Muhammad Sembara Yulianto (Part 2)
Halo pembacaku, disini saya akan melanjutkan cerita yang sebelumnya pernah saya tulis dalam blog ini dengan judul yang sama
Untuk pembacaku
yang belum membaca kisahnya dapat klik di laman ini ya...
https://windisusetyothamrin.blogspot.com/2022/10/muhammad-sembara-yulianto-part-1.html
ini adalah kisah lanjutan dari ceritaku yang sebelumnya...
namun, pada malam hari sebelumya.....
Tepatnya
setelah kedatangan teteh dan juga aku sudah tidak mengeluarkan darah lagi.
Pada malam itu,
entah jam berapa... seingatku setelah aku disuntik pada malam harinya, sekitar
jam 9 malam. Beberapa saat setelah itu, aku merasa ada dokter yang mengumumkan
kabar duka atas pasiennya. Lalu disusul dengan doa yang dipimpin oleh
seseorang, entah kyai atau ustad, aku kurang paham. Namun suara itu hanya
terdengar beberapa detik saja di telingaku dan kurasa kamar itu ada di kamar
depanku.
Namun, saat aku
ke toilet, aku sering melirik kamar tersebut. Melihat box bayi yang ada
disana.. sampai hatiku berbicara ‘aku akan berada disini, entah kapan’
Tetapi, ketika
aku melihat ke ruangan tersebut, aku tidak melihat ada pasien atau seseorangpun
yang ada disana. Hanya saja, pada malam itu aku merasa jelas sekali mendengar
suara tersebut.
Momen tersebut
mengingatkanku kala aku didorong dengan kursi roda menuju kamar untuk rawat
inap. Dalam perjalanan tersebut, di lorong rumah sakit. Mataku melihat
sekeliling, namun ada satu momen dimana aku melihat ada semacam keranda yang
mungil. Aku tidak tahu pasti benda apa itu. Aku hanya melihat dan otakku
berkata kalau itu adalah keranda bayi.
Pikiran negatif
pun sudah mulai ada pada saat itu. Ingin sekali kubuang jauh-jauh, namun
pikiran yang hanya satu detik itu pun sudah berlalu dan aku tidak
membicarakannya dengan siapapun. Hanya bisa diam dan mengikuti alur yang
terjadi.
USG Kembali untuk Cek
Perkembangan Janin
Perjalananku
menuju ruangan untuk USG tergolong mudah dan tidak melelahkan karena ada
fasilitas dari rumah sakit untuk mengantarku kesana. Ditemani oleh suster yang
jaga pada saat itu. Ingin sekali rasanya aku menceritakan kejadian yang barusan
aku tulis diatas, pada suster yang menemaniku kala itu. Tentunya aku sangat
ingin menanyakan, adakah orang yang meninggal tadi malam atau subuh? Atau ingin
kutanyakan adakah orang yang dikamar depanku?
Ah....
Kala itu aku
terlalu senang dan ingin cepat-cepat mendapatkan kabar baik mengenai bayiku.
Kau masih ingat
bukan? Dokter berkata bahwa air ketubannya kurang?
Disini aku
minum banyak air bahkan dengan tambahan infus. Makanan aku santap dengan lahap
dan enak karena aku merasa makanannya enak sekali. Selalu kuhabiskan, kecuali
nasi yang kala itu aku merasa jenuh memakannya.
Baiklah.... USG
pun dimulai.
Namun ekspresi
sang dokter kala itu, hanya menghembuskan nafas. Perasaanku sudah tidak enak,
melihat dan mendengar ekspresinya itu. Meski belum ada satu kata yang keluar
dari mulutnya.
Aku tidak ingat
betul apa saja yang dikatakan oleh dokter. Tentunya yang masih teringat dalam
benakku adalah
1. Ketubannya sangat kurang. Padahal kemarin
kemarin aku sudah minum air banyak dan juga tambahan infus.
2. Bayinya tidak berkembang. Karena air
ketuban kurang, membuat bayi susah bergerak. Ibarat ikan di aquarium yang
kekurangan air.
3. Simalakama karena masih ada detak
jantungnya. Jika diteruskan bayi tidak berkembang dan akan ada kemungkinan
keguguran, jika dihentikan menyalahi kode etik dokter karena masih ada
kehidupan
Saya sudah minum air banyak dan
di infus. Kenapa dikatakan masih kurang Dok? Memang air ketuban berasal
darimana sih?
Pada pertanyaan
ini, dokter menjawab. 1) Berasal dari makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh
ibu. 2) dari plasenta. Jika bayi tidak sehat, ari-arinya tidak sehat, maka
proses untuk mengeluarkan air ketuban akan bermasalah. Bisa jadi air ketuban
dapat diproduksi, tapi entah kemana. Ia akan hilang dan terbuang.
Aku kemudian
mencari di inetrnet, tentang kenapa air ketuban bisa menjadi sedikit.
Jawabannya adalah :
1.
Adanya problem kesehatan, misalnya tekanan darah tinggi,
diabetes, dan dehidrasi yang mempengaruhi air dan kantong ketuban.
2. Plasenta bermasalah. Plasenta adalah
organ yang tumbuh dalam rahim selama kehamilan yang berfungsi menyalurkan
nutrien dan oksigen ke janin lewat tali pusar.
3. Cacat lahir yang menyebabkan saluran
urine tak bisa berkembang sehingga janin sedikit memproduksi urine.
4.
Hari persalinan kian dekat atau melewati hari perkiraan lahir.
Air ketuban kian berkurang pada masa ini karena fungsi plasenta menurun selagi
tubuh ibu bersiap untuk proses melahirkan.
Baiklah...
penjelasan dokter dan juga yang kutemukan di internet dapat menjawab
pertanyaannku. Hal yang dapat kutangkap hanya satu hal, bayiku tidak sehat.
Apa faktor yang menyebabkan
bayi/janin tidak sehat?
1. Faktor kesehatan orang tuanya (suami dan
istri, apakah memiliki riwayat penyakit atau tidak. Seperti jantung, kencing
manis, dan sebagainya)
2. Faktor makanan yang dikonsumsi
3. Faktor dari bayi itu sendiri, dan faktor
ini yang belum diketahui penyebabnya. Sejauh ini, kita hanya tahu perihal bayi
yang diberikan sudah tidak sehat dari sananya. Jika kulihat ini seperti given
ya.. pemberian Tuhan
Diskusi dengan Suami masalah
hasil yang dipaparkan oleh dokter
Setelelah USG
kami berdiskusi, mengenai nasib si anak ini seperti apa selanjutnya. Bapaknya
tentu ingin yang terbaik untuk si bayi dan istrinya. Ia tidak mau jikalau
istrinya bolak-balik ke rumah sakit hanya untuk berobat masalah pendarahan
terus-menerus. Ia pun tidak mau jika nanti-nanti akan menyebabkan si anak
menjadi lebih kasihan lagi. Entah apapun itu, jika bisa dicegah sekarang..
kenapa tidak?
Tentu saja
resikoku kehilangan anak semakin tinggi peluangnya.
Ia menambahkan
bahwa dokter mengatakan untuk observasi lagi seminggu. Mudah-mudahan ada
mukjizat, bayinya menjadi sehat dan tidak perlu ada tindakan lebih.
Disini, tentu
saja air mata sudah tidak dapat terbendung lagi. Ibarat sudah tahu akan
mendapat hadiah, tetapi hadiahnya diambil kembali oleh yang memberikannya. Rasa
kehilangan tentu saja ada, namun disini suami masih memikirkan keselamatan
untuk keduanya. Simalakama memang, namun pilihan harus diputuskan.
Setelah
mengurus ini itu, akhirnya aku diperbolehkan pulang untuk istirahat total
kembali di rumah. Benar-benar semua aktivitas harus diatas kasur.
Di Kost
Di kost,
tentunya aku masih memikirkan baik buruknya masalah ini. Setibanya di kost,
entah mengapa aku menajdi tidak nafsu makan sama sekali. Makan hanya seadanya
saja, kembali menjadi pilih-pilih. Masih teringat akan kata-kata dokter yang
mengatakan jika bayiku yang usianya sudah 16 minggu, tapi ketika di usg nampak
seperti usia 14 minggu. Menjadi kecil dan tidak berkembang. Aku hanya bisa
berpasarah pada Tuhan, apapun yang terjadi harus siap.
Disini suami
pun menegaskan bahwa, pilihan yang terbesar adalah dikuret. Namun jika sang
dokter tidak mau, sementara bayinya tidak bisa berkembang. Bagaimana? Apakah
harus menunggu bayinya mati? Tentu saja ini sangat berat bagiku. Kata-kata itu
mengingatkanku akan pasien yang sebelumnya pernah bertemu dengan kami. Bayinya
meninggal pada usia kandungan 6 bulan. Tidak terbayang bagaimana perasaan
sedih sang ibu.
Cari Informasi tentang Kuret
Setelah lama
terdiam dan menangis tanpa air mata. Suamiku teringat akan kawannya yang pernah
keguguran dan menanyakan prosesnya, ia pun menceritakannya padaku. Aku pun
mencari tahu, seperti apa itu kuret dan bagaimana prosesnya dari salah satu tutorku
yang pernah bercerita kepadaku. Aku mencari tahu banyak hal, namun ia
menguatkanku agar tidak berfikir aneh-anah dan harus positif thinking. Ia
sangat yakin bayiku sehat. Aku ingin berfikir demikian, namun data di lapangan
mengatakan hal yang lain. Setidaknya dari tutorku ini, aku siap jika suatu saat
akan dikuret. Terima kasih ya Miss Heni atas infonya.
Semakin Memburuk
Malam hari,
tentunya aku harus minum obat. Sebelumnya tentu harus makan terlebih dahulu.
Suami membelikan sate kesukaanku. Namun pada saat itu, sate yang aku makan,
nampak rasanya berbeda. Seperti daging yang masih mentah. Namun tetap saja aku
harus menghabiskan satenya dengan cara apapun. Beberapa menit setelah habis,
aku muntah. Semua sate yang baru saja aku makan keluar semuanya. Apakah Sembaraku
sudah tidak mau makan sate? Apa Sembaraku kembali tidak menyukai bumbu kacang?
Malam harinya,
aku tidur dan nampak sama sekali aku tidak tenang. Perutku rasanya sakit
sekali. Seperti kram, seperti ditarik-tarik untuk rebutan. Seperti entah
bagaimana lagi aku menggambarkannya. Aku hanya ingat selalu mengaduh di tengah
tidurku. Aku merasakan, suami berkali-kali menengok ke arahku, dan ia memegang
kepalaku. Ia merasakan ada hangat dan panas di tubuhku. Aku berkali-kali
mengaduh, suami hanya berfikir aku ngelindur.
Aku bingung
dengan posisi tidurku, harus menghadap kemana?
Aku pun tidak
tahu apa yang kuinginkan.
Berbicara dengan Sembara
Aku tidak bisa
tidur, hanya bisa mengelus-elus perutku sambil seolah berbicara pada anak sulungku.
Bapaknya tentu tidak mau anaknya sakit dan bertambah parah sakitnya. Ia pun
tidak mau jika istrinya terus-terusan kesakitan. “sudah dek.. sakitnya sudah
ya..” kata suami.
Dokter pun
simalakama akan tindakan yang akan dia lakukan selanjutnya.
Sementara aku,
sudah pasrah. Aku mengatakan pada anakku, “Nak, orang tuamu sudah ikhlas
tentang apapun yang terjadi. Dokter sudah berusaha mempertahankan kamu dan
memberikan berbagai macam pengobatan. Bapakmu mencarikan makanan yang kau suka,
dimanapun ia mencari. Ibumu menuruti perintah dokter dengan istirahat, makan,
dan minum obat. Semanya demi kesembuhan Semabaraku. Mungkin kau sudah dengar
apa perkataan orang tuamu dan juga orang-orang sekitar yang membicarakan kamu.
Kini, saatnya untuk anakku memutuskan. Hendak ikut dengan nenekmu atau kakekmu.
Jika anakku ingin ikut nenek, tolong sembuhlah nak.. tolong anakku berusaha
sembuh ya nak. Tapi jika anakku ingin ikut kakek di surga, anakku bicaralah
pada Tuhan agar diberikan cara yang terbaik. Pada saat ini, sesungguhnya hanya
anakku yang bisa berbicara dan paling dekat dengan Tuhan. Apapun keputusan
anakku, orang tuamu sudah ikhlas sepenuhnya nak.”
Aku kembali
teringat dengan gambar bayi setelah dikuret. Kaki, tangan, badan dan anggota
tubuh lainnya pisah, terpotong, dan tidak menjadi satu. “Anakku, apapun
pilihanmu. Aku, bundamu ini berharap kau sehat lahir batin. Satu hal yang aku
tidak ingin lihat. Bundamu tidak mau melihatmu terpotong-potong seperti pada gambar
itu. Kami ingin melihatmu utuh. Hidup atau mati pilihanmu. Kau tetap anakku.
Bagaimanapun bentuk dan rupamu, kau anakku. Anak sulungku.”
Makanan terakhir Sembara
Senin pagi,
darah kembali keluar, namun hanya sedikit. Aku masih berbaring di tempat tidur.
Rasanya sangat dingin sekali kala itu. Sambil tetap memegang perutku yang
semakin lama menjadi sakit, seolah menjadi rebutan. Ada yang menahan dari
dalam, ada yang serasa menarik dari arah luar. Suami tentu saja memikirkan, aku
ingin makan apa. Rasanya aku tidak mau makan sama sekali kala itu. Aku ingin
bilang, “kurasa percuma. Semua sudah selesai kali ini”. Namun aku hanya bisa
diam dan tidak tahu ingin berbicara apa. Jawaban apa yang ingin kulontarkan
pada suamiku. Karena tidak ada jawaban, suami memutuskan untuk mencari bubur
ayam. Membeli bubur ayam, makanan kesukaanku. Ia meminta kerupuk dan kuah yang
lebih pada si penjual.
Aku masih
berbaring, tidak tidur. Hanya mengeluarkan air mata yang terus menerus “kenapa
dek?” tanya suamiku. Saat itu, aku merasa anaknya sudah tidak ada. Aku ingin
sekali menjawab, “Bapak, anak kita sudah mati. Sudah meninggalkan kita.” Namun
kata-kata yang keluar dari mulutku hanyalah “sakit”.
“Makan dulu,
minum obat lalu tidur lagi. Kalau masih sakit, nanti kita ke dokter ya.”
Katanya.
Aku makan bubur
itu dan membuang telurnya. Entah kenapa, aku kembali tidak menyukai telur.
Bubur ayam ini, serasa makanan terakhir yang aku suapkan pada Sembara saat di
dalam perutku. Bubur ayam yang dibelikan oleh bapaknya dengan ekstra kuah dan
kerupuk. Namun aku tidak menghabiskan kuah dan kerupuknya. Aku merasa enek,
cukup bubur dan kuahnya saja kurasa suah kenyang. Usai minum obat, aku kembali
tertidur.
Suami ada di
sebelahku dan sudah siap siaga.
Jawaban Sembara
Aku terbangun
dan ingin kencing. Aku menuju toilet dan berkata pada suami, aku mau pipis.
Saat di toilet,
aku pipis apa adanya di toilet. Namun ada rasa yang sedikit mengganjal ketika
aku ingin mengeluarkan sesuatu. Kupikir sama seperti sebelumnya, akan keluar
gumpalan darah kembali. Aku mengejan lebih kencang. Namun saat aku lihat,
rupanya Sembaraku yang keluar. Aku berpindah jongkok dilantai untuk memastikan.
Sambil kupanggil suamiku “bapak... bapak”
Ia kemudian
menemuiku dan membuka pintu kamar mandi. “bayinya keluar” kataku.
Hanya istigfar
yang bisa terucap dari mulutnya. Sambil kebawah, mencari bantuan karena tidak
tahu apa yang akan dilakukannya. Aku hanya menatap pada bayi yang baru saja
keluar.
Ia keluar
dengan sendirinya, ini jawaban Sembara atas kegelisahan orang tuanya. Ia
mengabulkan permintaanku, jika aku ingin melihat tubuhnya.
Ia keluar
dengan tubuh yang sempurna, ari-arinya masih menggantung di dalam perutku. Ia
keluar bagaikan Pangeran Sembara yang sedang terbang dengan usus (plasenta)
yang menggayunkan badannya. Tidak dapat kutarik dan kukeluarkan.
Disana, aku
melihat matanya yang masih terpejam dengan pipi dan bibir yang mirip dengan
bapaknya. Wajah yang belum ternoda, bayi yang masih suci, belum berdosa sama
sekali. Kini muncul dihadapanku langsung. Aku melihat kembali kaki dan tangannya.
Sudah memiliki jari-jari kaki dan tangan yang sempurna. Posisinya sedang
tertidur, berbaring kekiri. Posisi kesukaannya ketika ia masih dalam perutku.
Pose kaki dan tangannya, mirip dengan bapaknya ketika sedang tidur. Bagaimana
bentuk tubuh dan lekukan kakinya sangat mirip dengan bapaknya.
Suamiku tidak
menemukan bantuan di bawah. Akhirnya, ia berinisiatif untuk menggunting tali
ari-arinya dan memasukan Sembara ke plastik untuk dibawa ke rumah sakit. Bayi
itu, seukuran sekepal tangan bapaknya. Ia sangat berhati-hati dan dengan
mengucap bismillah.. ia menggunting tali pusar dan memasukkan Sembara ke dalam
plastik. Dengan gemetar, aku masih bisa berjalan, memakai pembalut dengan
ukruan 42 cm dan menuju rumah sakit, IGD.
Banjir Darah
Sambil
menunggu, entah apa saja komunikasi dokter dan suamiku. Darah semakin banyak
keluar, aku merasa sudah penuh pembalut yang kukenakan. Entah polisi atau
dokter atau apa, sebut saja pimpinannya. Ia terlihat santai dimataku dan suami
karena aku baru ditangani infus saja. sementara darah semakin banjir dan aku
merasakan sudah sampai pingganggu. Sementara suamiku melihat, darah sudah
menetes ke lantai. Kala itu perawat bilang, akan dibantu menggantikan popok.
Suami menelfon teteh, untuk minta bantuan agar dibelikan popok dewasa. Setelah
ashar, teteh datang dan kulihat matanya sudah merah.
Kala itu, aku
berkata. “tadi kata perawatnya mau dibantu ganti” akhirnya aku ditangani..
perawat membersihkan badanku dibantu dengan teteh.
Celana dan
pembalut yang kukenakan, sudah tidak dapat diapa-apakan lagi. Sudah tidak
berbentuk dan harus dibuang saja.
Entah seberapa
banyak darah yang keluar, menurut teteh sangat banyak sekali. Berkali-kali
pimpinan berkomunikasi dengan perawat dan menanyakan aktif atau tidak.
Maksudnya, darahnya keluar terus atau tidak. Pimpinan dan suami beberapa kali
keluar masuk untuk melihat keadaanku, sampai pada akhirnya pimpinan menanyakan
golongan darahku. Aku menjawab B+
Ia pun
menambahkan. Agar mencari orang yang B+ karena susah. “Sepertinya ibu ini bakal
perlu darah karena yang keluar banyak sekali.” Katanya. Sampai-sampai si
pimpinan ini panik. “telfon ibunya ya, suruh kesini keluarganya.”
Karena bingung,
suami hanya menjawab. “Nggak ada keluarga”. Karena semua di Jawa.
Aku berkata, agar
telfon Ali dan memintanya untuk woro-woro pada anak-anak di grup CPNS, siapa
tahu ada yang cocok darahnya denganku. Tak hanya itu, aku pun meminta bantuan
Imam untuk mencari dari kalangan mahasiswa, siapa tahu ada yang cocok juga
dengan B+. Suami menelfon dan menghubungi keduanya.
Saat itu pula,
aku kepikiran akan mahasiswaku yang besok akan kuajar. Aku belum memebritahukan
mereka mengenai keadaanku saat ini. Hingga akhirnya, kuputuskan mereka kuberi
tugas saja, tanpa memberitahu bagaimana keadaanku saat ini. Aku yakin, Imam
secara tidak langsung akan memberi kabar pada mahasiswa dan anak didikku pun
mendengar kabar ini. Aku pun sempat kepikiran bagaimana mengabari Pak Dekan
atau bu Mer (kajurku). Namun aku berfikir, Ali akan memberikan kabar pada
Anam.. dan Anam akan memberikan woro-woro di grup fisip, sehingga mereka tahu
kabar dan kondisiku, meski tidak detail. Setidaknya mereka tahu aku butuh darah
dan meminta doa dari mereka. Itu sudah cukup. Dan, feelingku benar. Itu semua
terjadi.. terjawab sudah ketika aku sudah sadar betul, pasca operasi.
Seberapa banyak sih darahnya?
Aku masih
ditangani, perawat berkata agar bajuku diganti. Karena tadi terburu-buru, kami
tidak sempat membawa apapun kesini, kecuali kartu berobat. Berkali-kali suamiku
tanya, siapa yang bisa diminta tolong untuk mengambil baju. Teteh, Ali, atau ia
sendiri yang akan pulang. Aku sudah beberapa kali menjawab Ali saja. Aku pun
bingung, melihat suamiku tidak bisa berfikir jernih kala itu. Tentu saja aku
tidak mengizinkannya untuk mengambil baju dan kain. Nanti pasti bakal
kenapa-napa di jalan. Hingga akhirnya, ia memutuskan minta bantuan Ali.
Ekspresi teteh ketika
membantu membersihkan badanku dari darah. Aku melihat beberapa kali ia
memejamkan mata. Entah apa yang ia rasakan. Aku merasa darah sudah semakin banyak yang keluar. Baju dasterku yang panjang, sampai digunting karena sudah
tidak dapat dilepas secara normal. Darah sudah membasahi bagian punggung dan
sebagian jilbabku.
Teteh berkata, ditempat
tidur, dimana aku duduk, ada cekungan, disitu tergenang darah yang banyak
sekali, sampai kasa untuk membersihkan darah habis. Sampai perawat mengambil
mangkuk kecil untuk menyendoki darah yang keluar. Tidak hanya itu, darah yang
menetes ke lantai pun semakin banyak dan banjir darah. Entah sebanyak apa, aku
tidak melihat. Aku hanya tahu setelahnya ada petugas yang diminta untuk
mengepelnya dan membuang sebungkus plastik besar bekas darah-darahku yang
keluar, beserta pakaianku. Kata teteh, kalau darahnaya dimasukan botol dan
bajunya diperas, mungkin satu botol aqua besar lebih bisa terkumpul.
Bagaimana tidak?
Ketika aku
terbatuk, muntah atau mual, darah kembali keluar dan dengan volume yang cukup
banyak. Soor..... soor.... begitu aku merasakannya. Entah perasaan pusing atau
lemas, aku tidak bisa merasa.. karena aku hanya merasakan ingin muntah dan
muntah terus. Sudah disiapkan plastik oleh perawat untuk menampung muntahanku.
Pada saat
muntah terjadi, keluar dari arah mulut bubur ayam yang kumakan sampai cairannya
kuning. Dari bawah, keluar darah yang cukup banyak.. seiring dengan nada aku
muntah. Ingin sekali rasanya minum. Namun tidak diizinkan karena kata perawat
harus puasa dulu.
Darah kaya gimana itu?
Pembacaku,
perlu diketahui darah yang keluar teksturnya campur aduk. Antara darah yang
segar sebagaimana darah haid segar yang keluar. Atau seperti darah pada
korban-korban kecelakaan dijalan atau darah ayam yan baru disembelih. Begitulah
aku melihat dan dapat meggambarkannya. Bercampur dengan darah dengan gumpalan.
Jika diibaratkan, seperti ager-ager. Ager-ager yang remas-remas dengan tangan. Bisa
membayangkan bukan? Seperti itulah bentuk darah yang keluar.
Ketika perawat
sedang membersihkan darah, aku ingin jika ada ari-ari anakku atau yang masih
menajdi bagian dari anakku, kuminta untuk disatukan dengan bayiku pada 1
plastik.
Teteh pun
bercerita, ketika darah keluar terus-terusan itu, berharap pula ada plasentanya
yang keluar. Tapi kata perawat, semua yang keluar darah. Bukan bagian dari
bayinya. Ketika usus sisa guntingan suamiku, ditarik oleh perawat, ia tidak mau
keluar. Tetap tertahan di dalam. Meski aku mengeluarkan darah sebanyak apapun.
Saat itu, aku
merasa tubuhku sudah mulai menguning. Suamiku sudah mulai panik dan entah apa
yang ada dipikirannya.
Setelah dirasa
bersih, alhasil aku bisa dioperasi
Dikuret untuk
mengeluarkan sisa ari-ari yang masih ada di dalam.
Dokter berkata,
karena ari-arinya masih ada di dalam, makanya darahnya keluar terus. Maka dari
itu, harus dikuret untuk mengeluarkan sisa dan juga menghentikan pendarahan.
Pasca operasi
Singkat cerita,
operasi berjalan dengan lancar. Aku pun tidak merasakan apapun karena dibius
total. Tahu-tahu aku sudah ada di ruangan lain dan aku mendengar suara suamiku.
Entah sedang bercerita pada siapa kala itu. Aku hanya bisa mendengarnya, tanpa
bisa membuka mata.
Pada saat aku
masih setengah sadar, aku mendengar percakapan suami, Ali, dan juga kang Asep.
Mereka membicarakan mengenai pemakaman.
Sebelumnya suami
dan aku ingin memakamkan Sembara, dengan cara Islam. Sisa-sisa dari bagian
tubuh Sembara, seperti ari-ari disatukan kembali.
Oya, ketika aku
masuk ruang operasi. Teteh memberikan plastik berisi bayiku dan diberikan pada
dokter di ruang operasi. Atas permintaan kami, Sembara dan sisa bayi yang masih
ada di perut, ingin kami satukan dan dimakamkan, entah bagaimana caranya.
Dipikir nanti, kami yakin pasti ada jalan untuk Sembara.
Kembali pada
pemakaman...
Kurang lebih
aku sadar jam 8 malam. Tiga lelaki tersebut masih belum kembali karena
memakamkan Sembara. Aku masih ingat dan dengar setengah-setengah, mengenai
percakapan mereka soal pemakaman.
Setelah diberi
tahu oleh suamiku. Ternyata kang Asep mendapatkan info dari pengurus masjid UPR
perihal dimana Sembara akan dimakamkan.
Dari sanalah..
ketiga lelaki itu mengantarkan Sembara untuk ke tempat peristirahatannya.
Ia dimandikan
oleh kyai dan ustadz, dikafani, dimasukan kedalam kotak kecil kemudian dimasukkan
ke dalam liang lahat dan tak lupa diadzani.
Selamat
beristirahat Sembaraku.
Walau hanya
sebentar, walau kami tidak tahu bagaimana bentuk dan rupamu. Sembara tetap
anakku. Anak sulungku yang kusayang. Sembara sudah memilih jalan yang terbaik.
Kami sangat berterima kasih, Sembara sudi mampir ke perut bunda. Sehat-sehat
disana ya anakku.
Aku
ingin menceritakan kisah sedikit, mengenai kejadian ini.
Keguguran
yang mengakibatkan aku kehilangan sulungku, namun menjadi kilas balik. Menjadi titik
balik, entah apa aku mengatakannya.
Aku
tidak akan menyertakan linknya pada kisah ini. Jika pembaca sudi mampir dan
penasaran, silakan masuk dalam blog ku dan mencarinya. Tentunya dengan ciri
judul yang sama. Jika pembaca merasa kisah cukup sampai sini tak apa.
Aku
hanya ingin mengenang Sembara dengan caraku sendiri.
Semoga
kita selalu diberi kesehatan dan kelimpahan rejeki, amin.
Sumber lain:
https://primayahospital.com/kebidanan-dan-kandungan/air-ketuban-sedikit/#:~:text=Faktor%20Penyebab%20Air%20Ketuban%20Sedikit&text=Plasenta%20bermasalah.,sehingga%20janin%20sedikit%20memproduksi%20urine.