The Devil and Commodity Fetishism in South America (Michael T. Taussig)
Halo semuanya, pada kali ini saya ingin membagikan sedikit review saya dan teman sekelompok tentang salah satu buku dalam mata kuliah Antropologi Kekuasaan. Buku ini terbagi dalam 3 part, dan kami bagi tiga. Review ini adalah salah satu tugas kelompok antara saya, mas Yanuardi Sukur, dan mas M. Ardi Pritadi. Buku yang sangat menarik bagi kami, tentang 'setan dan komoditas fetishisme di Amerika Selatan'. Semoga catatan kecil ini dapat membantu teman-teman dalam memahami buku aslinya. terima kasih dan selamat membaca ^^
The Devil and Commodity
Fetishism in South America
Michael T. Taussig
Sekilas
tentang penulis
Michael
T. Taussig adalah seorang antropolog Australia yang lahir di Sidney, 3 April
1940 dari keturunan Jerman. Taussig menyelesaikan pendidikan
menengah pada tahun 1958 di North Sydney Boys High School. Ia mendapatkan gelar
medis dari University of Sidney, menerima gelar antropologi di London Schools
of Economic, dan merupakan professor di Columbia University. Beliau telah
menerbitkan buku tentang antropologi medis, ia terkenal karena pertunangannya
dengan gagasan Marx tentang fetishisme komoditas. Taussig menulis buku yang
berjudul The Devil and Commodity Fetishisme In South America pada tahun
2010.
Book
Review
Buku
berjudul The Devil and Commodity
Fetishism in South America ini ditulis oleh Michael T. Taussig (2010)
membahas tentang keterkaitan asosiatif antara ‘setan’ dengan kapitalisme. Buku
ini secara detail menuliskan teori dan konsep soal kapitalisme. Maka, beberapa
kata kunci seperti komoditas, fetishisme, alienasi, dan lain-lain akan
dipertautkan dengan perihal metafisika. Uniknya, pertautan yang demikian
seringkali memperbincangkan eksistensi kekuasaan pada praktiknya dalam beberapa
studi kasus di Amerika Selatan era penjajahan dan beberapa tahun setelah
penjajahan. Karena saat itu merupakan era ketika Amerika Selatan sedang
beranjak melalui perubahan sosial budayanya, sehingga pertautan dua kubu tersebut
akan memunculkan kontestasi kekuasaannya masing-masing: mana yang akan
‘bertahan hidup’?
Pada bab 1 berjudul “Fetishisme dan
Dekonstruksi Dialektika (Fetishism and
Dialectical Deconstruction)” mencoba menafsirkan gagasan eksotis
orang-orang di Kolombia dan Bolivia berkaitan dengan relasi antara pemaknaan
produksi kapitalisme penjajah dengan kehidupan ekonomi sehari-hari penduduk
lokalnya (p.3). Petani lokal hidup dalam kungkungan produksi kaum penjajah
sebagai kolektif borjuis pemegang modal produksi kapitalisme. Berangkat dari
pemikiran bahwa manusia kapitalis merupakan kolektif yang menganut dimensi
ruang dan temporal sebagai sistem abstrak. Sistem abstrak tersebut mendiktekan
produksi sosial yang mampu memanipulasi segalanya yang ada di sekitarnya
menjadi sarana untuk pemupukan modal. Sistem abstrak tersebut dipertentangkan
melalui karya Evans-Pritchard dalam bukunya yang berjudul The Nuer (1940) yang mengatakan bahwa, sistem pemikiran manusia
‘primitif’ merupakan sistem konkret yang hanya meminimalisir manipulasi
dimensinya. Karena orientasi yang ditunjukkan bukanlah untuk memupuk modal,
melainkan untuk melanggengkan relasi sosial akibat dianggap sebagai perihal
yang terus berjalan secara konstan (immutable
things) (p.4). Simpulannya, bab ini berbicara tentang bagaimana produk dari
masing-masing jenis manusia tersebut menentukan permainan kekuasaan mengenai
siapa yang merasa diciptakan dan siapa yang merasa menciptakan.
Pada bab 2 berjudul “Iblis dan
Komoditas Fetishisme (The Devil and
Commodity Fethisism)”, Taussig menjelaskan tentang studi kasus di Lembah Cauca,
Kolombia dengan subjeknya yaitu Petani Tebu Afro-American. Awalnya, kolektif petani tersebut merupakan
petani pemilik lahan. Namun, cerita romantis tersebut berhenti ketika kaum
kolonialisme datang menjajah dan membawa paham sekaligus praktik kapitalisme.
Konsekuensinya, petani kehilangan hak untuk memilki lahan dan hanya dapat
bekerja sebagai buruh tambang kasar di bawah pihak pendatang tersebut. Petani
sebagai pihak proletar baru, kemudian ‘mengontrak’ iblis sebagai suatu adaptasi
metafisis. Maksudnya, mereka yakin bahwa dengan mengontraknya maka mereka akan
mendapatkan pertolongan untuk dapat bertahan dalam cengkraman kapitalisme.
Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua buruh mengontrak iblis. Ada beberapa
orang yang masih setia menjadi petani tebu –walaupun jatuh miskin– karena tidak
ingin mengkhianati takdir dari Tuhan atau roh kesuburan. Artinya, menjadi
petani tebu berarti mensyukuri karunia dari alam-Nya. Simpulannya, bab ini
merupakan studi kasus yang mempertentangkan antara metafisika (sistem
pengontrakan iblis dan pemberhalaan alam) dengan positivistik (sistem
kapitalisme) dalam paradigma Tylor, Frazer, dan Malinowski: suatu masyarakat
dualistis mempraktikkan sihir sebagai ‘ilmu’ pseudosains yang berfungsi sebagai
aktivasi rasa nyaman dan anti gangguan tertentu baginya.
Pada bab 3 berjudul “Budak Agama dan
Kebangkitan Pertanian Bebas (Slave
Religion and the Rise of the Free Peasantry)” tidak berbicara mengenai
studi kasus. Bab ini membicarakan tentang bagaimana hubungan antara pihak
Ero-Amerika dengan negara-negara koloninya dalam perihal perubahan sosial
budayanya dari lepas landas antara teologis menjadi metafisika. Bahwa,
sesunggunya tidak hanya pihak bangsa terjajah saja yang mengalami kelepas landasan
tersebut, tetapi juga pihak Ero-Amerika itu sendiri. Mereka sesungguhnya ketika
mempraktikkan penyembuhan tidak dapat melepaskan dirinya dari tiga kombinasi,
yakni berdoa kepada Tuhan Kristus (teologis) agar tidak mendapatkan efek
negatif jampi-jampi setan (metafisika) juga tentunya dengan tidak lupa
memberikan penyembuhan secara medis (positivistik). Mereka tetap mengembangkan
ketiga prinsip yang saling berkelindan, berkonflik, dan tumpang tindih tersebut
selama melakukan eksplorasi dan eksploitasi.
Pada bab 4 berjudul “Pemilik dan
Pagar (Owners and Fences)”
sesungguhnya merupakan ekstensi deskripsi dari Bab 2. Ini terjadi setelah
beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1914. Setelah Spanyol berhasil
memupukkan semangat kapitalismenya, Ia akhirnya turut memberikan intervensi
terhadap politik kenegarannya Kolombia. Dampaknya, Lembah Cauca dimanipulasi
menjadi pusat kapitalisme internasional di Kolombia dan semakin menyengsarakan,
baik pihak petani tebu maupun pihak buruh kasar tambang.
Pada bab 5 berjudul “Iblis dan
Kosmogenesis Kapitalisme (The Devil and
the Cosmogenesis of Capitalism)” mendeskripsikan tentang pandangan manusia
terhadap dunia. Namun, sesungguhnya pandangan manusia yang dijelaskan menjadi
kosmologi tidak semudah seperti yang telah dijelaskan seperti yang sebelumnya.
Karena ada dua pandangan, antara dua jenis masyarakat atau manusia yang
dualistis. Sesuai dengan keinginan materi buku ini, maka ada dua pandangan
dunia, yaitu kosmologi lokal dengan kosmologi kapitalistik. Kosmologi lokal
mengikuti kepercayaan penduduk dan petani tebu bahwa sistem ekonomi yang baik
ialah sistem ekonomi yang memelihara kelestarian lingkungan tanpa disertai
iming-iming alat tukar berupa uang. Karena alat tukar tersebut selain merusak
lingkungan, juga memiskinkan petani berikut buruh. Jadi, lebih baik tidak
memiliki uang namun dapat makan sehari-hari, daripada memiliki uang namun
uangnya tidak cukup untuk makan. Sebaliknya, kosmologi kapitalistik mengikuti
kepercayaan Kristen Protestanian yang beranggapan bahwa lingkungan harus
dimanipulasi serasional mungkin agar ia tunduk terhadap manusia. Jadi, manusia
berhak untuk mengontrol lingkungan sekitarnya sepenuhnya agar mampu mendiktekan
keuntungan setinggi-tingginya. Jika memiliki keuntungan yang maksimal, maka manusia
itu dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan ekonominya. Simpulannya, bab ini
menunjukkan bahwa kedua kosmologi tersebut merupakan dua dunia yang tidak
pernah akur. Dualisme tersebut juga menghadirkan adaptasi dan perubahan yang
bervariasi. Maka, ia disebut sebagai suatu kosmogenesis alias perubahan
pandangan manusia terhadap dunia.
Pada bab 6 berjudul Pollution, Contradictory, and Salvation berbicara tentang bagaimana
tiga konsep dasar yang sesungguhnya. Klasik itu relevan untuk masa kini apabila
dibicarakan melalui paradigma Marxis. Konsep yang diantar terlebih dahulu ialah
sorcery yang merupakan aktivitas
sihir yang ditabukan dan dilaknat oleh masyarakat ‘sederhana’. Ia dibenci oleh
masyarakat karena mengundang hal kotor (baca: pollution) dan mencelakakan dirinya (baca: contradictory). Karena hal tersebut eksis, maka perlu ada mekanisme
sosial kultural untuk mengubahnya (baca: salvation).
Celakanya, mekanisme yang awalnya digunakan untuk kebajikan masyarakat dahulu
ternyata bertolak belakang untuk konteks saat ini.
Bertolak belakangnya konteks yang
bekerja saat ini terjadi ketika paradigma Marxis bekerja melihat bagaimana
industrialisasi dan kapitalisme melahirkan polusi, kontradiksi, dan
penyelamatan sesuka dirinya. Kaum proletar kerap dianggap sebagai benda yang kotor.
Maka ia perlu diselamatkan oleh kaum borjuis sebagai ‘subjek penyelamat’
melalui mekanisme penyelamatan kontradiktoris berupa aktivitas kapitalisme.
Studi kasus tersebut dibuktikan melalui kajian petani agrikultur di Lembah
Cauca, Kolombia bagian Barat Daya. Lembah Cauca merupakan kawasan tropis yang
kaya akan sumber daya agrikulturalis dan keadaan sosial ekonomi masyarakatnya
bersifat dualistis. Dualisme ekonomi itu membelah antara ekonomi rumah tangga
melawan agrobisnis perusahaan swasta. Ekonomi rumah tangga dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari penduduk, juga untuk tujuan religio-kultural seperti
untuk pakan sehari-hari dan memberikan sesembahan. Sedangkan agrosnis akan
mengonversi lahan dengan perubahan teknologi yang tentu saja tidak diimingi oleh
urusan metafisika tersebut.
Celakanya, agrobisnis perusahaan swasta
yang memegang kuasa untuk mengambil sebagian besar lahan karena telah
dilindungi secara hukum ‘mengajak’ masyarakat untuk menyelamatkan dirinya dari
kotornya ekonomi rumah tangganya tersebut. Artinya, ada mekanisme
‘penyelamatan’ yang dilakukan oleh perusahaan karena menganggap bahwa ekonomi
rumah tangga petani merupakan suatu hal yang berjiwa kontradiktoris. Ekonomi
rumah tangga petani yang tradisional tersebut dianggap kontraproduktif dan
ketinggalan zaman. Kemudian petani yang beralih profesi menjadi buruh di bawah
perusahaan tersebut yang didominasi oleh keluh kesah “lebih baik tidak memiliki
uang, tetapi gemuk dan bersahabat daripada memiliki uang banyak, tetapi kurus
dan bermusuhan”. Petani memang mendapatkan nilai tukar berupa uang, namun
mereka tidak dapat memanfaatkannya menjadi nilai guna karena memang lebih
memberikan kerugian daripada fungsi sosial budayanya. Simpulannya, bab 6
menceritakan bagaimana seharusnya sebagian petani yang teralienasikan tersebut
diselamatkan karena sejatinya penyelamatan untuk diri mereka merupakan
pertanian tradisionalistik tersebut.
Pada bab 7 berjudul The Baptism of Money and the Secret of Capital masih berbicara
dalam setting yang sama, namun topik yang
berbeda. Topik yang dimunculkan merupakan kasus el bautizo del billete (Taussig, 2010:126) yang menceritakan
bagaimana rusaknya sistem gereja memperdayakan masyarakat sekitar. Ia tidak
hanya memelihara sistem penebusan dosa melalui pembayaran melalui uang, namun
ia juga turut berkontribusi dalam menguasai masyarakat atas dasar urusan
religius.
Cerita dimulai dari sebuah contoh kasus
yang menganalisis tentang seorang wanita yang ingin menebus dosanya di gereja.
Setelah mengakui pada pihak gereja tersebut, pembaptis justru malah memberikan
cek bertuliskan el bautizzo del billete.
Cek tersebut difungsikan sebagai penghapus dosa sekaligus pemberian hak bagi si
pengaku untuk dapat membelanjakannya. Kerap terjadi ketidakstetujuan di dalam
kehidupannya sehari-hari. Misalnya, penjual yang berada di pasar kerap
mempertanyakan apa maksud si pengaku tersebut memberikan cek ini. Setelah
dijelaskan bahwa cek ini merupakan hadiah bertaubat dan dapat digunakan untuk
transaksi jual beli sehari-hari, maka si penjual mengamini dengan raut muka
yang stres.
Taussig (2010:129-133) melihat hal
tersebut seperti biasa dalam pandangan Marxis. Ia melihat bahwa cek tersebut
merupakan sumber konflik dalam masyarakat dan juga menjadi alih fungsi nilai
suatu benda kapital. Ia menjadi konflik karena di dalamnya terjadi kebingungan
antara subjek pemegang kuasa (baca: penerima cek) dengan berbagai subjek lain
yang ‘mengamini’-nya. Sedangkan, ia menjadi ahli fungsi benda karena mengubah
dirinya dari bernilai guna menjadi nilai tukar. Artinya, ia yang pada awalnya
memiliki fungsi untuk menebus dosa, akhirnya malah menjadi fungsi koruptif
untuk melanggengkan kapitalisme yang ada di pihak gereja. Simpulannya, bab 7
yang bercerita tentang gelapnya suasana religi di Lembah Cauca memberi analisis
dalam rangka C-M-C-M: menanam modal, menerima uang, balik modal, dan terus
menerima uang untuk dipupuk. Gereja tersebut dianggap sebagai subjek pemberi
kuasa bagi pendosa dengan ‘menukarkan’ instrumen ceknya itu menjadi pupukan
modal. Esensi penduduk untuk mengakui dosa dan bertaubat pada akhirnya berubah
menjadi kontestasi kekuasaan.
Pada bab 8 berjudul Devils
of Mine menceritakan mite tentang Tio
atau Titio (Taussig, 2010: 143).
Makhluk tersebut diyakini oleh Etnis Inca sekitar Kota Oruro, Bolivia, sebagai
titisan pemelihara sekaligus perusak sumber daya penghidupan masyarakat,
khususnya merujuk kepada lahan pertambangan. Makhluk yang biasa juga disebut
sebagai Sang Paman digambarkan secara artefaktif melalui bentuk patung
berukuran manusia normal berbahan liat, bermuka menyeramkan, memiliki genital
pria yang panjang dan besar, serta terkadang memakai topi koboi. Pada tahun
1952-an, ketika muncul reformasi negara dengan privatisasi perusahaan jajahan
Spanyol, penduduk setempat seringkali mengadakan ritual yang menyembah Sang
Paman untuk mencari perlindungan. Karena mereka yakin bahwa “Sang Paman:
merupakan inkarnasi kotradiktroris –ketika ia jahat-, ia merupakan figur yang
menyebabkan munculnya pemerintahan militan berjiwa diktatorial dan seringkali
mengganggu keamanan penduduk. Apalagi, privatisasi tersebut seringkali merebut
hak penduduk dari kemerdekaannya mengolah lahan tambang. Saat ini, Sang Paman
dianggap telah berubah: ia yang awalnya bengis dan gemar merokok dan mabuk
akhirnya menjadi figur yang lembut dan gemar minum cola sebagai pengganti rokok dan alkohol. Konteks tersebut muncul
ketika keadaan negara sudah stabil dan privatisasi sudah selesai dan tidak
mengganggu keamanan etnis setempat.
Ritual dilakukan dengan memberikan
sesembahan seperti darah unta, minum cola, dan pakaian. Ritual ini juga
mengikutsertakan inkarnasi seorang wanita bernama Pachamama yang berperan
sebagai ‘persembahan’. Pachamama merupakan antropomorfisme mitologis bumi dan
kehidupannya. Sedangkan secara kontradiktif, Sang Paman tentu saja merupakan
antropomorfisme mitologis lahan tambang dan pertambangannya yang dianggap terus
mengeruk sumber daya hingga merusak Pachamama. Maka, etnis setempat memberikan
sesembahan sambil berteriak secara simbolik, “jangan meminum darah kami!”.
Mereka mengatakan dengan keras bahwa sesembahan ini merupakan hadiah dari
Pachamama untuk mengubah sifat bengisnya Sang Paman.
Simpulannya, bab 8 ini memberikan
analisis folklore tentang mitologi (Danandjaja, 2002:55) yang kemudian dikaitkan
dalam paradigma Marxis. Bab ini mendeskripsikan relevansi antara folklor yang
menceritakan Sang Paman dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Hasil analisis mendeskripsikan bahwa folklore tersebut eksis untuk menjadi suatu
alat proyeksi masyarakat sekitar, agar terus memelihara alamnya. Hasil tambang
yang digunakan seharusnya digunakan untuk kepentingan kerakyatan etnis Inca.
Karakteristik kerja penambangan tersebut ditengarai oleh pemeliharaan alam yang
tidak eksploitatif. Namun, ketika kerja penambangan itu berjiwa eksploitatif, terutama
ketika lahan dijajah pada masa penjajahan Spanyol dan masa diktatorial militan
Bolivia masa awal kemerdekaan, maka ada indikasi bahwa Panchamama tidak
berhasil dipertahankan akibat kemurkaan Sang Paman. Ia menjadi figur pemelihara
kapitalisme yang bengis, tamak, dan menjajah. Personifikasi yang demikian tidak
hanya mengacu kepada mantan negara kolonial berikut diktator Bolivia. Namun, ia
juga menjadi pengingat bagi siapapun yang berupaya mengambil lahan pertambangan
secara tamak dan bukan ditujukan untuk keuntungan bersama.
Pada bab 9 berjudul Worship of Nature sesungguhnya bercerita secara singkat tentang
struktur sosial yang dialami oleh setting yang sama pada bab sebelumnya. Etnis
Kaata, yang menjadi tetangga sebelahnya etnis Inca, meyakini bahwa alam
menyediakan mereka akan kategorisasi dualistik. Namun, kategori ini dapat
dijelaskan lebih melalui paradigma Dumontian, mengacu secara spesifik kepada pluralism and monism alias part and whole (Taussig, 2010:163).
Maka, alam merupakan gambaran makrokosmik yang berjiwa keseluruhan dan
kontradiktif dengan keadaan struktur sosial manusia yang merupakan gambaran
mikrokosmik berjiwa sebagian (Dumont in Iteanu, 2013: 156).
Alam bawah sadar etnis Kaata ini selalu
menyatakan demikian. Misalnya, hajat pernikahan diyakini sebagai alat untuk
menyeimbangkan antara sifat sebagian wanita terhadap dominasi pria. Namun,
ketika di masa depan wanita telah menjadi calon ibu yang melahirkan, maka ia
akan mendiktekan sifat dominasinya terhadap pria. Hal tersebut juga turut
berlaku dalam konteks dualisme antara wilayah administratif berjiwa makroskopik
dengan wilayah organisasi pedesaan berjiwa mikroskopik. Perlu diketahui bahwa
bagaimana Etnis Kaata mementingkan bagian keseluruhan dan sebagian, tentu saja
bergantung dari keinginannya sendiri. Simpulannya, ini mengindikasikan adanya
suatu permainan tarik ulur antara yang berkuasa dengan yang dikuasai dalam cara
menata pandang hidup etnis Kaata. Termasuk pula memberikan penilaian kepada
hakikat alam sekitarnya: mereka boleh mendominasi alam dengan memanfaatkan
sumber daya untuk keuntungan bersama. Namun, apabila mereka mendominasi alam
dengan merusaknya dan dengan tujuan untuk kepentingan pribadi serta golongan
belaka, maka bersiaplah bahwa alam akan mendominasi diri mereka dengan
mendatangkan bencana.
Pada bab 10 berjudul Problem
of Evils merupakan cerita unik yang menghadirkan dualisme metafisik-religio
antara kepercayaan Katolik Kolonial Spanyol ketika masa penjajahan Bolivia
berlangsung melawan kepercayaan masyarakat sekitar (Taussig, 2010: 169). Karena
mitologi Katolik Spanyol merupakan cerita yang menuturkan bagaimana kaum baik,
merupakan kaum yang taat beribadah melawan kaum jahat yang gemar menerapkan
ilmu sihirnya, maka pihak ini merupakan pihak yang menyimpan dendam
berkepanjangan terhadap hal-hal yang berbau metafisikal. Hal tersebut dicatat
melalui sejarah tahun 1570-an yang memberikan saksi biksu terhadap sulitnya
Misionaris Spanyol terhadap pembasmian ritus-ritus yang dilakukan oleh “etnis
Indian Manichanea” setempat.
Berparadigma Robbinsian, studi kasus ini
menyatakan bahwa di masa dahulu itu terdapat sejarah kelam konteks tersebut
(Robbins, 2004). Adaptasi yang dilakukan oleh etnis setempat dapat dicanangkan
melalui sebuah paradigma kecil bernuansa Dumontian. Namun, apabila Dumontian
tadi menjelaskan tentang adanya nilai sebagian dan keseluruhan yang terpisah
dan dipraktikkan secara terpisah pula atas dasar kepentingan kebutuhan
tertentu, maka paradigma kecil Robbinsian ini tidak demikian. Data kajian
menyebutkan bahwa adanya perhelatan antara dualisme diaktualisasikan melalui berbagai
mitologi. Salah satu cerita besar tersebut ada di mite Bapak Jesuit Arriaga
yang mengatakan bahwa praktik ritus etnis Manichanea dilakukan oleh kaum jahat
yang terdiri dari kepala suku, penyihir, dan kolektif pendukungnya itu sendiri.
Setelah Spanyol berhasil menguasai
Manichanea, maka etnis setempat cenderung menyerah dan mengikuti ajaran
misionaris lokal. Awalnya, aktivitas misionaris tersebut dilihat sebagai
kesuksesan yang berarti bagi pihak kolonial. Namun, pada akhirnya misionaris
harus lelah ketika mengetahui bahwa sesungguhnya tidak semua kolektif yang
dikonversi beriman sepenuhnya terhadap agama. Sesuai dengan kerangka bekerja
Robbinsian, ternyata muncul berbagai varian nilai yang ada di dalam
realitasnya. Ada beberapa orang yang masih mempercayai perdukunan dan tidak
percaya kepada ajaran Katolik sama sekali. Ada beberapa orang yang setengah
mempercayai perdukunan dan setengah mempercayai ajaran Katolik. Akhirnya, ada
beberapa orang yang beriman sepenuhnya kepada ajaran Katolik. Simpulannya, yang
menjadi masalah ialah bukan merujuk kepada masalah penyembahan iblis, melainkan
pendefinisian iblis atau hal-hal yang berbau kejahatan itu sendiri. Karena
varian nilai tersebut justru menyimpulkan kejahatan yang lain dan lebih
signifikan, menjadi sebab alienasi antara relasi dan makna. Misalnya, alienasi
antara manusia Spanyol dengan manusia Manichanea, antara sesama Manichanea yang
memiliki perbedaan nilai, antara manusia Spanyol dengan alam jajahannya, hingga
antara manusia Manichanea dengan alamnya sendiri.
Pada bab 11 berjudul The Iconography
of Nature and Conquest menjelaskan bahwa Iblis merupakan simbol
keterasingan yang dialami petani ketika dirinya dipaksa oleh sistem kapitalisme
menjadi proletar baru. Taussig (2010, p. 182) menjawabnya dengan menggali
sejarah sosial Iblis sejak penaklukan Spanyol dalam dua bidang pembangunan
kapitalis yang intensif, yaitu dalam perkebunan gula di Kolombia Barat dengan
tambang timah di Bolivia. Iblis melambangkan hal penting dari politik dan
ekonomi sejarah. Iblis diyakini oleh masyarakat sebagai simbol dari
imperialisme Eropa. Mitologi di Amerika Barat dan Selatan mengatakan bahwa
manusia memisahkan diri dari masyarakat dan melakukan perjanjian dengan Iblis.
Ia melakukannya dengan menukar jiwanya dengan Iblis untuk memupuk kapital.
Namun sesungguhnya, ia ditujukan sebagai simbol keputusasaan, kehancuran, dan
kematian. Ikonografi berkaitan derat dengan keyakinan penduduk lokal dengan
hubungannya terhadap geografi. Namun, perlu diketahui bahwa geografi yang dibangun
selalu mengalami perubahan akibat kapitalisme yang dipraktikkan dalam
kesehariannya tersebut. Ironisnya, keadaan geografi yang telah mengalami
perubahan tersebut malah menyiratkan simbolisme lingkungan fisik yang tidak
bersahabat dengan kaum proletar. Artinya, ikonografi di kehidupan
sehari-harinya proletar menjadi musuh baru yang perlu ditentang olehnya. Ini
memunculkan berbagai dampak seperti kecelakaan sosial akibat semakin maraknya
praktik jampi-jampi, hingga kontrak dengan Iblis.
Bab ini juga memberikan banyak studi
kasus tentang cerita ritual dan hubungan antara manusia dengan iblis. Setiap
tempat, baik gunung, sungai, danau, tambang, dan beberapa tempat lainnya
dipercaya memiliki penghuni. Maka jika hendak mengambil benda dari tempat
tersebut, seharusnya berlaku sopan, memperlakukan tempat dan hasil diperolehnya
dengan baik. Jika mereka tidak hormat, maka penghuni akan marah dan tidak akan
memberikan kekayaannya lagi pada manusia. Riual dan persembahan harus dilakukan
kerena mereka percaya bahwa Dewa harus diberi makan. Jika memberi makan Dewa,
sehingga akan mencegah kejahatan. Ambiguisitas antara pertukaran dan penaklukan
ini dijelaskan oleh ritual. Hal ini berfungsi untuk mengikat hati penambang,
akan ketergantungannya dengan produksi dan kehancuran. Singkatnya, suku Aymara
reka menukarkan jiwanya untuk uang, keselamatan, dan kekuasaan.
Pada bab 12 berjudul The
Transformation of Mining and Mining Mythology menjelaskan tentang
pemberontakan mesianis oleh etnis Inca terhadap Spanyol akibat terbunuhnya Raja
Inca. Mesianis dilakukan dengan menghidupkan mitologi masing-masing komunitas
yang hidup di dalam Inca. Misalnya, Komunitas El Roal memiliki cerita-cerita
yang berkaitan dengan kekuasaan Dewa Matahari sebagai pemelihara alamnya. El
Roal meyakini bahwa penguasa alam di sana bukan merupakan Spanyol, melainkan
Dewa Matahari. Beberapa contoh lainnya yang begitu mirip terjadi dengan
beberapa komunitas lain seperti Puquio dan Quinua. Kedua komunitas itu meyakini
bahwa Dewa Gunung merupakan dewa yang juga turut memelihara lingkungan alamnya.
Maka, berbagai folkor tersebut menjadi motivasi mereka untuk bergerak
memberontak terus melawan Spanyol. Misalnya, dengan menyelipkan sistem upeti
dalam arus pertukaran uang dan jasa tentu melalui iming-iming folklor tersebut:
upeti yang didapatkan digunakan untuk membeli sesajen bagi Para Dewa agar
Mereka mau menolong Proletar Inca ini.
John Leddy mengatakan bahwa pertambangan
adalah kegiatan ekonomi kecil karena suku Inca mengahrgai emas dan perak hanya
sebagai ornamen. Logam mulia yang ditambang sebelum penaklukan, bukan dipandang
sebagai penghormatan yang dipaksa, melainkan sebagai hadiah kepada Illahi. Emas
dan perak yang dimiliki oleh Raja Inca dianggap sebagai benda yang tidak
penting, namun hanya dihargai sebagai properti. Banyaknya emas dan perak yang
dimiliki Raja Inca karena kecentikannya menghiasi istana. Raja pun terhibur
dengan perkataan, dipertambangan tidak ada perbudakan, melainkan kesenangan
hidup. Dijelaskan pula tentang berbagai macam mitologi di pertambangan tentang
asal-usul mineral dan benda lainnya. Mereka percaya bahwa jika mengambil barang
berlebihan, tidak baik. Maka mereka akan melemparkannya ke sungai atau
mengembalikankembali. Sama seprti Tio yang menguasai tambang. Hauhari juga
dipercaya adalah sosok yang membujuk manusia untuk meninggalkan pertanian dan
beralih ke pertambangan.
Pada
bab 13 Pesant Rites of Production menceritakan tentang sistem
kapitalisme yang semakin menunjukkan kejayaannya (masih) di sekitaran Inca.
Opresi yang dilakukan oleh Inca seperti yang dijelaskan oleh bab sebelumnya,
tidak sepenuhnya memberikan hasil yang signifikan. Spanyol tetap menang dan
konsekuensinya terus memupuk sistem kapitalismenya. Hal ini berlanjut hingga
pada titik di mana sistem kapitalisme telah mendiktekan sistem perpajakan
setiap rumah tangga yang benar-benar mengubah tatanan komunalisme di setiap
unitnya. Dampaknya, setiap unit rumah tangga perlu membayar upeti secara
periodik melalui kepala desanya. Kepala desa yang terpecah menjadi dua, yaitu
ada yang pro dengan upeti dan ada yang kontra dengan upeti, menghadirkan
suasana sosial yang berujung kepada kontravensi sehari-hari. Kepala desa yang
pro dengan upeti cenderung akan memupuk hasil pajaknya untuk membayar
permintaan Spanyol juga tentunya memupuk kekayaan bagi dirinya. Sedangkan,
kepada desa yang kontra dengan upeti cenderung akan mengajak masyarakat sekitar
untuk mempraktikkan Ritual Challa,
yaitu sebuah ritual yang memberikan sesajen sesuai dengan mitologi yang telah
diungkapkan sebelumnya.
Bab ini secara detail menceritakan
tentang bagaimana ritual dilaksanakan. Challa nampak seperti ritual yang
penting. Mereka melakukan ritual ini pada saat sebelum membangun rumah,
berburu, memancing, berburu, perjalanan, dan melakukan pembelian. Proses ritual
dilakukan secara bertahap dan dilakukan bersama-sama dengan dipimpin oleh
dukun. Mereka percaya bahwa jika darah sudah tercampur dengan tanah, maka
persembahan dan ritual yang dilakukan oleh mereka berhasil dan diterima oleh
Dewa. Steven Webster mengatakan bahwa ritual yang terjadi memiliki struktur
yang terdiri dari manusia, llama, roh gunung, dan bumi. Hal tersebut dilakukan
untuk membangun kembali hubungan antara komponen dan jajaran kekuatan luar
biasa yang mempengaruhi kesejahteraan. Laporan Bastien tentang ritual dipahami
sebagai manusia yang hidup, memiliki tubuh yang isofomik dengan tubuh manusia
dan dengan pola sosial yang dibentuk oleh pengelompokan penduduk di gunung.
Pada bab 14 berjudul Mining Magic:
The Mediaton of Commodity Fetishism mendeskripsikan tentang kontras yang
terjadi antara pihak petani dengan pihak penambang. Kontras tersebut perlu
dicatat setelah dualisme antara sistem lokal dengan sistem kapitalisme dan
penjajahan terus berlangsung, termasuk dalam rangka neo-kolonialisme. Petani
disimpulkan memiliki alat produksi, mengontrol kerja organisasi, hingga dapat
memiliki kekuasaan sepenuhnya secara independen untuk menggabungkan produksi sebagai
hasil jual kapital yang subsistem. Sedangkan penambang disimpulkan sebagai
figur yang malangnya tidak memiliki alat produksi, rentang dengan kontravensi
hingga konflik dan kekerasan antara dirinya dengan pihak di atasnya seperti
manajer dan dewan direksi, hingga konsekuensinya memiliki ketergantungan
terhadap cengkraman sistem kapitalisme. Komoditas, Iblis, dan sistem penjajahan
menghadirkan transformasi sosial budaya antara petani dengan penambang yang
menghadirkan kegamangan hingga kegalauan seperti kontrak antara Iblis dengan
penambang, kontravensi antara petani dengan penambang, opresi antara petani
dengan kepala desa, hingga berbagai kecelakaan sosial seperti pemberontakan,
perang kecil, dan persaingan untuk memupuk modal kekayaan.
Adanya perbedaan masalah yang dimiliki
oleh petani dan penambang, mengakiatkan perbedaan makna ritual dan magis yang
mereka lalukan terhadap roh. Dijelaskan pula, karena dalam bidang pertanian,
memiliki alat produksi, sehingga kemalangan dan kendala yang terjadi di
kalangan petani nampak lebih banyak. Maka dari itu ritual yang dilakukan oleh
kaum petani bertahap sesuai dengan kendala yang sedang mereka hadapi kala itu.
Sedangkan di kalangan pertambangan, untuk keselamatan mereka, ritual dilakukan
tidak memiliki tingkatan. Penambang selalu menggambarkan bahwa jika mereka
sedang memasuki tambang, rasanya seprti di dalam kuburan dan ketika keluar,
udara segar lahir kembali. Reaksi terhadap perkembangan kapitalis, ikonografi,
dan ritual menggambarkan signifikasi manusia dari pertukaran pasar sebagai
kejahatan distorsi pertukaran hadiah, bukan sebagai hukum alam.
Verdict: Hubungan antara Buku dengan
Konsep Kekuasaan
Kekuasaan dalam kerangka
Taussig (2010:120) merupakan upaya kreatif seseorang atau sekelompok orang
untuk memberikan pengaruh kepada seseorang atau sekelompok orang lainnya.
Memberikan pengaruh ini bukan berarti hanya dalam struktur politik atau hukum
kenegaraan saja, seperti pada pihak kolonial terhadap daerah-daerah koloninya
yang dipengaruhi melalui kitab hukum perundang-undangannya. Kekuasaan juga
tidak hanya diartikan sebagai pengaruh yang awet selama 24 jam dan bergerak
secara konstan. Namun, karena merupakan upaya kreatif, maka kekuasaan juga
merupakan upaya untuk memberikan saling mempengaruhi dan pada praktiknya
bersifat dinamis serta sementara. Ia selalu mengalami permainan yang
terus-menerus antara satu subjek dengan berbagai subjek pendukung lainnya.
Sifat dinamisnya itu membuatnya dapat dimiliki oleh tiap subjek dan menjadi
alat bagi masing-masing subjek tersebut untuk mencanangkan kebenarannya
sendiri-sendiri.
Salah satu relasi dan makna yang
terjadi ialah antara iblis dengan komoditas. Pandangan subjek ‘proletar’ akan
mengatakan bahwa iblis merupakan personifikasi dari pihak ‘borjuis’ alias
koloni. Mereka dianggap sebagai subjek yang jahat karena mengacaukan
keteraturan kosmiknya. Karena aktivitas kapitalisme menyebabkan pengadaan
komoditas, seringkali menyebabkan keterasingan bagi proletar seperti alienasi.
Perlu diketahui bahwa komoditas merupakan barang atau jasa produksi yang siap
diperjualbelikan untuk melanggengkan kapitalisme. Sedangkan pihak borjuis akan
menganggap aktivitas ritus proletar tersebut sebagai hal yang kuno, bodoh, dan
aneh. Mereka mengklaim bahwa aktivitas tersebut tidak selaras dengan produksi
komoditas yang selaras dengan nilai religi Protestanisme. Jadi, dengan mengadakan
aktivitas ritus tersebut, tidak hanya melanggar ketentuan Tuhan Kristus, tetapi
mereka juga mengadakan suatu kontraproduktivisme yang hanya akan mendiktekan
kemiskinan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Dampaknya, kekuasaan menjadi
suatu permainan sehari-hari mengenai klaim pembenaran diri mereka sendiri: siapa
subjek yang paling benar? Biarkan itu menjadi misteri.
Keterkaitan asosiatif antara
kapitalisme dengan fetishisme. Hal ini sesungguhnya sesuai dengan rangka
berpikir Marxisme. Kapitalisme merupakan aktivitas pemupukan modal tiada henti
atas dasar alasan tertentu. Alasan tersebut merupakan fetishisme itu sendiri,
yaitu sadar atau tidaknya subjek-subjek kapitalisme yang menjalin hubungan
interdependensif antara dirinya dengan komoditasnya. Atau, ada unsur religi
Protestanisme yang masuk ke dalam fetishisme. Maksudnya adalah dengan subjek yang
semakin rajin memproduksi komoditasnya, maka dirinya semakin dekat dengan
Tuhan. Artinya, Menuhankan Tuhan Kristus sama saja dengan menuhankan atau
memberhalakan komoditasnya, sesuai dengan prinsipnya fetishisme itu sendiri.
Kapitalisme berlandaskan fetishisme menjadi dasar kekuasaan ala pihak borjuis. Hal ini berarti, ia
menjadi dasar bagi subjek-subjek yang terpengaruh darinya untuk meyakinkan
bahwa hidup akan lebih baik apabila mereka mengikuti dasar prinsip yang demikian.
Hubungan antara mitologi dengan
opresi. Hal inilah yang menjadi bahasan paling samar: artinya, memiliki bau
metafisika terkuat di buku ini. Mitologi merupakan penyelidikan dalam bidang
ilmu sosial humaniora tentang salah satu jenis folklor, yaitu mite. Mite adalah
kepercayaan rakyat yang diyakini begitu saja serta bersifat keduniawian alias
profan. Sedangkan opresi merupakan ‘resistensi’ yang menurut Taussig (2010:158)
dijelaskan sebagai upaya kreatif pula untuk menantang kekuasaan tersebut.
Kumpulan mite yang dimiliki oleh kaum proletar kerap menjadi alat pamungkas
bagi mereka untuk menantang kekuasaan yang dimiliki oleh kaum brojuis.
Simpulannya, mitologi dan opresi menjadi kekuasaan yang dimiliki oleh kaum
proletar.
Daftar
Referensi
Danandjaja,
James. 2002 Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Iteanu, Andrea. 2013 ‘The
Two Conceptions of Value’, Journal of
Ethnographic Theory 3(1):153.
Robbins,
Joel. 2004 Becoming Sinners: Christianity and Moral Tormen in a Papua Guinea
Society. Berkeley, Los Angeles, and London: University of California Press.
Taussig,
Michael T. 2010 The Devils and Commodity Fetishism in South
America [13th Anniversary Edition]. Chapel Hill: University of
California Press.