Rumah Adat Kudus (Folklore Genre: Bukan Lisan)
Rumah merupakan
arsitektur rakyat yang termasuk dalam genre folkore bukan lisan. Bentuk dan makna
dari rumah adat memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya, meskipun memiliki
kemiripan. Salah satunya adalah rumah adat Kudus yang teletak di Kudus Jawa
Tengah. Sekilas bangunan tersebut mirip dengan rumah adat di Jepara, meski
begitu struktur dan fungsi kedua bangunan tersebut berbeda. Bangunan
tradisional Jawa menurut Dakung (1978) dibedakan menjadi lima klasifikasi.
Berdasarkan atapnya, yakni atap panggung pe, atap kampung, atap limasan, atap
joglo, dan atap tajug. Menurut Tjahjono perbedaan bentuk rumah Jawa menunjukan
status sosial. Sedangkan persamaan dalam susunan rumah menandakan adanya
pandangan hidup yang diwujudkan melalui aturan-aturan dalam kehidupan rumah
tangga.
Kabupaten Kudus
berada di provinsi Jawa Tengah. Terletak di jalur pantai timur laut antara
Semarang dan Surabaya. Berbatasan dengan Pati (sebelah timur), Grobogan dan
Demak (sebeah selatan), gunung Muria (di utara), serta Jepara (di barat). Kudus
dikenal dengan kota penghasil rokok terbesar di Jawa Tengah dan kota santri.
Kota ini merupakan pusat perkembangan agama Islam pada abad pertengahan.
Sebagian besar daerah Kudus adalah dataran rendah. Dahulu kota Kudus bernama
kota Tajug. Disebut demikian karena daerah tersebut memiliki banyak Tajug
(tempat ibadah orang Hindu). Setelah kedatangan sunan Kudus, daerah tersebut
dikenal dengan nama “al-quds” yang berarti kudus, kudus berarti suci.
Informasi
terkait bangunan rumah adat ini dapat ditemukan di museum kretek, daerah
sekitar menara kudus, dan beberapa informan yang tinggal di Kudus. Bangunan ini
terbuat 95% dari kayu jati yang dapat dibongkar pasang. Ciri khasnya adalah
rumah adat yang memiliki ukiran simbol-simbol dari perpaduan budaya tertentu.
Budaya tersebut yang memiliki pengaruh terhadap filosofi dan kehidupan
masyarakat Kudus. Tata ruang rumah memiliki makna dan fungsi tersendiri. Akan
berubah sesuai dengan keperluan si pemilik rumah. Perawatan rumah dilakukan
dengan menggunakan parutan kelapa untuk mengepel lantai dan dinding kayu.
Masyarakat percaya dengan perawatan seperti itu akan membuat kayu licin, awet
dam tahan dari rayap. Struktur ruang rumah tradisional dan rumah modern hampir
memiliki kesamaan. Sebagian masyarakat sekarang sudah banyak yang membangun
rumah permanen dari batu data dan semen. Rumah tradisional dapat menunjukan
tingkat ekonomi, sebagian besar dari mereka adalah yang memiliki kelas ekonomi
menengah ke atas. Jika dilihat dari seni ukir pada dinding rumah, semakin rumit
hiasannya, maka harga semakin mahal dan tingkat ekonomi semakin tinggi.
Pada penelitian
ini akan dibahas mengenai simbol ukiran yang terdapat di rumah adat Kudus dan
konsep tata ruang rumahnya. Teori yang digunakan adalah teori simbol dari
Geertz dan pemikiran Goffman tentang dramaturgi. Dua teori tersebut dipilih
karena rumah adat Kudus memiliki banyak simbol yang terletak pada
dinding-dinding kayu rumah. Tata ruang rumah juga memiliki makna dan fungsi
tertentu bagi masyarakat Kudus. Selain fungsinya, tata ruang rumah juga
terkandung simbol dan memiliki makna. Terkait dengan akulturasi budaya yang ada
di Kudus, beberapa budaya melebur menjadi satu dan dilukiskan dalam ukiran.
Sejarah mengapa terlukis dalam ukiran, memiki cerita tersendiri yang menjadi
asal usul kota Kudus di rumah tradisionalnya terdapat ukiran. Layaknya Jepara
yang terkenal dengan ukirannya. Namun yang menjadi topik dalam penelitian ini
adalah makna yang terkandung dalam hiasan dinding rumah Kudus dan makna tata
ruang rumah.
Rumah adat Kudus
memiliki ciri pada ukiran-ukirannya yang merupakan lambang dari akuturasi
budaya. Rangkaian bunga melati melambangkan hindu Jawa, ukiran naga melambagkan
Cina, dan bentuk mahkota yang mirip dengan nanas terbalik melambangkan eropa.
Eropa yang dimaksud dalam ukiran ini adalah Belanda. Ukiran lain yang ada pada
dinding bangunan meliputi pepohonan dan hewan. Kebudayaan dari berbagai daerah
tersebut tidak hanya nampak pada ukiran. Pada struktur bangunan, mulai dari
jumlah saka penyangga, tiang yang berada di ruang tengah, bentuk meja dan kursi
memiliki lambang lain. Sedangkan pada letak tata ruang bangunan sendiri dibagi
dalam dua tempat. Bangunan utama (rumah) dan bangunan luar (kamar mandi atau
sumber mata air). Kamar mandi terletak berada di luar rumah dan tidak menjadi
bagian dalam bangunan utama. Letaknya berada di luar, di depan sebelah kanan.
Sruktur bangunan sendiri terdiri dari bagian depan, tengah, dan samping. Bagian
depan adalah ruang tamu, ruangan ini memiliki ciri khas lebih lebar dari
ruangan yang lainnya. Bagian tengah adalah ruang keluarga dan kamar. Rumah
Kudus awalnya dibangun untuk pengantin baru, sehingga kamarnya hanya satu buah.
Setelah memiliki anak, akan dibuat sekat yang dijadian sebagai kamar. Ruang
keluarga juga berfungsi sebagai ruang santai dan berkumpul orang tua dengan
anak. Sisi samping kamar, memiliki ruangan kosong yang terdapat lemari kecil.
Berfungsi untuk menyimpan barang berharga dan mas kawin. Ruang samping
merupakan dapur dan ruang makan. Letaknya sejajar dengan kamar mandi. Hal
tersebut ditujukan untuk kemudahan dalam mengambil air untuk dimasak. Meja makan
memiliki dua pola yang berberda. Satu berukuran kecil dan pendek yang digunakan
untuk anak-anak. Meja kursi yang berukuran lebih besar dan tinggi digunakan
untuk orang tua. Terkadang pula, meja makan untuk anak-anak digunakan pula
untuk belajar.
Teori yang
digunakan adalah simbol (Geertz) dan dramaturgi (Goffman). Geertz memfokuskan
konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat
untuk bertindak dalam menghadapi berbagai permasalahan hidupnya. Dalam
kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik. Ketika sistem makna
kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok. Kebudayaan menjadi suatu
pola makna yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-simbol.
Kebudayaan menjadi sistem konsep yang diwariskan dan terungkap dalam
bentuk-bentuk simbolik manusia yang berkomunikasi, melestarikan, dan
mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap
kehidupan. Clifford Geertz mengemukakan definisi kebudayaan sebagai 1) suatu
sistem keteraturan dari makna dan simbol. 2) Suatu pola makna-makna yang
ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolis. 3)
Suatu peralatan semiotik bagi pengontrol perilaku. 4) Karena kebudayaan adaah
suatu simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan
diinterpretasi. Simbol-simbol yang menunjukan suatu kebudayaan adalah wahana
dan konsepsi. Kebudayaan yang memberikan unsur dan proses sosial. Menurut
Geertz, pola-pola kebudayaan merupakan sebuah model. Ia membentuk simbol yang menghubungkan
tiap-tiap model relasi diantara kesatuan proses yang terjadi secara alamiah,
biologis, sosial, dan psikologis melalui penyamaan atau peniruan. Model of adalah
terbentuknya proses-proses dan relasi sosial yang terjadi dalam suatu
masyarakat. Model for adalah pola-pola kebudayaan yang terbentuk dari
adanya proses-proses dan relasi-relasi sosial itu. Asumsi terpenting dalam
pendekatan ini adalah manusia merupakan makhluk simbolik. Makhluk yang
menggunakan dan mengembangkan simbol-simbol untuk berkomunikasi.
Berdasarkan pada
terori yang telah dipaparkan oleh Geertz terkait simbol, berikut merupakan
makna dari simbol-simbol yang ada di rumah adat Kudus :
Lambang
|
Makna
|
Empat
buah tiang yang menyangga rumah
|
Penghuni
rumah mampu menjaga kehidupan sehari-hari. Mengendalikan empat dasar sifat
manusia (amarah, lawwamah, shofiyah, dan mutamainnah)
|
Kamar
mandi
|
Manusia
membersihkan diri, baik fisik atau nin fisik
|
Ukiran
pohon belimbing
|
Lima
rukun Islam
|
Ukiran
pandan wangi
|
Simbol
rejeki yang harum/halal
|
Ukiran
bunga melati
|
Keharuman.
Perilaku yang baik, berbudi luhur, dan kesucian
Ukiran
ini memiliki pengaruh dari budaya Hindu.
Pada mitos hindu, bunga melati melambangkan kesuburan
|
Ukiran
naga
|
Lambang
dari kebudayaan China.
Naga
disimbolkan sebagai petualang dan memiliki sifat yang pemberani
|
Ukiran
berbentuk mahkota (nanas terbalik)
|
Kerja
keras yang dilakukan terlebih dahulu sebelum menjalani kenikmatan hidup.
Diharapkan ketika seseorang telah merasakan kenikmatan hidup masih tetap
ingat pada saat merasakan tidak enaknya, sehingga tidak ada rasa merendahkan
pihak lain yang belum beruntung.
Motif
ini juga memiliki pengaruh dari kebudayaan Eropa
|
Ukiran
pohon pisang
|
Prinsip
hidup, selama diberi umur panjang hendaknya senantiasa berupaya untuk beramal
yang baik dan bermanfaat bagi orang lain
|
Ukiran
burung
|
Roh
nenek moyang yang sedang melayang naik
ke surga
|
Ukiran
kerang yang posisinya seperti telapak tangan sedang mengangkat (takbiratul
ikhram)
|
Manusia
senantiasa ingat dengan Allah dengan menjalankan shalat lima waktu
|
Ukiran
bulat-bulat menyerupai rambut Budha
|
Sikap
yang bijaksana
|
Ukiran
berbentuk segtiga yang disusun sejajar. Bentuknya menyerupai lampu sorot
|
Kemantapan
dan keabadian hidup.
Sorotan
melambangkan cahaya penerang kehidupan setiap muslim (iman, islam, ikhsan).
Sebagai sarana penghuni rumah senantiasa memegang teguh ketiga hal tersebut
sebagai penerang jalannya kehiupan.
|
Ukiran
yang dibentuk dari rangkaian daun bunga yang disusun menyerupai kubah masjid
|
Manusia
harus selalu ada di masjid dan ingat untuk beribadah pada Allah
|
Berbagai macam
simbol ukiran yang terdapat di bangunan
rumah, melambangkan Kudus memiliki sifat yang terbuka dalam menerima hal
(kebudayaan) yang baru. Seperti pada sifat masyarakat pesisir pada umumnya yang
memiliki sifat terbuka. Perpaduan dari berbagai macam budaya yang menjadi satu
dalam bentuk ukiran merupakan sebuah akulturasi. Hal ini juga terlihat dalam
kehidupan masyarakat Kudus yang terdiri dari suku Jawa, Hindu, dan Tionghoa.
Mereka tinggal dan saling menghormati satu sama lain. Seperti yang dapat
dilihat pada saat ini, beberapa pabrik didirikan oleh orang tionghoa (misalnya
pabrik kertas, Pura) dan keberadannya diterima baik oleh masyarakat Kudus.
Saling menghormati antar agama juga terlihat dalam tolerasnsi umat beragama.
Salah satu contoh yang terlihat adalah ketika masa idul adha. Orang Islam
disana tidak menyembelih sapi guna menghormati masyarakat Hindu yang menganggap
saspi itu suci. Mereka menggantinya dengan kerbau. Akulturasi budaya yang
lainnya terlihat pula ada menara Kudus. Bentuknya masjid yang Islam dengan
bangunan punden berundak-undak yang melambangakan Hindu. Hal ini mengingatkan
kembali bahwa dahulu, Kudus didominasi oleh orang Hindu. Islam masuk dengan
cara yang damai dan akhirnya dapat diterima oleh masyarakat. Bentuk masjid yang
memiliki punden yang berundak adalah bukti dari islam diterima oleh masyarakat
yang dahulu beragama Hindu.
Pemikiran
Goffman tenyang dramaturgi dalam bukunya the presentation of self in
everyday life (1959) menjelaskan bahwa tindakan manusia dapat dianalogikan
dengan teater. Goffman mengemukakan bahwa individu dapat menyajikan suatu
pertunjukan (show) bagi orang lain, tetapi kesan si pelaku terhadap
pertunjukan itu bisa berbeda-beda. Penampilan seseorang bisa dibedakan antara
penampilan panggung depan (front region) dengan penampilan pada panggung
belakang (back stage). Panggung depan merupakan bagian penampilan
individu yang secara teratur befungsi di dalam mode yang umum dan tetap untuk
mendefinisikan situasi bagi mereka yang menyaksikan penampilan itu. Pada bagian
ini seseorang berusaha menunjukan kemampuan ideal sesuai dengan situasinya.
Pemikiran
Goffman terkait dramaturgi menjelaskan tentang tata ruang rumah adat Kudus.
Bentuk rumah yang terbagi menjadi dua bangunan memperlihatkan tindakan manusia.
Kamar mandi (sumber air) yang letaknya terpisah dari bangunan utama memiliki
fungsi bagi masyarakat Kudus, selain simbol yang telah dijelaskan sebelumnya.
Berikut merupakan perilaku manusia terkait rumah adat Kudus :
1. Posisi
kamar mandi yang terpidah dari bangunan utama. Terpisahnya kedua bangunan
membuat jarak, sehingga perlu beberapa waktu untuk menuju sumber air. Posisi
sumber air yang berada di luar menunjukan orang yang sedang berada di sana
dapat terlihat oleh siapapun. Hal ini memiliki tujuan ketika ada seorang lelaki
yang hendak melihat calon istrinya, ia akan lebih mudah untuk melihat wajah
perempuan tersebut ketika perempuan berada di luar rumah. Sebelumnya telah
terjadi kesepakatan dengan orang tua pihak perempuan, jika si lelaki hendak
melihat wajahnya. Maka dari itu, setelah mengetahui jadwal kapan perempuan ke
luar rumah untuk pergi ke sumber air (baik mencuci atau hendak mandi). Lelaki
sudah siap bersembunyi di suatu tempat, agar permpuan tidak tahu diinya sedang
diintip oleh orang asing.
2. Posisi
kamar mandi yang berada di luar juga bertujuab untuk menjaga kebersihan.
Sebelum masuk rumah dan setelah beraktivitas di luar ruangan, hendaknya mencuci
kaki dan tangan untuk menjaga kebersihan diri dan kebersihan rumah. Letaknya
persis di depan dapur, memiliki tujuan kemudahan ketika hendak mengambil air
untuk dimasak.
3. Ruang
tamu memiliki ruangan yang melebar dan panjang. Seolah memiliki dua bagian di
kanan dan kiri. Posisi tresebut merupakan lambang dari laki-laki dan perempuan
tidak boleh duduk berdekatan. Maka dari itu, ruang tamu dibuat dengan
memanjang. Sebelah kanan untuk tamu laki-laki dan sebelah kiri untuk tamu
perempuan.
4. Ruang
tamu merupakan ruangan pertama yang akan ditemui di bangunan utama rumah.
Melambangkan masyarakat Kudus yang terbuka, menghormati tamu yang datang, dan mudah
menerima hal baru.
5. Posisi
rumah menghadap selatan, membelakangi gunung Muria (berada di sebelah utara).
Digambarkan tidak “memangku” gunung. Memiliki maksud agar tidak memerberat kehidupan
sehati-hari.
6. Maksud
lain dari rumah yang menghadap ke selatan karena beberapa alasan, yakni 1)
Sinar matahari pagi bisa masuk ke dalam rumah, sehingga kesehatan penghuninya
terjamin. 2) Bila musim kemarau, bagian depan rumah tidak langsung terkena sinar
matahari sehingga tetap adem. 3) Bila musim hujan, bagian depan rumah
terlindung dari hujan. Tidak ditrepa hujan terus-menerus dan aman dari bahaya
lapuk.
Seiring
dengan perkembanagan zaman dan perubahan dalam masyarakat, keberadaan rumah
adat Kudus dijadikan sebagai tingkat penentu ekoomi seseorang. Pengrajin yang
membut hiasan dinding rumah adat ini mematok harga yang mahal, sehingga hanya
sebagian kecil masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke atas yang
bisa membelinya.
Selain pabrik rokok, di Kudus juga terdapat pabrik kertas
yang didirikan oleh orang Cina. Sampai saat ini pabrik kertas (pura) masih
berdiri dan tidak dipermasalahkan keberadaannya. Penduduk Kudus saat ini di
kenal Islamnya
yang kental. Banyak sekolah
yang berdiri dengan berbasis Islam. Sehingga pengaruh mukhrim dan bukan mukhrim
terlihat pada posisi ruang tamu yang dibuat lebih lebar dan memiliki ruang
kanan dan kiri. Namun bentuk dari ruang tamu tersebut kini sudah berubah
fungsi. Posisi bangunan yang dirancang oleh masyarakat Kudus memiliki fungsi dan
proses pembangunannya disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan manfaat yang
diperlukan oleh penghuninya. Seperti rumah adat Kudus yang awalnya merupakan
rumah bagi pengentin baru, tata letak rumahnya masih sama. Namun ketika telah
memiliki anak, akan di sekat untuk menjadi beberapa ruangan, sehingga beralih
fungsi.
Akulturasi
budaya yang tercermin dalam rumah adat Kudus merupakan simbol dari adanya
enkulturasi budaya, dimana banyak etnis yang tinggal di Kudus dan semuanya
berdampingan. Menurut data statistik, pada saat ini penduduk di Kudus terdiri
dari suku Jawa dan Tionghoa, agama yang dianut di Kudus saat ini didominasi
dengan agama islam, meski dahulu merupakan kota suci umat Hindu karena terdapat
banyak tajug (tempat bersembayang umat Hindu zaman dahulu). Masyarakat saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Salah
satu contohnya adalah ketika idul adha berlangsung, untuk menghormati kaum
Hindu yang ada di sana, mereka tidak menyembelih sapi tetapi menyembelih kerbau
sebagai gantinya.
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan sebalumnya,
ukiran yang berada di rumah adat Kudus dan tata letak rumah yang di seting
merupakan simbol dari kepribadian masyarakat Kudus yang saling menghargai dan
bertoleransi antar suku dan umat beragama. Simbol tersebut tidak hanya terdapat
di rumah adat saja, namun toleransi diwujudkan pula pada lambang kabupaten
Kudus. Dimana didalamnya terdapat pura atau tajug yang digunakan oleh
masyarakat hindu untuk sembayang pada zaman dahulu. Meskipun saat ini Kudus di
dominasi dengan penduduk beragama Islam.
semoga bermanfaat, jangan lupa sertakan sumbernya ya..
Wah, tarikan antara Goffmanian dengan Geertzian begitu mulus. Baru tahu juga kalau rumah adat Kudus mampu mendiktekan konteks sosiokultural masyarakatnya. Trims buat infonya, dear Mbak Windi!
BalasHapusoke Bang...
Hapusaku malah tertarik sama rumah Baduy karena bertolak belakang dengan rumah jawa.
Kabarnya, rumah adat suku Baduy itu hanya memiliki satu pintu. Sedangkan rumah di Jawa, pasti lebih dari satu pintu. hehee