belajar menulis dengan beberapa tugas yang telah ada dan beberapa hal yang ingin disampaikan dengan metafora. selamat membaca, oh ya.. jika hendak mengutip beberapa info dari blog ini, mohon sertakan sumbernya ya.. ingat plagiat itu tidak baik lho. salam.... ws.ningrum

BTemplates.com

Mengenai Saya

Foto saya
wo shi filolog wo ye shi antropolog. dui, wo xi huan hanyu. jika ada yang mau kenalan, boleh kirim e-mail kakak :D oya, ws ningrum shi: windi susetyo ningrum
Diberdayakan oleh Blogger.

w.s.ningrum

w.s.ningrum
爱,我明白如果上帝不睡觉 我相信

12 Jun 2016

Rumah Adat Kudus (Folklore Genre: Bukan Lisan)




Rumah merupakan arsitektur rakyat yang termasuk dalam genre folkore bukan lisan. Bentuk dan makna dari rumah adat memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya, meskipun memiliki kemiripan. Salah satunya adalah rumah adat Kudus yang teletak di Kudus Jawa Tengah. Sekilas bangunan tersebut mirip dengan rumah adat di Jepara, meski begitu struktur dan fungsi kedua bangunan tersebut berbeda. Bangunan tradisional Jawa menurut Dakung (1978) dibedakan menjadi lima klasifikasi. Berdasarkan atapnya, yakni atap panggung pe, atap kampung, atap limasan, atap joglo, dan atap tajug. Menurut Tjahjono perbedaan bentuk rumah Jawa menunjukan status sosial. Sedangkan persamaan dalam susunan rumah menandakan adanya pandangan hidup yang diwujudkan melalui aturan-aturan dalam kehidupan rumah tangga.
Kabupaten Kudus berada di provinsi Jawa Tengah. Terletak di jalur pantai timur laut antara Semarang dan Surabaya. Berbatasan dengan Pati (sebelah timur), Grobogan dan Demak (sebeah selatan), gunung Muria (di utara), serta Jepara (di barat). Kudus dikenal dengan kota penghasil rokok terbesar di Jawa Tengah dan kota santri. Kota ini merupakan pusat perkembangan agama Islam pada abad pertengahan. Sebagian besar daerah Kudus adalah dataran rendah. Dahulu kota Kudus bernama kota Tajug. Disebut demikian karena daerah tersebut memiliki banyak Tajug (tempat ibadah orang Hindu). Setelah kedatangan sunan Kudus, daerah tersebut dikenal dengan nama “al-quds” yang berarti kudus, kudus berarti suci.
Informasi terkait bangunan rumah adat ini dapat ditemukan di museum kretek, daerah sekitar menara kudus, dan beberapa informan yang tinggal di Kudus. Bangunan ini terbuat 95% dari kayu jati yang dapat dibongkar pasang. Ciri khasnya adalah rumah adat yang memiliki ukiran simbol-simbol dari perpaduan budaya tertentu. Budaya tersebut yang memiliki pengaruh terhadap filosofi dan kehidupan masyarakat Kudus. Tata ruang rumah memiliki makna dan fungsi tersendiri. Akan berubah sesuai dengan keperluan si pemilik rumah. Perawatan rumah dilakukan dengan menggunakan parutan kelapa untuk mengepel lantai dan dinding kayu. Masyarakat percaya dengan perawatan seperti itu akan membuat kayu licin, awet dam tahan dari rayap. Struktur ruang rumah tradisional dan rumah modern hampir memiliki kesamaan. Sebagian masyarakat sekarang sudah banyak yang membangun rumah permanen dari batu data dan semen. Rumah tradisional dapat menunjukan tingkat ekonomi, sebagian besar dari mereka adalah yang memiliki kelas ekonomi menengah ke atas. Jika dilihat dari seni ukir pada dinding rumah, semakin rumit hiasannya, maka harga semakin mahal dan tingkat ekonomi semakin tinggi.
Pada penelitian ini akan dibahas mengenai simbol ukiran yang terdapat di rumah adat Kudus dan konsep tata ruang rumahnya. Teori yang digunakan adalah teori simbol dari Geertz dan pemikiran Goffman tentang dramaturgi. Dua teori tersebut dipilih karena rumah adat Kudus memiliki banyak simbol yang terletak pada dinding-dinding kayu rumah. Tata ruang rumah juga memiliki makna dan fungsi tertentu bagi masyarakat Kudus. Selain fungsinya, tata ruang rumah juga terkandung simbol dan memiliki makna. Terkait dengan akulturasi budaya yang ada di Kudus, beberapa budaya melebur menjadi satu dan dilukiskan dalam ukiran. Sejarah mengapa terlukis dalam ukiran, memiki cerita tersendiri yang menjadi asal usul kota Kudus di rumah tradisionalnya terdapat ukiran. Layaknya Jepara yang terkenal dengan ukirannya. Namun yang menjadi topik dalam penelitian ini adalah makna yang terkandung dalam hiasan dinding rumah Kudus dan makna tata ruang rumah.
Rumah adat Kudus memiliki ciri pada ukiran-ukirannya yang merupakan lambang dari akuturasi budaya. Rangkaian bunga melati melambangkan hindu Jawa, ukiran naga melambagkan Cina, dan bentuk mahkota yang mirip dengan nanas terbalik melambangkan eropa. Eropa yang dimaksud dalam ukiran ini adalah Belanda. Ukiran lain yang ada pada dinding bangunan meliputi pepohonan dan hewan. Kebudayaan dari berbagai daerah tersebut tidak hanya nampak pada ukiran. Pada struktur bangunan, mulai dari jumlah saka penyangga, tiang yang berada di ruang tengah, bentuk meja dan kursi memiliki lambang lain. Sedangkan pada letak tata ruang bangunan sendiri dibagi dalam dua tempat. Bangunan utama (rumah) dan bangunan luar (kamar mandi atau sumber mata air). Kamar mandi terletak berada di luar rumah dan tidak menjadi bagian dalam bangunan utama. Letaknya berada di luar, di depan sebelah kanan. Sruktur bangunan sendiri terdiri dari bagian depan, tengah, dan samping. Bagian depan adalah ruang tamu, ruangan ini memiliki ciri khas lebih lebar dari ruangan yang lainnya. Bagian tengah adalah ruang keluarga dan kamar. Rumah Kudus awalnya dibangun untuk pengantin baru, sehingga kamarnya hanya satu buah. Setelah memiliki anak, akan dibuat sekat yang dijadian sebagai kamar. Ruang keluarga juga berfungsi sebagai ruang santai dan berkumpul orang tua dengan anak. Sisi samping kamar, memiliki ruangan kosong yang terdapat lemari kecil. Berfungsi untuk menyimpan barang berharga dan mas kawin. Ruang samping merupakan dapur dan ruang makan. Letaknya sejajar dengan kamar mandi. Hal tersebut ditujukan untuk kemudahan dalam mengambil air untuk dimasak. Meja makan memiliki dua pola yang berberda. Satu berukuran kecil dan pendek yang digunakan untuk anak-anak. Meja kursi yang berukuran lebih besar dan tinggi digunakan untuk orang tua. Terkadang pula, meja makan untuk anak-anak digunakan pula untuk belajar.
Teori yang digunakan adalah simbol (Geertz) dan dramaturgi (Goffman). Geertz memfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam menghadapi berbagai permasalahan hidupnya. Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik. Ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok. Kebudayaan menjadi suatu pola makna yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan menjadi sistem konsep yang diwariskan dan terungkap dalam bentuk-bentuk simbolik manusia yang berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan. Clifford Geertz mengemukakan definisi kebudayaan sebagai 1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol. 2) Suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolis. 3) Suatu peralatan semiotik bagi pengontrol perilaku. 4) Karena kebudayaan adaah suatu simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi. Simbol-simbol yang menunjukan suatu kebudayaan adalah wahana dan konsepsi. Kebudayaan yang memberikan unsur dan proses sosial. Menurut Geertz, pola-pola kebudayaan merupakan sebuah model. Ia membentuk simbol yang menghubungkan tiap-tiap model relasi diantara kesatuan proses yang terjadi secara alamiah, biologis, sosial, dan psikologis melalui penyamaan atau peniruan. Model of adalah terbentuknya proses-proses dan relasi sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Model for adalah pola-pola kebudayaan yang terbentuk dari adanya proses-proses dan relasi-relasi sosial itu. Asumsi terpenting dalam pendekatan ini adalah manusia merupakan makhluk simbolik. Makhluk yang menggunakan dan mengembangkan simbol-simbol untuk berkomunikasi.
Berdasarkan pada terori yang telah dipaparkan oleh Geertz terkait simbol, berikut merupakan makna dari simbol-simbol yang ada di rumah adat Kudus :
Lambang
Makna
Empat buah tiang yang menyangga rumah
Penghuni rumah mampu menjaga kehidupan sehari-hari. Mengendalikan empat dasar sifat manusia (amarah, lawwamah, shofiyah, dan mutamainnah)
Kamar mandi
Manusia membersihkan diri, baik fisik atau nin fisik
Ukiran pohon belimbing
Lima rukun Islam
Ukiran pandan wangi
Simbol rejeki yang harum/halal
Ukiran bunga melati
Keharuman. Perilaku yang baik, berbudi luhur, dan kesucian
Ukiran ini memiliki pengaruh dari budaya Hindu.  Pada mitos hindu, bunga melati melambangkan kesuburan
Ukiran naga
Lambang dari kebudayaan China.
Naga disimbolkan sebagai petualang dan memiliki sifat yang pemberani
Ukiran berbentuk mahkota (nanas terbalik)
Kerja keras yang dilakukan terlebih dahulu sebelum menjalani kenikmatan hidup. Diharapkan ketika seseorang telah merasakan kenikmatan hidup masih tetap ingat pada saat merasakan tidak enaknya, sehingga tidak ada rasa merendahkan pihak lain yang belum beruntung.
Motif ini juga memiliki pengaruh dari kebudayaan Eropa
Ukiran pohon pisang
Prinsip hidup, selama diberi umur panjang hendaknya senantiasa berupaya untuk beramal yang baik dan bermanfaat bagi orang lain
Ukiran burung
Roh nenek moyang yang sedang melayang  naik ke surga
Ukiran kerang yang posisinya seperti telapak tangan sedang mengangkat (takbiratul ikhram)
Manusia senantiasa ingat dengan Allah dengan menjalankan shalat lima waktu
Ukiran bulat-bulat menyerupai rambut Budha
Sikap yang bijaksana
Ukiran berbentuk segtiga yang disusun sejajar. Bentuknya menyerupai lampu sorot
Kemantapan dan keabadian hidup.
Sorotan melambangkan cahaya penerang kehidupan setiap muslim (iman, islam, ikhsan). Sebagai sarana penghuni rumah senantiasa memegang teguh ketiga hal tersebut sebagai penerang jalannya kehiupan.
Ukiran yang dibentuk dari rangkaian daun bunga yang disusun menyerupai kubah masjid
Manusia harus selalu ada di masjid dan ingat untuk beribadah pada Allah
Berbagai macam simbol ukiran yang terdapat di bangunan  rumah, melambangkan Kudus memiliki sifat yang terbuka dalam menerima hal (kebudayaan) yang baru. Seperti pada sifat masyarakat pesisir pada umumnya yang memiliki sifat terbuka. Perpaduan dari berbagai macam budaya yang menjadi satu dalam bentuk ukiran merupakan sebuah akulturasi. Hal ini juga terlihat dalam kehidupan masyarakat Kudus yang terdiri dari suku Jawa, Hindu, dan Tionghoa. Mereka tinggal dan saling menghormati satu sama lain. Seperti yang dapat dilihat pada saat ini, beberapa pabrik didirikan oleh orang tionghoa (misalnya pabrik kertas, Pura) dan keberadannya diterima baik oleh masyarakat Kudus. Saling menghormati antar agama juga terlihat dalam tolerasnsi umat beragama. Salah satu contoh yang terlihat adalah ketika masa idul adha. Orang Islam disana tidak menyembelih sapi guna menghormati masyarakat Hindu yang menganggap saspi itu suci. Mereka menggantinya dengan kerbau. Akulturasi budaya yang lainnya terlihat pula ada menara Kudus. Bentuknya masjid yang Islam dengan bangunan punden berundak-undak yang melambangakan Hindu. Hal ini mengingatkan kembali bahwa dahulu, Kudus didominasi oleh orang Hindu. Islam masuk dengan cara yang damai dan akhirnya dapat diterima oleh masyarakat. Bentuk masjid yang memiliki punden yang berundak adalah bukti dari islam diterima oleh masyarakat yang dahulu beragama Hindu.
Pemikiran Goffman tenyang dramaturgi dalam bukunya the presentation of self in everyday life (1959) menjelaskan bahwa tindakan manusia dapat dianalogikan dengan teater. Goffman mengemukakan bahwa individu dapat menyajikan suatu pertunjukan (show) bagi orang lain, tetapi kesan si pelaku terhadap pertunjukan itu bisa berbeda-beda. Penampilan seseorang bisa dibedakan antara penampilan panggung depan (front region) dengan penampilan pada panggung belakang (back stage). Panggung depan merupakan bagian penampilan individu yang secara teratur befungsi di dalam mode yang umum dan tetap untuk mendefinisikan situasi bagi mereka yang menyaksikan penampilan itu. Pada bagian ini seseorang berusaha menunjukan kemampuan ideal sesuai dengan situasinya.
Pemikiran Goffman terkait dramaturgi menjelaskan tentang tata ruang rumah adat Kudus. Bentuk rumah yang terbagi menjadi dua bangunan memperlihatkan tindakan manusia. Kamar mandi (sumber air) yang letaknya terpisah dari bangunan utama memiliki fungsi bagi masyarakat Kudus, selain simbol yang telah dijelaskan sebelumnya. Berikut merupakan perilaku manusia terkait rumah adat Kudus :
1.      Posisi kamar mandi yang terpidah dari bangunan utama. Terpisahnya kedua bangunan membuat jarak, sehingga perlu beberapa waktu untuk menuju sumber air. Posisi sumber air yang berada di luar menunjukan orang yang sedang berada di sana dapat terlihat oleh siapapun. Hal ini memiliki tujuan ketika ada seorang lelaki yang hendak melihat calon istrinya, ia akan lebih mudah untuk melihat wajah perempuan tersebut ketika perempuan berada di luar rumah. Sebelumnya telah terjadi kesepakatan dengan orang tua pihak perempuan, jika si lelaki hendak melihat wajahnya. Maka dari itu, setelah mengetahui jadwal kapan perempuan ke luar rumah untuk pergi ke sumber air (baik mencuci atau hendak mandi). Lelaki sudah siap bersembunyi di suatu tempat, agar permpuan tidak tahu diinya sedang diintip oleh orang asing.
2.      Posisi kamar mandi yang berada di luar juga bertujuab untuk menjaga kebersihan. Sebelum masuk rumah dan setelah beraktivitas di luar ruangan, hendaknya mencuci kaki dan tangan untuk menjaga kebersihan diri dan kebersihan rumah. Letaknya persis di depan dapur, memiliki tujuan kemudahan ketika hendak mengambil air untuk dimasak.
3.      Ruang tamu memiliki ruangan yang melebar dan panjang. Seolah memiliki dua bagian di kanan dan kiri. Posisi tresebut merupakan lambang dari laki-laki dan perempuan tidak boleh duduk berdekatan. Maka dari itu, ruang tamu dibuat dengan memanjang. Sebelah kanan untuk tamu laki-laki dan sebelah kiri untuk tamu perempuan.
4.      Ruang tamu merupakan ruangan pertama yang akan ditemui di bangunan utama rumah. Melambangkan masyarakat Kudus yang terbuka, menghormati tamu yang datang, dan mudah menerima hal baru.
5.      Posisi rumah menghadap selatan, membelakangi gunung Muria (berada di sebelah utara). Digambarkan tidak “memangku” gunung. Memiliki maksud agar tidak memerberat kehidupan sehati-hari.
6.      Maksud lain dari rumah yang menghadap ke selatan karena beberapa alasan, yakni 1) Sinar matahari pagi bisa masuk ke dalam rumah, sehingga kesehatan penghuninya terjamin. 2) Bila musim kemarau, bagian depan rumah tidak langsung terkena sinar matahari sehingga tetap adem. 3) Bila musim hujan, bagian depan rumah terlindung dari hujan. Tidak ditrepa hujan terus-menerus dan aman dari bahaya lapuk.
Seiring dengan perkembanagan zaman dan perubahan dalam masyarakat, keberadaan rumah adat Kudus dijadikan sebagai tingkat penentu ekoomi seseorang. Pengrajin yang membut hiasan dinding rumah adat ini mematok harga yang mahal, sehingga hanya sebagian kecil masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke atas yang bisa membelinya.
Selain pabrik rokok, di Kudus juga terdapat pabrik kertas yang didirikan oleh orang Cina. Sampai saat ini pabrik kertas (pura) masih berdiri dan tidak dipermasalahkan keberadaannya. Penduduk Kudus saat ini di kenal Islamnya yang kental. Banyak sekolah yang berdiri dengan berbasis Islam. Sehingga pengaruh mukhrim dan bukan mukhrim terlihat pada posisi ruang tamu yang dibuat lebih lebar dan memiliki ruang kanan dan kiri. Namun bentuk dari ruang tamu tersebut kini sudah berubah fungsi. Posisi bangunan yang dirancang oleh masyarakat Kudus memiliki fungsi dan proses pembangunannya disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan manfaat yang diperlukan oleh penghuninya. Seperti rumah adat Kudus yang awalnya merupakan rumah bagi pengentin baru, tata letak rumahnya masih sama. Namun ketika telah memiliki anak, akan di sekat untuk menjadi beberapa ruangan, sehingga beralih fungsi.
Akulturasi budaya yang tercermin dalam rumah adat Kudus merupakan simbol dari adanya enkulturasi budaya, dimana banyak etnis yang tinggal di Kudus dan semuanya berdampingan. Menurut data statistik, pada saat ini penduduk di Kudus terdiri dari suku Jawa dan Tionghoa, agama yang dianut di Kudus saat ini didominasi dengan agama islam, meski dahulu merupakan kota suci umat Hindu karena terdapat banyak tajug (tempat bersembayang umat Hindu zaman dahulu). Masyarakat saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Salah satu contohnya adalah ketika idul adha berlangsung, untuk menghormati kaum Hindu yang ada di sana, mereka tidak menyembelih sapi tetapi menyembelih kerbau sebagai gantinya.
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan sebalumnya, ukiran yang berada di rumah adat Kudus dan tata letak rumah yang di seting merupakan simbol dari kepribadian masyarakat Kudus yang saling menghargai dan bertoleransi antar suku dan umat beragama. Simbol tersebut tidak hanya terdapat di rumah adat saja, namun toleransi diwujudkan pula pada lambang kabupaten Kudus. Dimana didalamnya terdapat pura atau tajug yang digunakan oleh masyarakat hindu untuk sembayang pada zaman dahulu. Meskipun saat ini Kudus di dominasi dengan penduduk beragama Islam.
 semoga bermanfaat, jangan lupa sertakan sumbernya ya..





2 komentar:

  1. Wah, tarikan antara Goffmanian dengan Geertzian begitu mulus. Baru tahu juga kalau rumah adat Kudus mampu mendiktekan konteks sosiokultural masyarakatnya. Trims buat infonya, dear Mbak Windi!

    BalasHapus
    Balasan
    1. oke Bang...
      aku malah tertarik sama rumah Baduy karena bertolak belakang dengan rumah jawa.
      Kabarnya, rumah adat suku Baduy itu hanya memiliki satu pintu. Sedangkan rumah di Jawa, pasti lebih dari satu pintu. hehee

      Hapus