan perubahan kondisi sejarah. Pada zaman Belanda,
VOC, model rumah sakit meniru negara asalnya dan tenaga keperawatan ditekankan
untuk memberi pelayanan perawatan di bangsal. Akhir abad sembilan belas, fokus
tersebut tidak dapat dipertahankan dalam memberikan pelayanan pada masyarakat
umum. Karena kebijakan, sebagai pengganti dokter, dipekerjakanlah para perawat
di poliklinik-poliklinik, dengan cara ini tenaga keperawatan yang kuratif
memperoleh pembenaran. Preventif muncul sebagai lawan dari perawat kuratif
untuk melaksanakan program pencegahan di berbagai daerah pedesaan. Setelah
kemerdekaan, model keperawatan ini mendapat perhatian besar dengan pertama kali
menghasilkan perawat kesehatan masyarakat.
Berangkat
dari keuntungan metodoogis dan teoretis yang didapat dalam penelitian ini,
penulis cenderung menyokong penggunaan prespektif multi-level dalam ilmu
antropologi kesehatan. Pokok yang akan dianalisa diletakkan pada multi-level
yang lebih luas. Hanya mengamati pada satu level organisasi yang spesifik,
peneliti kemungkinan besar akan mengalami kegagalan dalam memahami tingkat
tersebut, beserta para pelaku sosialnya yang dipengaruhi oleh
tingkatan-tingkatan lainnya. Topik studi yang menjadi favorit dalam antropologi
kesehatan yaitu pasien dan dukun tradisional yang sebaiknya tidak dipelajar
secara terpisah. Hal ini disebabkan karena pasien dan dukun tetap dipengaruhi
oleh keputusan pada tingkat nasional. Seperti formulasi kebijakan kesehatan
tertentu atau kebijakan obat-obatan dan sanksi hukum pada pemberi layanan.
Fokus
pada perbedaan pandangan dan kepentingan aktor-aktor sosial di dalam sebuah
organisasi, cara yang saling berkaitan, citra sistem kesehatan sebagai sebuah
sistem yang terintegrasi dapat dipertanyakan secara efektif. Pada studi ini,
peran perawat dan implementasi perawatan kesehatan masyarakat yang sebenarnya
merupakan contoh yang jelas tentang bagaimana citra fiktif yang tercipta di
sebuah sistem kesehatan menyembunyikan konflik internal. Keterkaitan dan
keseragaman institusional sebenarnya hanya merupakan bentuk simbolis dan
mempunyai relevansi yang kecil dalam dunia nyata. Perubahan dalam tipe tenaga
kesehatan, tidak memecahkan seluruh masalah keperawatan kesehatan masyarakat.
Penempatan tenaga kesehatan batru yang terlatih dengan baik tidak dengan
sendirinya dapat memecahkan masalah struktural dalam sistem kesehatan.
Beberapa
pokok masalah yang secara khusus memiliki arti bagi penulis. Pertama, berharga
sekali untuk mengetahui sebarapa jauh pola perwatan kuratif bisa dilakukan di
negara-negara berkembang lainnya. Pada saat yang sama, hal ini dapat membantu
memahami alasan terjadinya transformasi konsep khusus Barat dalam konteks
non-Barat. Kedua, menarik untuk mempelajari lebih jauh bagaimana organisasi
yang sama, mengandung kenyataan yang berbeda, yakni yang tertuang dalam
kebijakan tertulis dan yang terjadi dalam pelaksanaannya. Apakah ini merupakan
karakteristik dari birokrasi Indonesia atau merupakam hal yang biasa pada
organisasi kesehatan atau organisasi lain, baik di negara Barat maupun negara
non-Barat lainnya.
Pada
laporannya, penulis menyadari bahwa terbentuknya kerahsiaan di sekitar fungsi
pelayanan kesehatan pedesaan dapat dibongkar oleh seorang pengamat luar. Usulan
yang disampaikan penulis dipertimbangkan sebagai contoh campur tangan Barat
dalam urusan nasiona. Sesungguhnya, rekomendasi yang dikatakan oleh penulis
diberikan atas dasar kepedulian yang mendalam, terhadap nasib tenaga perawat di
puskesmas dan kesejaheraan masyarakat pedesaan.
Daftar
Pustaka
Sciortino,
Rosalia. 1995. Care-takers of Cure: An Anthropological Study of Health
Centre Nurses in Rural Central Java.Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Santoso,
Bedjo. 2010. Care Takers of Cure. http://sanbed.blogspot.co.id
Waw, terima kasih buat tulisannya ya, Mbak Windi!
BalasHapusJujur, gua ngerasa enggak jago dalam antropologi medis. Namun, dulu ketika belajar ini, gua menyenangi banget pemikiran antropologi kritis dalam dunia kesehatan. Salah satu buah pemikiran kritis tersebut sepertinya ada di tulisan ini ya, Mbak? CMIIW
disini, Sciortino awalnya penasaran.. kenapa sih, kalau di desa (waktu itu di magelang) peran perawat itu sama kayak dokter? dia mengamati dari berbagai hal dan juga multiside.. dibantu juga dengan asistennya, terkait pertanyaan besar tersebut.
Hapusnah, kalau kita melihat tuas secara umum, memang... perawat dan juga dokter memiliki peran yang berbeda. dimana dokter mengobati dan perawatlah yang merawat.. lalu, kanapaa..... kok ditempat ini demikian???